Saturday, March 15, 2008

Jangan Rugikan Calon Mahasiswa

Sabtu, 15 Maret 2008 | 00:33 WIB

Kisruhnya rencana seleksi penerimaan mahasiswa baru perguruan tinggi negeri tahun kuliah 2008/2009 perlu win win solution.

Namun, win win solution itu dengan arahan tegas: tidak merugikan calon mahasiswa dalam koridor masyarakat ilmiah. Penegasan hanya bagi perguruan tinggi negeri (PTN) berstatus badan hukum milik negara (BHMN) mengelola sendiri uang pendaftaran masih berupa koma. Masih mengundang perdebatan. Sebab, pemicu keluarnya 41 PTN dari perhimpunan seleksi penerimaan mahasiswa baru (SPMB) bersangkut paut dengan masalah keuangan. Keharusan 41 PTN berstatus non-BHMN (jumlahnya tujuh) menyetorkan hasilnya ke kas negara sebagai penghasilan negara bukan pajak butuh waktu. Uang hasil pendaftaran tidak bisa segera dimanfaatkan sebagai tambahan dana segar.

Ketika lembaga pendidikan umumnya mengharapkan pemasukan dari uang pendaftaran, keinginan itu wajar. Kalau hanya satu pilihan, 100 persen dikelola PTN berstatus BHMN. Adapun kalau dua pilihan PTN, maka pilihan pertama berstatus BHMN 60 persen, pilihan kedua 40 persen. Bagi PTN di luar tujuh yang berstatus BHMN, uang itu harus disetorkan dulu ke Depkeu sebelum mereka bisa memanfaatkannya.

Seperti diakui Dirjen Dikti Fasli Jalal, karena sumber kekisruhan berpangkal pada masalah transparansi dan pembagian uang yang terkumpul, solusinya menyangkut birokrasi. Perlunya penegasan aturan SPMB sebagai solusi tampaknya belum mengadopsi keinginan 41 PTN. Mereka ingin agar cara pengelolaan uang hasil pendaftaran sama seperti dilakukan tujuh PTN berstatus BHMN. Keinginan itu ditampung lewat perubahan tujuh PTN berstatus BHMN sebagai pihak ketiga.

Inikah jalan keluar yang sama-sama menang untuk 41 PTN? Sebagai jalan keluar yang moderat, tanpa memerkosa keharusan legal, menurut kita perlu kebesaran hati pemimpin 41 PTN. Berbeda dengan swasta, biaya penyelenggaraan PTN tidak seluruhnya dari mahasiswa. Uang yang diperoleh dari pendaftaran hanya salah satu sumber. Aturan dana disetor ke negara harus dipatuhi.

Sebaliknya kesediaan 41 PTN perlu diimbangi kecepatan pelayanan pihak Departemen Keuangan. Ketika PTN mengandalkan uang pendaftaran sebagai dana segar, jangan (masih) terjadi pemenuhannya tersendatsendat. Status lembaga pendidikan bukan sebagai lembaga bisnis, tetapi lembaga pendidikan.

Kebesaran hati PTN-PTN non-BHMN harus diimbangi perbaikan kultur kerja birokrasi. Kalau terjadi kelambanan, keinginan nyebal-nya 41 PTN akan bangkit kembali. Dalam era reformasi yang menuntut serba transparan, hal itu sangat mungkin terjadi. Atau jalan keluar radikal, ubah semua PTN jadi berstatus BHMN, yang sudah pasti dampaknya tidak kalah rumit?

Jangan sampai terjadi, ketika semua persoalan sudah dirambah pertimbangan politis, praksis pendidikan yang seharusnya bebas politis ikut pula dikacauka

No comments: