Saturday, March 15, 2008

Beban Jawa Amat Berat


Relokasi merupakan Solusi
Sabtu, 15 Maret 2008 | 00:45 WIB

Jakarta, Kompas - Banjir dan longsor yang kerap terjadi di berbagai wilayah di Pulau Jawa merupakan indikasi tingginya beban lingkungan di pulau terpadat di Indonesia bahkan di Asia Tenggara ini. Relokasi penduduk dan industri ke luar Jawa merupakan langkah yang perlu segera diambil.

Jacub Rais, pakar geomatika, juga mantan Kepala Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional, mengatakan ini, Jumat (14/3), didasari data geospasial dan kependudukan saat ini.

Luas Pulau Jawa 132.187 km2, 6,9 persen daratan Indonesia. Namun, jumlah penduduknya sekitar 60 persen penduduk Indonesia. Berarti, kepadatan penduduk di Jawa 813 orang/km2.

Untuk dapat mengurangi penduduk Pulau Jawa minimal 2 juta per tahun, menurut Jacub—juga Guru Besar Pascasarjana Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, dan Universitas Indonesia—diperlukan pembangunan pusat pertumbuhan di pulau-pulau besar dan kecil di luar Pulau Jawa. Pusat-pusat itu berbasis industri agro dan maritim, yang menjadi potensi terbesar di negeri ini.

”Rencana strategis itu perlu didukung tata ruang terpadu antara pusat dan daerah, serta antara darat dan laut untuk mengurangi tekanan penduduk terhadap lahan di Pulau Jawa. Sebab, tidak ada provinsi di Pulau Jawa yang dapat menata ruang secara sendiri-sendiri,” ujarnya.

Keterpaduan strategi pembangunan antara provinsi yang berbatasan langsung maupun tidak langsung diperlukan untuk penataan ruang dan pendistribusian penduduk ke sejumlah daerah yang berpotensi dikembangkan di luar Jawa.

Relokasi penduduk ke luar Jawa, menurut Zuhal, mantan Menteri Negara Riset dan Teknologi, perlu dikaitkan dengan rencana pengembangan zona ekonomi terpadu di luar Jawa, yang disebut Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet).

Juga perlu didorong relokasi industri ke luar Jawa. Sebaliknya, pengembangan Kapet di luar Jawa bisa berdampak pada perpindahan penduduk secara spontan dari Jawa ke Kapet. Pengembangan Kapet perlu mendapat insentif oleh pemda setempat dan pemerintah pusat.

Daerah punya peluang menumbuhkan kawasan unggulan untuk menarik investor yang berorientasi ekspor dan efisiensi. Industri akan memilih luar Jawa karena sumber bahan baku di Jawa terbatas. Penyediaan lahan, bahan baku, dan sumber daya energi di luar Jawa lebih besar. Dalam hal ini Riau dan Kaltim sekarang menjadi daya tarik.

Jacub melanjutkan, pengelolaan wilayah hendaknya berdasar ketersediaan sumber daya air, bukan berdasarkan batas administratif dan aspek politis. Harus ada subsidi silang dari daerah hilir yang memanfaatkan suplai air, diberikan ke daerah hulu yang melestarikan sumber daya air.

Ia mengambil contoh DAS Bengawan Solo. Pada zaman Orde Baru ada dana reboisasi untuk kawasan hulu Bengawan Solo. Sekarang tidak ada lagi. Padahal, kawasan Jatim sebagai daerah hilir yang mendapatkan pasokan airnya memperoleh income dari industri yang memanfaatkannya.

Dengan kepadatan tinggi, kebutuhan kawasan permukiman tinggi, yang kemudian mengancam keberadaan kawasan hutan di gunung dan perbukitan yang harus dilindungi untuk menjaga keseimbangan hidrologis. Dengan bertambah penduduk, konsumsi beras dan bahan pangan meningkat, sementara luas lahan tidak berubah, bahkan berkurang. (YUN)

No comments: