Tuesday, March 18, 2008

Problema Besar Madrasah





Selasa, 18 Maret 2008
Prof Dr H Ki Supriyoko, MPd

Pembina SMP dan SMA Unggulan Insan Cendekia Yogyakarta dan Pengasuh Pesantren Ar-Raudhah Yogyakarta

Salah satu kekeliruan kebijakan pendidikan yang berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap rendahnya kinerja pendidikan (educational performance) Indonesia adalah kurang diperhitungkannya madrasah dalam sistem pendidikan nasional. Kalau kita berbicara mengenai peningkatan mutu pendidikan dan masalah-masalah kependidikan lainnya seolah-olah semuanya ditentukan oleh sekolah.

Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo), Muhammad Nuh, dalam salah satu acara pada sebuah pondok pesantren di Jawa Timur bahkan sempat menyatakan bahwa sekarang ini pemerintah hanya mengurusi sekolah negeri. Sudah saatnya sekolah negeri dan sekolah dalam pondok pesantren (notabene madrasah) disejajarkan dalam hal bantuan yang diberikan. Pada sisi lain Pak Menteri juga memuji bahwa madrasah dalam pondok pesantren dapat dijadikan contoh pendidikan yang tidak mengandalkan bantuan dari APBN maupun APBD.

Adanya pandangan yang tidak memperhitungkan potensi madrasah dalam penentuan kinerja pendidikan nasional jelas tidak tepat, bahkan keliru sama sekali. Di samping eksistensinya sudah sangat mapan maka jumlahnya pun sangat signifikan dalam belantara pendidikan di Indonesia.

Berapa jumlah madrasah di Indonesia? Menurut catatan Departemen Agama (2007), jumlah Madrasah Ibtidaiyah (MI) mencapai 23.517 lembaga, 93 persen di antaranya swasta. Total Madrasah Tsanawiyah (MTs) ada 12.054 lembaga dengan 90 persen di antaranya swasta. Lalu, Madrasah Aliyah (MA) jumlahnya 4.687 lembaga, 86 persen di antaranya swasta. Dari angka-angka ini diinterpretasi bahwa eksistensi madrasah di Indonesia sangatlah menentukan merah-putihnya pendidikan nasional.

Problema kemadrasahan
Problema besar pertama yang dihadapi madrasah di Indonesia sekarang ini adalah belum optimalnya tingkat favoritas masyarakat terhadap lembaga madrasah itu sendiri. Hal ini memang kenyataan. Jangankan madrasah menjadi pilihan utama bagi masyarakat, untuk memadrasahkan (menyekolahkan) putra-putri atau istilah menterengnya menjadi institution of choice saja belum banyak muncul, sedangkan anggota masyarakat yang sama sekali belum mengenal madrasah pun masih banyak. Ini lucu karena eksistensi madrasah di Indonesia setidaknya sudah puluhan tahun. Jadi, tidak dapat disebut ‘bayi’ kemarin sore.

Memang benar di kalangan tertentu, terutama kalangan pesantren, minat masyarakat terhadap madrasah sangat tinggi dan angka statistik pun telah menunjukkan tingginya jumlah madrasah di Indonesia. Meski demikian secara nasional tingkat favoritas masyarakat kita terhadap madrasah lebih rendah dibanding sekolah pada umumnya.

Problema besar kedua menyangkut lebih rendahnya prestasi akademis ilmu umum siswa madrasah dibanding siswa sekolah. Sependapat atau tidak, banyak warga madrasah yang membedakan pengetahuan, ilmu, dan keterampilan menjadi dua; yaitu ilmu umum (seperti matematika, kimia dan teknologi informasi (TI) serta ilmu agama (seperti membaca Alquran, memahami Hadis, dan Tarekh. Secara hipotetik lebih rendahnya prestasi akademis ilmu umum siswa madrasah dibanding siswa sekolah inilah yang menyebabkan lebih rendahnya tingkat favoritas masyarakat terhadap madrasah dibanding terhadap sekolah.

Kenapa hal itu terjadi? Ini muncul karena kurikulum madrasah hanya berisikan 70 persen ilmu umum, sedangkan kurikulum sekolah berisi 100 persen ilmu umum dengan asumsi mata pelajaran pendidikan agama dikecualikan.

Sebenarnya pencapaian nilai ujian nasional (NUN) madrasah cukup membanggakan. Ilustrasi riilnya sebagai berikut. Secara nasional pencapaian rata-rata NUN tertinggi tahun 2006 untuk SMA program IPA sebesar 28,97 oleh SMA Negeri 1 Bangil Pasuruan, untuk MA program IPA sebesar 27,57 oleh MA Ibarurrahman Stabat. Peringkat kedua sebesar 28,38 untuk SMAN Genteng dan 27,21 untuk MA Jeumala Amal. Peringkat ketiga sebesar 28,33 oleh SMA Negeri 1 Pandaan dan 27,10 oleh MA Negeri Bangkalan, dan seterusnya. Untuk SMA dan MA jurusan IPS dan bahasa petanya sama saja. Demikian pula untuk SMP dan MTs.

Pencapaian rata-rata NUN siswa madrasah memang lebih rendah daripada siswa sekolah, tetapi terpautnya relatif kecil. Sebenarnya hal ini membanggakan bagi madrasah mengingat substansi ilmu umum di dalam kurikulum madrasah hanya 70 persen. Apakah masyarakat kita dapat memahami kebanggaan tersebut? Pada umumnya tidak!

Mereka tahunya pencapaian prestasi akademis siswa madrasah lebih rendah daripada siswa sekolah. Bagi insan madrasah, memang hal ini terasa pahit, tetapi harus dapat diterima.

Solusi kreatif
Bagaimana memecahkan problema besar kemadrasahan tersebut? Ada beberapa cara yang perlu dipertimbangkan. Cara yang paling konvensional adalah menyampaikan ilmu umum yang porsinya sama dengan yang diberikan di sekolah, kemudian ditambah dengan ilmu agama. Cara ini bagus, tetapi hanya efektif dijalankan oleh madrasah dengan siswa yang diasramakan alias dipondokkan.

Madrasah yang eksistensinya di tengah pesantren biasanya mampu menjalankan cara ini secara produktif. Namun, pada madrasah nonpesantren yang siswanya tidak menginap, cara ini sangat berat untuk dijalankan.

Cara modern yang bisa dijalankan adalah membenahi metode pembelajaran (learning method), meningkatkan mutu guru (teacher quality), atau melengkapi sarana dan fasilitas belajarnya (facility). Ketiga pembenahan ini bisa dilakukan secara sendiri-sendiri. Tetapi, lebih produktif dijalankan secara terintegrasi. Lebih daripada itu bahkan cara konvensional dengan cara modern tersebut pun bisa dipadukan secara produktif.

Apakah ada SDM di madrasah yang dapat menjalankan cara tersebut di atas? Tentu saja ada, bahkan banyak! Masalahnya di madrasah itu sendiri banyak mutiara terpendam yang belum digali, diasah, dan dimanfaatkan potensiny

No comments: