Wanita Renaisans Creszentia Nina
BRE REDANA
Kalau saya menggambarkan di sekolah filsafat yang temboknya dingin dan kuno, muncul wanita cantik mengendarai Jaguar, lalu bicara mengenai cara berkomunikasi dari komunikasi korporat sampai komunikasi ilahiah, habis itu dia "nggeblas" ke kafe, barangkali Anda mengira saya tengah melukiskan tokoh cerpen. Padahal, tidak. Tokoh ini nyata adanya.
Namanya Creszentia Nina. Dia mengajar di beberapa universitas, yakni Universitas Indonesia, Universitas Atmajaya, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara (ketiganya di Jakarta), dan di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Mata kuliah yang dibawakannya adalah public relations dan pastoral.
Kita bicara soal pertama dulu, yaitu public relations (disingkat PR, biasanya diucapkan dengan pronansiasi bahasa Inggris: "pi-ar"). Pada 6 Juli lalu dia meraih gelar doktor dengan predikat cum laude (bukan "sangat memuaskan" seperti ditulis Kompas, 7 Juli 2007) dari Universitas Indonesia. Di luar gelar formal itu, Nina, kelahiran Jakarta, 30 Maret 1977—seperti diungkapkan Guru Besar FISIP UI, Prof Alwi Dahlan, PhD—mendapat julukan tidak formal, "Doktor Ilmu Komunikasi Termuda" lulusan Universitas Indonesia saat ini.
Etnosentris
Di kafe yang dimilikinya di pusat perbelanjaan di kawasan Pondok Indah, siang itu, beberapa hari setelah promosi doktornya, Nina bercerita kepada Kompas bukan saja tentang segi-segi penelitiannya, namun juga kegiatannya sebagai istri, ibu dua anak (ini yang paling antusias dia ceritakan), dan soal-soal lainnya.
"Perjuangan untuk memasukkan public relations dalam kajian program S-3 itu berat karena public relations selama ini hanya dianggap pekerjaan praktis. Kita terjebak dalam perangkap kultural bahwa yang disebut PR itu semata-mata humas hotel, atau orang yang pernah jadi penyiar, cantik, kemudian jadi PR. PR tidak dilihat dalam strategic function," kata Nina.
Dari situ, seperti diuraikan secara mendalam pada disertasi berjudul Komunikasi Korporat dalam Krisis setebal 261 halaman, menyertakan bibliografi terdiri dari 113 buku dan 60 jurnal, Nina ingin melihat public relations dalam fungsi yang luas, mendalam, dan strategis. "Fungsi PR itu bukan cuma teknis, bikin siaran pers, lalu berhubungan dengan pihak media...."
Menurut Nina, PR harus mampu dan berhak memberi strategic input ke perusahaan. Sifatnya, itu bisa luas sekali sehingga bagi Nina, seorang PR tuntutannya harus menjadi seperti "manusia renaisans". "Renaissance men/people? Apa ya bahasa Indonesia-nya yang tepat? Pendeknya orang- orang yang mumpuni," katanya.
Dia akui, sebagai disiplin baru—di Amerika komunikasi korporat yang bersifat strategis, seperti diuraikannya, baru muncul tahun 1970-an—di sini sistem korporasi itu sendiri juga kurang membutuhkan public relations dalam fungsinya yang strategis.
"Memang sudah mulai ada di perusahaan-perusahaan besar, tetapi untuk perusahaan-perusahaan pada umumnya, kalau terjadi krisis anggaran di perusahaan, PR itulah yang pertama diamputasi," ujar Nina sembari tertawa.
Kritiknya yang lain terhadap praktik public relations di sini, yakni pada penerapan teori-teori komunikasi yang sifatnya etnosentris—berasal dari budaya Barat, terutama Amerika. Menurut dia, komunikasi perusahaan, terlebih ketika perusahaan berada dalam situasi krisis, tidak bakal dapat dicapai dengan teori-teori yang bersifat etnosentris itu. Dari situ Nina kemudian menguraikan dimensi-dimensi lain, termasuk dimensi kebudayaan.
Kesempatan
Lima tahun dia bergulat menyelesaikan disertasi ini. "Saya beruntung dapat promotor dan ko-promotor yang ngerti. Untuk kandidat doktor yang seharusnya mandiri, promotor hanya membimbing, kita yang menentukan sendiri.
Tapi, di Indonesia, iklimnya masih patronizing. Untung promotor dan ko-promotor saya tidak seperti itu," kata Nina, menyebut Dr Alwi Dahlan dan Dr Iwan Tjitradjaja yang masing-masing menjadi promotor dan ko-promotornya.
Kepada para pembimbingnya itu mula-mula dia tegaskan bahwa pertama-tama dia adalah ibu dari dua anak. Itu yang utama baginya. Artinya, kegiatan konsultasi, diskusi, dan lain-lain dilakukan di luar jam mengurusi anak-anak.
Nina yang fasih berbahasa Italia, selain Inggris, pernah menjadi praktisi public relations di Singapura pada usia 20-an, dengan klien, antara lain gereja Katolik di Roma ini, mengaku sebenarnya tidak punya ambisi khusus ketika memulai kuliah S-3 di UI. "Saya hanya ingin mengisi waktu setelah meninggalnya kakak...," kata Nina, yang kakak satu-satunya, Stanley, meninggal tahun 2002 (sejak meninggalnya putra sulung keluarga Handoko itu, keluarga ini mendirikan Yayasan Stanley Nugroho yang bergerak di bidang pendidikan dan kesehatan, dengan Nina sebagai ketua yayasan).
Ada pepatah, meski tidak terlalu direncanakan, dari sesuatu yang dikerjakan dengan sungguh-sungguh, akan lahir sesuatu yang menakjubkan. "Untuk menjadi doktor ini benar-benar membutuhkan darah dan air mata," kata Nina melukiskan proses lima tahun menyelesaikan disertasi. "Mungkin lain kalau doktornya beli, ha-ha..." lanjutnya tertawa.
Seperti tesisnya bagaimana sebenarnya perusahaan bisa mengambil manfaat dari setiap krisis dengan strategi komunikasi yang jitu, dari kekosongan ditinggal kakak, Nina dikukuhkan sebagai penyandang gelar tertinggi di dunia akademik itu. Dia mengutip bahasa China, wei chi, yang artinya, pada setiap bahaya (wei), selalu tersedia kesempatan (chi).
Keimanan
Kini, apalagi? Seolah Nina punya segalanya.
"Aku ingin punya anak lagi, minimal dua lagi," katanya.
Selain itu, dia ingin mulai mengembangkan faith communications.
Wah, apa pula ini?
"Komunikasi pada tingkat keimanan. Itulah sebenarnya kuliah pastoral yang saya bawakan. Ini penting. Faith communications itu perlu strategi khusus karena yang dikomunikasikan sesuatu yang abstrak: Tuhan, surga, neraka, dosa...," jawabnya.
Benar-benar wanita renaisans....
No comments:
Post a Comment