Tuesday, July 3, 2007

Melepas Potensi Pertumbuhan Perkotaan

Untuk pertama kalinya dalam sejarah, lebih dari separuh penduduk dunia, yaitu 3,3 miliar orang, akan hidup di daerah perkotaan pada tahun 2008. Jumlah itu diperkirakan akan membengkak menjadi hampir lima miliar jiwa pada tahun 2030.

Jumlah penduduk kota pedalaman dan kota di negara berkembang diperkirakan dua kali lipat dalam kurun waktu satu generasi, di antaranya di negara-negara Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Banyak dari pemukim perkotaan baru itu akan terdiri atas orang miskin.

"Masa depan mereka, masa depan kota di negeri berkembang, masa depan umat manusia itu sendiri sangat bergantung pada keputusan yang dibuat sekarang," kata Direktur Informasi Dewan Eksekutif dan Mobilisasi Sumber Daya Dana Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA) Safiye Cagar, dalam sambutannya di acara peluncuran Laporan Keadaan Penduduk Dunia 2007.

Beberapa kota besar di Indonesia juga akan mengalami tren kependudukan serupa. Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan tingkat urbanisasi mencapai 68 persen pada tahun 2025 atau naik dari 48 persen pada tahun 2005. Pada tahun 2025, tiga provinsi di Pulau Jawa, yaitu Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Banten memiliki tingkat urbanisasi lebih dari 80 persen.

Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta kini memiliki tingkat urbanisasi 100 persen dengan jumlah penduduk sekitar 8,6 juta jiwa. Hal ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah penduduk di sejumlah kota besar lain, seperti Surabaya (3,4 juta), Bandung (2,5 juta), dan Medan (2,5 juta). Pada tahun 2025, diperkirakan Jakarta akan jadi satu dari 21 kota-kota mega di dunia, yaitu kota-kota berpenduduk lebih dari 10 juta jiwa.

Jakarta dan kota-kota di pinggirannya, yaitu Bogor, Tangerang, dan Bekasi, adalah daerah paling dinamis dan penggerak ekonomi nasional. Pada tahun 2000, penduduk di Jabodetabek sudah mencapai 21 juta jiwa. Ini berarti 10 persen dari total jumlah penduduk Indonesia berdiam di lokasi yang hanya seluas 638.000 hektar atau 0,3 persen dari seluruh wilayah Indonesia.

Pertumbuhan pesat di Jakarta juga diikuti gejala sub-urbanisasi, yaitu berpindahnya penduduk Jakarta ke kota-kota penopang di pinggiran Jakarta sejak 1980-an. Saat ini diperkirakan rata-rata penduduk yang pergi ke Jakarta di siang hari adalah 6 hingga 7 juta orang atau hampir mendekati jumlah total penduduk Jakarta.

Dampak urbanisasi

Urbanisasi tidak terhindari, tetapi ia akan bisa juga positif. Tidak ada negeri dalam abad industri pernah mencapai pertumbuhan ekonomi yang berarti tanpa urbanisasi. "Kota memusatkan kemiskinan, tetapi mereka juga memberi orang miskin harapan terbaik untuk keluar daripadanya," kata Safiye menambahkan.

Kota juga menimbulkan masalah lingkungan, tetapi mereka juga dapat menciptakan pemecahannya. Karena itu, pemusatan penduduk di kota dapat menyumbang pada keberlanjutan jangka panjang. "Ancaman yang lebih besar mungkin adalah perluasan yang tidak teratur. Manfaat potensial dari urbanisasi jauh lebih besar daripada kerugiannya. Tantangannya adalah belajar bagaimana untuk mengeksploitasi potensinya," ujarnya.

"Kota besar menjanjikan kesempatan ekonomi dan perubahan sehingga menarik migrasi. Namun, pertumbuhan pesat penduduk urban—baik secara alamiah karena kelahiran ataupun karena migrasi—dapat menciptakan masalah, seperti kemiskinan," kata representatif UNFPA, Martha Santoso Ismail, menegaskan.

Hal ini timbul akibat tidak tersedianya lapangan kerja, ketidaksiapan infrastruktur, permukiman, dan layanan publik. "Menutup mata terhadap gejala migrasi berarti mengabaikan kebutuhan rumah murah untuk populasi miskin dan berdampak menjamurnya perumahan kumuh. Akibat dari migrasi, pertumbuhan sektor perekonomian informal tidak terhindarkan karena sektor formal tidak dapat menampung tenaga kerja yang ada," ujarnya.

Tiga inisiatif

Pemaparan kondisi kependudukan dunia tahun 2007 merupakan seruan bagi semua pemangku kepentingan agar segera bertindak. Tiga inisiatif yang diajukan adalah mengakui hak orang miskin atas kota, tidak melarang migrasi, dan mencegah pertumbuhan perkotaan.

Selain itu, visi berjangka panjang dalam perencanaan penggunaan lahan demi pemanfaatan ruang perkotaan yang lestari perlu diadopsi lebih lanjut. Ini berarti, antara lain, menyediakan lahan yang dilengkapi jasa pelayanan minimal untuk perumahan dan perencanaan untuk meningkatkan penggunaan tanah berkelanjutan, dan melihat melampaui batas kota.

"Upaya terpadu untuk mendukung strategi urbanisasi ke depan perlu dimulai," ujar Martha. Pemerataan pembangunan juga perlu terus diupayakan melalui otonomi daerah. Dengan pendekatan tepat, potensi dan kesempatan yang timbul karena urbanisasi dapat dinikmati secara optimal dan merata, termasuk perempuan, kelompok lanjut usia, remaja, dan populasi miskin.

"Menjawab tantangan kependudukan ini tidak akan efektif tanpa kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, perbaikan layanan kesehatan reproduksi, dan tersedianya data kependudukan yang dapat dipercaya," tutur Martha menambahkan. Pemberdayaan perempuan secara ekonomi dan sosial memungkinkan kontribusi optimal perempuan, yang merupakan separuh dari jumlah penduduk, dalam pengentasan kemiskinan. (EVY Rachmawati)

No comments: