Monday, May 28, 2007

Lindungi Guru yang Buka Praktik Kecurangan UN

DPR Prihatin, Ekses Ujian Nasional Tidak Sehat bagi Pembelajaran

Jakarta, Kompas - Komisi X DPR prihatin atas berbagai tekanan balik yang dialami oleh sejumlah guru yang membongkar kecurangan dalam pelaksanaan ujian nasional atau UN beberapa waktu lalu. Untuk itu, mereka minta semua pihak melindungi para guru yang masih memiliki nurani sebagai pendidik tersebut.

Wayan Koster, anggota Komisi X DPR dari Fraksi PDI-P, Minggu (27/5), menyatakan pihaknya prihatin atas berbagai tekanan balik dari sekolah ataupun pemerintah yang dialami oleh para guru yang mengadukan kecurangan dalam UN. "Tekanan-tekanan tersebut, apa pun bentuknya, jelas tidak pada tempatnya," katanya.

Diwartakan sebelumnya, sejumlah guru yang tergabung dalam Kelompok Air Mata Guru di Medan dan beberapa guru di Jawa Barat yang mengadukan berbagai indikasi kecurangan dalam UN merasa mendapatkan tekanan dari sekolah ataupun pemerintah. Sejumlah guru di Medan bahkan sudah ada yang diminta mengundurkan diri oleh sekolah. Sementara di Bandung, Iwan Hermawan—guru yang ditugaskan memantau UN oleh Dewan Pendidikan Kota Bandung—terancam kena sanksi penundaan kenaikan pangkat selama satu tahun (Kompas, 25/5).

Berbagai pihak, terutama pemerintah, seharusnya merespons positif dan berterima kasih kepada mereka yang melaporkan berbagai indikasi kecurangan tersebut. "Pemerintah dan berbagai pihak lainnya seharusnya menyikapi secara arif tindakan para guru tersebut. Bukankah itu semua untuk membenahi kondisi pendidikan kita. Bukannya malah memberikan tekanan-tekanan balik. Itu tidak benar dan tidak baik," kata Wayan Koster menjelaskan.

Keprihatinan serupa dikemukakan Anwar Arifin, Wakil Ketua Komisi X DPR. "UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen telah menyatakan tentang perlindungan terhadap guru. Tidak boleh ada intimidasi dan tekanan terhadap guru," ujarnya.

Dia mengatakan, dalam rapat kerja dengan Mendiknas Bambang Sudiyo berikutnya Komisi X akan mempertanyakan persoalan tersebut. Selain itu, Anwar meminta pemerintah daerah—seiring dengan otonomi pemerintahan juga bertanggung jawab terhadap level pendidikan menengah atas—ikut turun tangan melindungi para guru yang mendapatkan tekanan tersebut.

Tidak sehat

Terkait dengan UN itu sendiri, menurut Wayan Koster, memang harus dikaji ulang. UN yang dijadikan sebagai penentu kelulusan, sejak semula mendapatkan banyak tentangan dan keberatan dari sejumlah fraksi yang ada di Komisi X DPR. Dengan dijadikannya UN sebagai penentu kelulusan, ujar Koster, berarti hak guru untuk mengevaluasi murid diambil oleh Badan Standar Nasional Pendidikan dan tentunya juga pemerintah.

Sebagai tambahan, Ketua DPR Agung Laksono juga menyatakan UN bertentangan dengan UU Sisdiknas karena itu perlu dievaluasi. Perundangan itu mengamanatkan evaluasi peserta didik diserahkan kepada pendidik.

"Apalagi ternyata pelaksanaan UN kacau-balau sehingga penyelenggaraan pendidikan di sekolah menjadi tidak sehat. Guna menghadapi UN, sekolah berubah jadi bimbingan tes dengan diterapkannya berbagai drilling cara menjawab soal.," kata Wayan.

Anwar Arifin juga minta agar UN dikaji ulang. "Persoalannya ialah pada kebijakan makro dan implementasi dari UN. Perlu diukur tingkat kesuksesannya sehingga dapat diputuskan apakah UN perlu diteruskan atau tidak," ujarnya. (INE)

No comments: