Tuesday, May 29, 2007

Birokrasi, Reformasi, atau Recode?

Rhenald Kasali

Suara mantan Menteri Penerangan zaman Orde Baru yang biasa "mohon petunjuk dan pengarahan" atasannya sudah lama tidak terdengar. Namun, spirit ini masih sulit dihilangkan dari perilaku birokrat kita. Kurang percaya? Lihatlah memo-memo internal birokrasi kita, di sana akan ditemukan kalimat itu.

Kalimat itu mungkin sekadar basa-basi penutup agar lebih santun. Namun, tak sedikit atasan yang terperangkap, yaitu benar-benar memberi arahan. Akibatnya, struktur birokrasi yang disusun secara bertingkat yang dimaksudkan untuk membatasi wewenang hierarki telah menjadi kekuatan sentral yang membelenggu.

Ibarat rangkaian gerbong kereta api, kalau hanya mengandalkan kekuatan pada satu mesin di depan, kereta akan terantuk-antuk seperti orangtua yang kurang tenaga menarik gerbong ekonomi yang gelisah.

Ketika reformasi birokrasi dianggap sulit dan berbelit-belit, recode pikiran birokrasi dapat menjadi alternatif untuk menembus kebutuhan pemerintah yang terkesan tidak responsif dan tidak efektif. Kalimat mohon petunjuk adalah insight untuk memulainya.

Perangkap sopan santun

Dalam bahasa psikiatri, kebiasaan meminta petunjuk dapat dikategorikan sebagai penyakit mental yang sama bahayanya dengan berbagai kebiasaan buruk lainnya (The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, American Psychiatric Association).

Orang-orang ini masuk the dependent personality type dengan ciri-ciri submisif, patuh, mudah menghapus kedirian, berkata-kata manis, dan selalu butuh persetujuan orang lain. Tentu bukan karena punya gejala penyakit kejiwaan maka birokrasi kita tampak ragu, lamban, dan tidak bergerak jika tidak ada approval. Faktanya, profil demografi para pejabat birokrasi cukup bagus. Sekolahnya hebat- hebat dan mampu berpikir logis. Namun, mengapa orang-orang hebat selalu menunggu petunjuk?

Ada dua kemungkinan. Pertama, meminta petunjuk hanya merupakan bentuk ekspresi sopan santun kepada atasan yang ditujukan untuk tidak menonjolkan diri atau terkesan sok tahu.

Kedua, superioritas atasan. Bawahan "terpaksa" meminta petunjuk karena atasannya menghendaki demikian. Keduanya saling membentuk.

Sopan santun itu sama bentuknya dengan kebiasaan membawakan tas atasan, yang jika tidak dilakukan, seorang bawahan merasa tertekan karena takut dinilai tidak sopan oleh rekan-rekannya. Namun, atasan yang dimintai petunjuk sering melupakan tradisi sopan santun itu dan membiarkan dirinya terperangkap dengan memberi petunjuk sungguhan. Akhirnya berbalas-balasanlah antara minta petunjuk dan memberi petunjuk.

Padahal konsep recode menandaskan, apa yang kita pikirkan adalah baik jika kita sendiri yang mengerjakannya. Kita pikirkan sesuatu, kita mengenal medan yang kita hadapi, dan kita tahu kapasitas kita.

Setiap orang yang sehat, berpendidikan, dan telah melewati proses tertentu pasti punya ide dan tahu apa yang bisa dikerjakan. Bayangkan apa jadinya jika semua yang dikerjakan birokrat bukan hal yang mereka mengerti, mampu dilakukan, apalagi mereka sukai. Itulah yang terjadi di sini. Tidak jelas, tidak pasti, tidak realistis.

Reformasi atau "recode"

Kita semua gemas melihat wajah-wajah birokrat yang lemot dan tampak bodoh di depan kamera televisi menjelaskan bagaimana mereka merespons berbagai bencana yang belakangan ini melanda negeri. Selain takut-takut dan ragu, mereka tampak kurang sigap. Mereka kalah sigap dengan pengusaha yang membutuhkan kecepatan dan kepastian. Jajak pendapat Kompas (5/3) menunjukkan, 58 persen responden menganggap aparat birokrat "murah" sehingga gampang disuap.

Ada rasa putus asa terhadap masa depan negeri ini saat menyaksikan kualitas birokrat seperti itu. Kita beranggapan semua birokrat bodoh dan reformasi birokrasi yang efektif adalah memangkas satu generasi. Maka, setiap kali berbicara tentang reformasi birokrasi, kita menemukan kebuntuan. Semua mengeluh, tidak tahu harus mulai dari mana. Di kanan lemot, di kiri bolot. Namun, kita tak perlu pesimistis. Sekali benang kusut terurai, langkah berikut akan lebih gampang.

Membongkar gerbong-gerbong tua bukan urusan mudah karena kereta harus tetap berjalan kendati harus turun mesin. Namun seperti orang mabuk yang mencari kuncinya yang hilang di bawah lampu, reformasi birokrasi yang kita idam-idamkan masih sebatas membongkar peraturan, bukan mengubah perilaku. Ada pandangan yang memercayai semua perilaku dibentuk oleh peraturan, no matter the leadership. Cara berpikir mekanistik ini hanya cocok jika Indonesia sudah tenang, stabil, dan teratur. Kalau porak-poranda seperti ini, leadership matters.

Recode bukan membangun peraturan, tetapi membentuk nilai-nilai dengan membebaskan tiap individu dari berbagai belenggu kebiasaan, atasan, budaya memberi pengarahan, organisasi, dan cara berpikir. Jadi, sifatnya lebih manajerial dan praktis daripada kompromi politik yang kurang realistis. Tugas akhirnya adalah mengubah cara berpikir dengan mengembalikan esensi terbentuknya birokrasi, yaitu untuk melayani kepentingan rakyat.

Kita tak mengabaikan banyak peraturan membelenggu birokrasi. Semua perlu diintegrasikan untuk mewujudkan birokrat baru. Namun, pembaruan memerlukan harapan dan harapan harus dapat diberikan melalui hasil-hasil nyata yang cepat memberi hasil, sementara yang hasilnya butuh waktu (reformasi) harus terus dikerjakan.

Maka, beban itu ada di pundak para pemimpin dengan mengajak tiap birokrat kembali berpikir, bukan dengan memberi petunjuk. Petunjuk hanya dilakukan oleh seorang yang frustrasi bahwa bawahannya bodoh. Kebiasaan ini merupakan bentuk lain penyakit mental yang ada di kepala pemimpin. Misalnya, banyak ditemui pemimpin yang mengidap kepribadian obsessive-compulsive, yang cenderung mengontrol, kaku, disiplin, tetapi memaksakan. Perilaku ini mengabaikan realita, birokrasi kita sudah harus berubah menjadi birokrasi pasar, yang konsumennya menuntut kecepatan dan pelayanan. Birokrasi pasar berbeda dengan birokrasi perang dingin yang cenderung tertutup, sentralistis, dan mengabaikan peran pelanggan yang menuntut kepastian, kecepatan, dan keunggulan.

Pemimpin buatlah birokrasi kita kembali hidup dengan membiarkan mereka memakai kembali pikiran-pikirannya.

Rhenald Kasali Ketua Program Magister Manajemen UI; Dosen Fakultas Ekonomi UI

No comments: