"Back to Our Own"
Sjamsoe’oed Sadjad
BEBERAPA waktu yang lalu saya diminta memberikan kuliah perdana di sekolah pascasarjana Universitas Slamet Riyadi, Solo, yang membuka Program Studi Magister Manajemen. Di depan kandidat magister yang jumlahnya 50 orang lebih tersebut saya kemukakan lima paradigma baru dalam kita memandang desa dan pertanian kita.
Karena kebetulan program studi ini akan memfokuskan pada manajemen industri kecil dan menengah, dan pesertanya juga beragam latar belakang pendidikan S1 yang dimilikinya, maka kuliah saya waktu itu bertolak dari fenomena yang dihadapi bangsa kita saat ini. Saya awali dengan mengemukakan bahwa pembangunan ekonomi yang diarahkan dengan membangun industri-industri besar yang teknologinya maupun modalnya diambil dari luar, meskipun quick yielding dengan harapan "kue besar" yang akan didapati bisa diratakan melalui trickle down effect model, ternyata sangat labil.
Krisis moneter, kemudian krisis ekonomi, dan akhirnya krisis multidimensi sejak tahun 1997 sampai sekarang belum bisa kita atasi. Dekadensi mental dan distorsi moral bagaikan pusaran air samudra yang hebat membawa keadaan krisis menjadi parah. Sementara itu, kita sadari untuk kedua kalinya bahwa ternyata kekuatan kita ada di pedesaan, persis sewaktu kita menghadapi tentara Belanda dalam revolusi fisik 1945-1950, basis perjuangan kita juga di desa. Desa kita merupakan aset nasional yang harus selalu kita ingat. Oleh karena itu, paradigma kesatu yang saya kemukakan dalam kuliah saya adalah back to our own, mari kita kembali ke desa.
DENGAN mencermati kondisi para TKI yang dideportasi dari negara tetangga yang mengenaskan itu, yang bisa kita katakan 99,99 persen berasal dari desa-desa kita di Tanah Air, betapa teledor kita selama ini terhadap aspek pendidikan masyarakat. Bukankah sesuatu yang tidak muskil dan mustahil, kalau di desa kita dirikan bangunan simulasi untuk dapur modern, kamar tidur modern, lengkap dengan peralatan listrik, sehingga calon-calon tenaga kerja wanita (TKW) bisa berlatih kehidupan modern di kota-kota itu di desanya. Mengapa tidak kita didikkan kepada masyarakat di desa untuk dapat mengatur urusan-urusan imigrasi bagi calon tenaga kerja Indonesia (TKI) dilaksanakan oleh orang dari desa sendiri. Dengan demikian, tidak segalanya harus dikerjakan oleh orang dari kota.
Selama ini, seperti suatu yang sudah paradoksal, kalau orang desa itu tidak bisa melakukan apa-apa yang bisa dikerjakan orang kota. Ada kepandaian, ada kearifan. Diukur dengan parameter kependidikan formal, barangkali orang tidak tergolong pandai tetapi untuk kebiasaan orang bisa melalui kearifannya. Untuk inilah, kita jangan menganggap orang desa rendah, yang menganggap signifikan perbedaan orang kota dengan orang desa. Melalui proses pendidikan masyarakat, kebisaan masyarakat desa tentu bisa kita tingkatkan. Inilah paradigma kedua yang saya ajukan.
Paradigma ketiga yang saya ajukan adalah mengenai kemiskinan yang selama ini dijadikan stigma petani atau orang di desa. Kalau stigma itu didasarkan pendapatan petani atau orang di desa yang selalu dikaitkan dengan pemilikan lahan yang menggurem, apakah itu adil. Pertanyaan saya adalah, apakah pegawai negeri sipil atau PNS mau dikatakan miskin kalau didasarkan hanya pada gajinya yang sangat minim itu. Prestasi kerja kita di kantoran apa benar kalau didasarkan luasan kantoran kita. Prestasi petani kita hendaknya juga didasarkan pada intensitas pertanamannya (cropping intensity) dan diukur dengan waktu yang digunakan untuk mencapai produksi.
Dari sini akan tampak masih banyaknya lowongan waktu untuk bisa diisi oleh masyarakat desa dan petani sekeluarganya yang menghasilkan pendapatan. Apa bedanya dengan mereka yang PNS. Miskin tidaknya petani atau masyarakat desa hendaknya diukur dari pendapatan total mereka. Dengan kearifannya, masyarakat desa dan petani adalah jago dalam memanfaatkan waktu itu. Kalau masih di bawah standar penghasilannya, itu kesalahan kita semua karena tidak ada program pendidikan masyarakat yang kita selenggarakan untuk mereka di desa.
SEBAGAI paradigma keempat saya ajukan tentang citra keterpurukan pertanian. Di negara agraris seperti negeri kita ini, apalagi didalam kondisi krisis saat ini, penonjolan stigma demikian sangat merugikan. Padahal, pertanian itu sebuah sistem, yang subsistemnya ada primer, sekunder, tertier/kuarter. Dari industri pupuk dan benih sebagai subsistem primer sampai industri gula, plaza/supermal/swalayan sebagai subsistem tertier/kuarter, berada seluruhnya dalam sistem pertanian itu. Mengapa pandangan kita hanya mendarat di subsistem sekunder, ialah yang menangani proses produksi bahan mentah atau produksi pertanian seperti yang selalu kita katakan.
Gambaran petani, yang notabene juga salah, menjadi stigma keterpurukan pertanian kita. Padahal, income para pengelola di subsistem primer dan tertier/kuarter seharusnya dihitung juga sebagai penghasilan total pertanian kita. Kalau terjadi perbedaan yang sangat signifikan antara pendapatan di subsistem primer, tertier/kuarter, dan yang di subsistem sekunder atau yang disebut petani, tentunya kesalahan kebijaksanaan dalam politik pertanian (agropolitics) kita selama ini.
Dari empat paradigma di atas, sampailah saya pada paradigma kelima, ialah perlunya dibangun desa industri yang berbasis pertanian industri, melalui proses pendidikan masyarakat yang memiliki target mengubah mental masyarakat desa dan petani menjadi industrial, artinya memiliki orientasi industri. Berlandaskan teori orang pandai Habibie yang ada empat tahap dalam industri, kiranya kearifan orang desa juga bisa mengikuti meski secara sederhana diawali dengan target mencari nilai tambah.
Berpikir dari bangunan desa sebagai satu sistem, maka melalui pendidikan masyarakat akan diraih subsistem primer, sekunder, dan tertier/kuarter yang dimiliki oleh masyarakat desa sendiri. Petani sebagai industriawan akan berproses produksi di lahan pertaniannya untuk menghasilkan produk mentah untuk proses industri selanjutnya yang akan berupa baik proses conditioning maupun processing. Otomatis petani dan masyarakat desa pada umumnya akan lebih berpikir rasional sehingga akan terjadi secara alami proses konsolidasi agronomis maupun akhirnya konsolidasi lahan dan manajemen lahan yang lebih profesional.
Dengan demikian akan tercipta kondisi yang desa dan kota tidak ada bedanya. Kota tidak menjadi kumuh karena masuknya orang desa, orang kota malah ke desa, karena kenikmatan pelayanan sosial di desa dan kota sama, meskipun skala fisiknya di desa lebih kecil. Katakan di kota ada rumah sakit, di desa ada klinik, tetapi pelayanan medis bagi orang sakit tidak ada beda antara di klinik desa dan rumah sakit kota.
Itulah yang kita sebut-sebut dengan istilah agropolitan itu. Di kota ada jalan yang tidak menghasilkan debu, apa salahnya di desa juga sama kenikmatannya itu, meski di kota jalannya lebih besar.
Walhasil, marilah kita kembali membangun desa, aset nasional kita yang fundamental. Semoga Kabinet Yudhoyono dalam menciptakan perubahan sempat mencermati kelima-lima paradigma yang saya ajukan di atas. Semoga.
Sjamsoe’oed Sadjad Guru Besar Emeritus IPB
No comments:
Post a Comment