Pendidikan Kesetaraan
Elegi bagi Korban UN
Yanti Sriyulianti
Endang Lestari, siswa Kelas III SMP Negeri 1 Kerjo, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, Sabtu (23/6) siang, nekat mengakhiri hidup dengan cara gantung diri. Pihak keluarga menduga tindakan nekat itu dilakukan karena ia dinyatakan tidak lulus ujian nasional alias UN (Kompas, 25 Juni 2007).
Berita ini menambah panjang daftar korban UN sejak UN diberlakukan sebagai (salah satu) kriteria penentu kelulusan yang saling memveto satu dengan yang lain.
Tragisnya, nasib anak bangsa yang nyata-nyata menjadi korban, seperti ditegaskan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengabulkan gugatan citizen lawsuit dalam perkara UN 2006, tidak juga menyadarkan pemerintah. Alih-alih memperbaiki sistem pendidikan nasional yang mendorong pemenuhan dan perlindungan hak anak atas pendidikan, pemerintah justru mengerahkan segala daya dan upaya untuk meredam gejolak.
Pengumuman kelulusan UN yang tidak serempak di berbagai daerah dan pengunduran jadwal UN pendidikan kesetaraan menjadi hanya selang dua hari dari batas akhir pengumuman kelulusan UN bagi siswa SLTA berhasil mengalihkan perhatian masyarakat. Tanggal 19-22 Juni 2007 korban UN SLTA mengikuti UN pendidikan kesetaraan untuk mendapatkan ijazah Paket C (setara SMA).
Padahal, 29 Juni 2007 adalah hari terakhir pendaftaran Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) ke perguruan tinggi negeri (PTN). Anak-anak yang ingin melanjutkan ke PTN terpaksa gigit jari atau langsung mencari perguruan tinggi swasta (PTS) jika berniat melanjutkan pendidikan pada tahun ini.
Nasib anak-anak yang tidak lulus sekolah menengah kejuruan (SMK) lebih memprihatinkan. Setelah selama tiga tahun belajar untuk kompeten di bidang tertentu, mereka terpaksa menerima ijazah Paket C jika lulus UN pendidikan kesetaraan. Hal ini terjadi juga pada anak-anak yang tidak lulus UN SMP/MTs. Tanggal 26-28 Juni adalah jadwal UN pendidikan kesetaraan untuk mendapatkan ijazah Paket B.
Seperti diberitakan Kompas pada edisi 29 Juni 2007, pendaftaran tahap pertama berlangsung 25-29 Juni 2007 di semua SMP negeri di wilayah DKI Jakarta. Anak-anak yang menunggu ijazah Paket A masih harus menunggu kebijakan pemerintah agar akses untuk melanjutkan ke SMP negeri terbuka bagi anak-anak ini.
Pindah jalur
Saya setuju dengan pernyataan ahli evaluasi pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia, S Hamid Hasan, bahwa konsep jalur yang dihargai setara dalam UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) adalah dalam hal pengakuan. Hasil yang diperoleh pada setiap jalur adalah setara, tidak lebih tinggi atau lebih rendah satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, hasil yang diperoleh dari jalur awal yang dilalui peserta didik diakui oleh jalur yang baru diikutinya.
Sayangnya, eligibility (keadaan memenuhi syarat) yang didengung-dengungkan para pembina pendidikan kesetaraan ini hanya dimanfaatkan pemerintah untuk mempertahankan kebijakan UN dalam konteks politik dan kekuasaan.
Dalam pemikiran UU Sisdiknas, jalur nonformal jelas bukan jalur penyelamat, keduanya memiliki kaidah masing-masing. Oleh karena itu, menyelesaikan ketidaklulusan di jalur formal melalui jalur nonformal bukan yang dimaksudkan oleh UU dan merupakan kebijakan yang tidak pantas. Dalam hal penyelamatan pun pemindahan secara "paksa" (karena tak ada pilihan lain) korban UN yang tidak lulus untuk mengikuti UN pendidikan kesetaraan patut dipertanyakan. Peserta didik yang lulus UN kesetaraan tahun 2007 tetap tidak dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi yang diselenggarakan oleh pemerintah. Jika demikian, eligibility pendidikan kesetaraan makin jauh dari harapan.
Keputusan anak-anak dari SMK Dhuafa, Padang, yang tidak melanjutkan UN setelah melihat kecurangan dan menolak mengikuti UN kesetaraan, seperti yang diberitakan di berbagai media massa, sungguh tepat. Pasal 1 UU Sisdiknas menyebutkan, jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan.
Potensi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan yang sewenang-wenang terhadap lemahnya kedudukan anak-anak (dan orangtua) terkait dengan pindah jalur pendidikan hanya saat anak tidak lulus UN tak dapat diabaikan begitu saja. Tak sedikit korban UN 2006 yang lulus Paket C kemudian ikut UN pada tahun 2007 karena khawatir dan bingung dengan status ijazah Paket C yang diperolehnya.
Adalah wajar jika orangtua dan peserta didik yang menjadi korban UN mempertanyakan ijazah Paket C atau B. UU Sisdiknas Pasal 61 Ayat 2 mengamanatkan bahwa ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi.
Bagaimanapun, tidak adil bagi peserta didik setelah tiga tahun mengikuti pembelajaran dan berusaha keras untuk meraih prestasi dan budi pekerti yang terbaik di sekolah kemudian—karena arogansi kekuasaan—terpaksa harus menerima ijazah Paket C setelah lulus UN kesetaraan yang mereka ikuti. Tak hanya kerja keras anak-anak yang tidak dihargai, tetapi hak anak untuk mendapatkan evaluasi yang komprehensif dari guru-guru yang tulus mendidik mereka selama tiga tahun pun diabaikan.
Evaluasi pendidikan
Istilah evaluasi pendidikan dijelaskan dalam UU Sisdiknas Pasal 1 Ayat 21, yaitu sebagai kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan. Adalah hak peserta didik untuk mendapatkan evaluasi dari pendidik dan satuan pendidikan yang dijalaninya.
Hal ini sejalan dengan bunyi Pasal 58 Ayat 1, yaitu evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.
Pindah jalur pendidikan hanya untuk mendapatkan ijazah dari pendidikan kesetaraan yang tak pernah dijalani anak menambah beban mental dan psikologis pada usia anak bagi korban UN. Selain melanggar prinsip evaluasi yang diamanatkan UU Sisdiknas, menjadikan UN pendidikan kesetaraan sebagai remedi bagi anak-anak yang tidak lulus UN berarti menambah daftar kelalaian pemerintah dalam pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia warga negara, terutama hak atas pendidikan dan hak-hak anak.
Jika hal ini terus dijalankan, eligibility pendidikan kesetaraan hanya akan menjadi elegi bagi korban UN, seperti yang terjadi pada almarhumah ananda Endang Lestari.
Yanti Sriyulianti Penggiat Pendidikan Kesetaraan
No comments:
Post a Comment