Jakarta, Kompas - Jumlah kasus, korban luka dan korban tewas akibat kecelakaan lalu lintas di jalan raya tinggi, dan dari tahun ke tahun terus meningkat. Bahkan menurut data, jumlah korban tewas di Indonesia akibat kecelakaan di jalan raya rata-rata per tahun mencapai 30.000 orang atau 82 orang per hari
Ironisnya, faktor keamanan dan keselamatan di sektor ini masih terabaikan. Bahkan, sampai saat ini, belum ada standarisasi yang baku terhadap kompetensi pengemudi dan kelaikan kendaraan pribadi.
Kondisi setali tiga uang juga di perushaan angkutan umum. Sektor publik jasa angkutan darat ini, meski, tidak memiliki tempat penampungan bus, bengkel khusus, dan mess untuk karyawan, pengusaha tetap dengan mudah mendapatkan izin pendirian perusahaan angkutan umum.
"Lemahnya kontrol petugas terhadap implementasi regulasi di jalan raya semakin meningkatkan potensi pelanggaran yang berujung kepada kecelakaan," kata Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia Bambang Susantono, ketika diminta tanggapan seputar keselamatan dan kecelakaan di jalan raya, Senin (9/7) di Jakarta.
Bambang lalu mengutip data dari perusahaan asuransi Jasa Raharja. Menurut perusahaan asuransi plat merah itu, jumlah korban meninggal akibat kecelakaan di jalan raya mencapai ada sekitar 82 orang per hari.
Pernyataan itu pun diperkuat data yang dikeluarkan oleh Kepolisian RI (Polri), yang dilansir oleh Departemen Perhubungan. Menurut data tersebut, jumlah semua jenis kendaraan yang mengalami kecelakaan pada tahun 2003 mencapai 19.091 unit. Tahun 2004, naik menjadi 26.187 unit kendaraan, tahun 2006 melompat menjadi 70.308 unit kendaraan.
Dari jumlah tersebut, dominasi kecelakaan terjadi pada jenis sepeda motor. Tahun 2004 sepeda motor yang mengalami kecelakaan mencapai 14.223 unit. Dua tahun kemudian melompat menjadi 47.591 sepeda motor. Kenaikan itu, seiring dengan tingginya peningkatan pengguna sepeda motor.
Pada jenis angkutan umum bus tahun 2004 jumlahnya mencapai 1.650 unit. Tahun 2006 melompat hingga 78,48 persen menjadi 2.945 unit bus.
Data kumulatif korban meninggal akibat kecelakaan juga terus meningkat dari 11.204 jiwa di tahun 2004 menjadi 15.762 jiwa di tahun 2006.
Ironisnya, kata Bambang, kepedulian pemerintah dan masyarakat dengan fakta ini jauh lebih rendah, jika dibandingkan dengan kecelakaan pesawat. Pemerintah seharusnya membuat standardisasi yang jelas. Dengan demikian keselamatan dan keamanan di jalan raya bisa lebih terjamin.
Dia mencontohkan, akibat belum adanya standardisasi, selama ini, orang yang hanya berbekal surat izin mengemudi B1, sudah boleh mengendarai bus berpenumpang. Padahal, kompetensi orang itu belum pasti teruji.
Selain faktor kelaikan kendaraan dan kelalaian pengemudi, kecelakaan di jalan raya juga bisa diakibatkan kondisi infrastruktur jalan dan sistem pengelolaan lalu lintas. "Kondisi badan jalan yang berlubang atau jembatan yang menyempit sangat berpotensi menyebabkan kecelakaan. Demikian juga dengan jalan yang tidak dilengkapi rambu-rambu lalu lintas yang memadai," katanya.
Tidak pernah diuji
Di sisi lain, kesadaran para pengusaha angkutan umum untuk menguji dan memelihara kelayakan armada juga patut dipertanyakan. Menurut Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pengujian Kendaraan Bermotor (PKB) Pulogadung, DKI Jakarta, AL Tobing, sebanyak 5.610 unit dari 14.710 unit bus umum, atau sebanyak 38,1 persen, tidak pernah diuji kelayakannya.
Selain tidak pernah diuji kelayakannya, banyak angkutan umum yang diduga menggunakan surat keterangan uji kelayakan (kir) palsu. Uji kelayakan bus umum, kata Tobing, sebenarnya membantu pengusaha angkutan untuk menentukan kelemahan armada mereka.
Biaya uji kelayakan untuk bus ukuran besar mencapai Rp 239.000 per unit dan harus dilakukan setiap enam bulan. Apabila tidak lulus uji, pengusaha dapat memperbaiki busnya lagi dan menguji ulang secara gratis.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Organisasi Pengusaha Nasional Angkutan Bermotor di Jalan (Organda) Murphy Hutagalung meminta semua pihak untuk tidak memojokkan pengusaha angkutan. Pengusaha sendiri sudah berupaya untuk mempertahankan kondisi armada yang prima di tengah kondisi bisnis usaha yang sulit. Kenaikan bahan bakar menyebabkan biaya operasional meningkat 40 persen.
"Untuk peremajaan armada memang sangat sulit dilakukan. Pendapatan kami terus menurun karena kalah bersaingan dengan pesawat. Tingkat keterisian penumpang kami tinggal 40 persen. Sementara harga bus baru sudah mencapai Rp 800 juta sampai Rp 1 miliar," papar Murphy.
Pengusaha juga sulit mendapatkan pinjaman karena perbanka mengenakan suku bunga yang tinggi.
Direktur Keselamatan Transportasi Darat Departemen Perhubungan Suripno mengatakan, selain melalui pengujian kir, pemeriksaan kelaikan kendaraan angkutan umum juga harus dilakukan secara internal oleh perusahaan. Disebutkan, jumlah bus yang beroperasi sudah terlalu banyak, sehingga tidak semua diperiksa.
"Karena itu, sampai sekarang kendaraan pribadi pun belum diuji kir-nya. Untuk mengatasi masalah ini, ke depan pemerintah akan melibatkan pihak swasta untuk uji kir kendaraan," kata Suripno.
Sementara itu, mengenai bus PO Limas yang jatuh ke sungai di Cianjur, Suripno mengatakan, pengusaha bus Limas telah melanggar izin trayek. Bus itu berizin trayek dengan rute yang yang ditentukan dan bukan bus pariwisata. "Izin trayeknya sudah kami cabut," kata Suripno.(ECA/AHA/OTW)
No comments:
Post a Comment