Tuesday, July 10, 2007

reformasi birokrasi
Jangan Sampai Jadi Bumerang

Reformasi birokrasi di Departemen Keuangan perlu ditempatkan dalam konteks pembenahan birokrasi secara utuh. Melepaskannya dari keutuhan konteks itu justru dapat membuat maksud baik jadi bumerang. Perbaikan akuntabilitas birokrasi di sektor keuangan pun tak cukup tanpa peningkatan akuntabilitas sektor produksi misalnya.

Pembenahan birokrasi di Departemen Keuangan (Depkeu) tidak mungkin dijadikan model reformasi birokrasi bagi semua departemen dan kementerian lain. Padahal, reformasi di Departemen Keuangan seharusnya menjadi bagian utuh dari reformasi birokrasi yang menyeluruh.

Begitulah pandangan pengamat ekonomi Faisal Basri terkait pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pekan lalu tentang upaya menjadikan Depkeu sebagai percontohan reformasi birokrasi.

Reformasi birokrasi selalu mensyaratkan adanya penataan organisasi atau kelembagaan, perbaikan tata laksana, peningkatan sumber daya manusia (SDM), serta pembenahan sistem pengawasan.

Perbaikan sistem remunerasi atau kesejahteraan adalah bagian dari manajemen SDM yang diawali sejak rekrutmen, pembinaan karier, hingga pensiun.

Terkait dengan persoalan kelembagaan, Faisal menilai, Depkeu merupakan organisasi dengan rentang kendali yang terlampau besar.

"Fungsi penerimaan dan perbendaharaan negara seharusnya dipisahkan sehingga Depkeu tidak jadi negara dalam negara. Pajak dan Bea Cukai bisa dikeluarkan sebagai fungsi nondepartemen sehingga bangsa ini lebih ikhlas mereka digaji secara berbeda," ujar Faisal.

Fungsi penerimaan negara yang dijalankan oleh badan yang bertanggung jawab langsung merupakan praktik yang jamak, seperti dilakukan Internal Revenue Service yang bertanggung jawab dalam pengumpulan pajak di Amerika Serikat.

Di luar fungsi penerimaan negara, reformasi birokrasi dalam lingkup Depkeu tidak perlu diperlakukan berbeda dengan reformasi birokrasi di departemen dan kementerian lainnya.

"Jika Depkeu melakukan reformasi birokrasi modelnya sendiri dengan kenaikan gaji ditetapkan sendiri, berbeda dengan departemen lain, itu sulit dipertanggungjawabkan secara moral," ujar Faisal.

Arogansi sektor keuangan

Perbaikan struktur remunerasi yang menjadi salah satu dari empat program utama reformasi birokrasi ala Depkeu memang segera mengundang sorotan tajam.

"Jika tidak diikuti dengan reformasi serupa di institusi lain, dapat terjadi pegawai instansi lain yang berpikir buat apa bekerja serius jika remunerasi yang diterima tidak setinggi dengan yang ada di Depkeu. Ini yang berbahaya," kata guru besar Ilmu Pemerintahan Universitas Indonesia, Eko Prasojo.

Sementara itu, Deputi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) Bidang Pelayanan Publik Cerdas Kaban merisaukan bias arogansi sektor keuangan tak lepas dari penetapan Depkeu sebagai percontohan dalam reformasi birokrasi.

"Kita berhadapan dengan korupsi sistemik yang menyeluruh. Tidak mungkin sektor keuangan saja diperbaiki, sedangkan institusi negara di sektor-sektor produksi seperti perindustrian, pertambangan, dan perikanan misalnya, tak tersentuh reformasi," ujarnya.

Cerdas mengingatkan, komitmen institusi negara di tingkat pusat untuk reformasi birokrasi memang masih lemah. Hal itu antara lain ditandai dengan diabaikannya permintaan Menneg PAN pada setiap lembaga negara untuk melakukan analisis dan evaluasi, meliputi kelembagaan, tata laksana, SDM, dan sistem pengawasan.

Danang Widoyoko dari Indonesia Corruption Watch (ICW) bahkan merasa pesimis jika kenaikan remunerasi dalam kerangka reformasi birokrasi di Depkeu akan efektif mengurangi korupsi di departemen itu.

Hal itu dikarenakan korupsi di Depkeu diyakini Danang bukan korupsi "recehan" seperti yang mungkin terjadi saat mengurus kartu tanda penduduk (KTP).

"Korupsi saat mengurus KTP mudah diatasi dengan menaikkan gaji pegawai. Sebab, tindakan itu disebabkan oleh rendahnya kesejahteraan pegawai. Namun, sebagian korupsi di Depkeu itu seperti yang terjadi dalam dugaan aliran dana dari Departemen Perikanan dan Kelautan, yaitu untuk menyuap pejabat di atasnya atau lembaga lain," papar Danang.

Akan tetapi, pandangan lebih optimis disampaikan oleh pakar manajemen dari Universitas Indonesia, Rhenald Kasali. "Sebagai terobosan, langkah reformasi di Depkeu penting walaupun tidak cukup," ujarnya.

Reformasi di Depkeu, menurut Rhenald, harus segera diikuti langkah untuk mengintegrasikannya ke semua departemen.

Peningkatan gaji juga dipandang penting, tetapi perlu disertai mekanisme penegakan akuntabilitas yang tegas. "Harus ada sanksi yang tegas atas penyelewengan. Jika tidak, program reformasi di Depkeu tidak akan jalan," ujarnya.

Anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang juga menekuni keilmuan administrasi negara mengingatkan, birokrasi di masa lalu sudah sedemikian terpolitisasi.

Oleh karena itu, reformasi birokrasi diyakini Gintings hanya bisa berjalan di masa transisi jika dipimpin sendiri oleh pemimpin politik tertinggi, yaitu Presiden.

"Selama tidak ada keputusan nasional, tidak akan optimal," ujarnya.

Reformasi birokrasi yang hanya dijalankan parsial seperti di Depkeu, menurut Gintings, hanya akan menjadi sekadar tambahan praktik-praktik tata kelola yang baik di negeri ini, seperti sudah dijalankan di sejumlah daerah seperti Sragen, Jawa Timur, atau Jembrana, Bali, dan sejumlah daerah lainnya.

Reformasi birokrasi di Depkeu pasti menghadapi resistensi, bukan saja dari lingkungan internal, tetapi juga berefek secara moral ke jajaran pemerintah lainnya.

Pertanyaannya, seberapa luas reformasi itu bisa digulirkan dan menangkis korupsi sistemik negeri ini? (DAY/LAS/JOE/SUT/NWO)

No comments: