Thursday, July 12, 2007

Polisi yang Progresif

Satjipto Rahardjo

Pekerjaan polisi sulit diatur hukum karena bergelimang interaksi dengan manusia dan masyarakat.

Saya menyebut karakteristik polisi sebagai "penegak hukum jalanan". Polisi berbeda dari jaksa dan hakim yang saya sebut sebagai "penegak hukum gedongan".

Polisi adalah petugas (officer) lapangan, bekerja "tanpa sarung tangan" dan "tidak di belakang loket", berada langsung di tengah orang baik atau jahat. Maka, risiko polisi dikalungi celurit lebih besar daripada jaksa dan hakim. Namun, bahaya itu sudah menjadi bagian risiko pekerjaan polisi. Di Amerika Serikat, jika seorang polisi berpamitan kepada istrinya untuk berangkat bekerja, itu menjadi pertanda salam perpisahan selamanya.

Sulit diatur rinci

Interaksi yang sangat intensif antara polisi dan manusia menjadikan pekerjaan polisi sulit diatur rinci oleh hukum. Berapa ratus ribu undang-undang dibutuhkan, berapa ribu halaman kitab hukum harus disediakan, jika pekerjaan polisi ingin diatur secara tuntas dan rinci.

Jika peraturan sudah dibuat, masih ada ruang terjadinya interaksi sosiologis antara polisi dan masyarakat, yang menentukan apa yang akan terjadi dengan peraturan itu.

Seorang polisi yang melihat orang miskin, kurus, dekil, melakukan kejahatan kecil, mungkin akan membiarkannya pergi, bahkan memberinya uang. Mungkin ia berpikir, mengapa orang ini harus kesulitan mencari makan, sedangkan di tempat lain orang berpesta dalam kemewahan dan bergelimang uang. Maka, bagi polisi, menjalankan hukum pidana tidak seperti menarik garis lurus antara dua titik, tetapi dapat penuh pergulatan sosiologis dan kemanusiaan.

Polisi juga harus bekerja dalam bilangan detik, tidak ada kemewahan untuk berpikir dan menimbang-nimbang seperti hakim, jaksa, dan advokat. Jika polisi tidak cepat dan tepat bertindak, dalam bilangan detik dapat terjadi aneka peristiwa kecelakaan, bunuh diri dan lainnya.

Jadi, keleluasaan dan kelonggaran diperlukan bagi pekerjaan polisi. Kekakuan pengaturan pekerjaan polisi bisa fatal. Untuk mewadahi keleluasaan dan kelonggaran itu, dalam kamus kepolisian ada istilah diskresi. Diskresi diberikan kepada polisi untuk menentukan pilihan tindakan (course of action) yang akan dilakukan. Diskresi diberikan kepada polisi karena sifat pekerjaan yang mendesak dan mendadak.

Strategis

Polisi muncul sebagai pekerjaan yang amat strategis di negara hukum seperti Indonesia. Negara hukum menjadi hidup dan memenuhi janjinya kepada rakyat jika polisi bekerja progresif.

Gagasan baru dalam hukum, seperti perlindungan hak-asasi manusia (HAM) dan lingkungan hidup, akan menjadi kenyataan melalui campur tangan polisi. Pelaksanaan HAM, pelestarian lingkungan hidup, dimulai dari aras masyarakat paling bawah, bukan dari Jakarta atau kota besar. Untuk mengatakan secara bernas, "rumput pun menjadi sahabat polisi", karena jika ada larangan menginjak rumput, polisilah yang pertama-tama memberi pertolongan kepada rerumputan jika ada orang menginjaknya.

Polisi menjadi pekerjaan yang mampu menguji sampai di mana kekuatan hukum itu. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tercantum sejumlah besar kejahatan yang tidak dikehendaki masyarakat. Seberapa besar kekuatan pasal-pasal dalam KUHP itu bergantung pada aktivitas polisi.

Pekerjaan polisi juga tidak jauh beda dari pengambil kebijakan (policy makers). Melalui pilihan tindakan yang dilakukan polisi atau diskresi, mereka turut menentukan mana yang akan dijalankan dan yang tidak.

Karena itu, secara agak dramatis kita boleh mengatakan, sebagian "nasib Indonesia" dan negara hukum Indonesia terletak di tangan polisi.

Itu sebabnya saya mengatakan, polisi memiliki peluang paling besar untuk menjadi penegak hukum progresif. Hukum menyediakan banyak peluang agar polisi dapat menjadi pahlawan bagi bangsanya, dengan bertindak progresif, membuat pilihan-pilihan tepat dalam pekerjaannya.

Namun, peluang itu juga dapat menjerumuskan polisi ke jurang "kenistaan", dengan menjadi polisi korup, suka melakukan kekerasan, pelecehan (harassment) sehingga menjadikan hidup di Indonesia tidak nyaman.

Maka kepada semua polisi di Indonesia, Anda "ditantang", apakah akan menjadi pahlawan atau pembuat sengsara dan beban kehidupan bangsanya.

Satjipto Rahardjo Guru Besar Emeritus Sosiologi Hukum Universitas Diponegoro, Semarang

No comments: