Tuesday, April 1, 2008

Ketika Ibu Tega Membunuh Anaknya

Selasa, 1 April 2008 | 00:39 WIB

Oleh Nalini Muhdi

Tega nian si ibu. Induk macan saja tidak mau memakan anak sendiri. Lha, manusia kok malah lebih keji dari binatang. Begitulah, fenomena ibu yang membunuh anak kandung sendiri menjadi berita utama baru-baru ini (Kompas, 27-28/3/2008) membuat kita prihatin, sekaligus menyisakan segumpal pertanyaan.

Ada apa dengan ibu? Semudah itukah menggadaikan cinta kasih seorang ibu hanya lantaran derita finansial? Seulas dua ulas keterangan diberikan pakar. Mulai dari cengkeraman gurita ekonomi yang memang kian menyesakkan benak, si ibu yang dilanda depresi, sampai kebijaksanaan pemerintah yang tak berpihak kepada rakyat miskin.

Semuanya bisa jadi benar. Tapi, penyebab masalah ini memang kompleks, mengekor pada kehidupan yang kian rumit.

Gangguan ”mood” pascamelahirkan

Coba kita cermati. Hampir semua ibu yang tega membunuh anaknya tersebut mempunyai bayi yang belum berusia setahun. Kemungkinan besar si ibu menderita gangguan mood pascamelahirkan tak dapat dinafikan, membuat kita memberi garis bawah tebal pada setiap peristiwa ibu melahirkan. Kondisi fisik serta mental-emosional mereka yang rentan memang perlu perhatian secara simultan.

Di Indonesia, kesadaran tentang bahaya kesehatan mental pascamelahirkan masih amat kurang. Peristiwa sesudah melahirkan hanya dipandang sebagai masa yang menyenangkan dan pasti bisa dilalui dengan baik. Persepsi seperti itu pulalah yang menggiring banyak ibu tak berani menyuarakan keluhan bila dalam proses merawat bayinya mendapat kesulitan. Mereka takut dipandang tak becus menjadi ibu dan akan mendapat stigma sebagai ’ibu yang gagal’ dan mengundang rasa bersalah, kian membuat mereka enggan menyuarakan penderitaannya.

Ditengarai, satu di antara lima sampai tujuh perempuan yang melahirkan menderita depresi pascamelahirkan (post-natal depression). Lainnya bahkan menderita yang lebih berat, psikosis pascamelahirkan, kendati persentasenya lebih kecil. Gangguan obsesi kompulsi pascamelahirkan, meskipun lebih ringan, dampaknya sama membahayakan bagi ibu dan anak-anak yang masih bergantung pada emaknya tersebut. Kondisi ini tak sama dengan apa yang disebut sebagai baby blues atau perasaan mengharu biru dan sensitif yang normal melanda sebagian besar ibu seusai melahirkan lantaran adanya perubahan hormonal yang drastis saat melahirkan.

Penyebab gangguan mood pascamelahirkan (postnatal mood disorders) cukup kompleks. Ramuan faktor biologis, psikologis, dan sosial-ekonomi saling berbaur. Faktor biologis menjadi potensi awal, lantas akan manifest bila ada faktor lain yang mencetuskan. Semisal faktor kepribadian, cara mengatasi masalah, self-esteem, riwayat kekerasan pada masa kecil dan saat sekarang, masalah perkawinan, kehidupan yang sulit, kondisi bayi, kurangnya dukungan sosial, atau tekanan ekonomi. Faktor terakhir inilah yang akhir-akhir ini makin menggulung orang miskin menjadi lebih miskin di negeri ini. Dan bisa menjadi faktor menonjol yang mencetuskan maraknya fenomena ini. Tapi, sekali lagi, itu hanya salah satu faktor, tetapi bukan berarti dapat diabaikan.

”Suicide” dan ”Infanticide”

Gangguan mood pascamelahirkan bukan persoalan sepele. Dampaknya bisa memorakporandakan kehidupan si ibu, keluarganya, bayi, serta anak-anak lainnya. Gangguan ini mulai muncul dalam setahun setelah melahirkan, belum tentu segera setelah melahirkan. Bahkan, ada negara yang memperpanjang fokus perhatiannya menjadi dua tahun seusai ibu melahirkan.

Jane Fisher, seorang peneliti dari Melbourne University, menjumpai tingginya angka kematian ibu di Vietnam dalam setahun seusai melahirkan. Usut punya usut, ditengarai banyaknya ibu yang tampak meninggal karena kecelakaan ternyata melakukan bunuh diri tersamar. Kerap mereka tewas bersama anaknya.

Gangguan ini melanda seluruh lapisan masyarakat dan negara, dengan faktor pencetus dominannya yang beragam. Yang mengkhawatirkan, si ibu akan mengalami kesulitan dalam mengasuh serta menjalin ikatan emosional yang memadai terhadap bayi maupun anaknya yang lain. Dampaknya, anak-anak mereka bisa mengalami gangguan emosional dan perilaku, keterlambatan berbahasa dan gangguan kognitif, sebagai korban kekerasan yang dilakukan ibu, serta gangguan lainnya.

Bagi si ibu sendiri, kondisi yang sangat sulit tersebut bisa kian runyam bila tak direspons oleh lingkungan sosialnya. Dalam kondisi berat bisa memunculkan keinginan untuk mengakhiri penderitaan lewat jalan yang membahayakan diri maupun anaknya. Bunuh diri (suicide) dan membunuh bayi sendiri (infanticide) pun terjadi dan membuat masyarakat terpana, tak paham betul apa yang tengah terjadi. Seperti terjadi baru-baru ini. Ini masalah kondisi medik dan kejiwaan yang dipicu masalah sosial-ekonomi.

Program nasional

Sudah saatnya pemerintah bekerja keras meningkatkan taraf kualitas hidup bangsa ini, secara fisik, sosial, sekaligus mental- emosional. Tak ada yang lebih diutamakan karena dampaknya berkaitan. Kualitas anak ditentukan kualitas sang bunda. Berarti penanganan gangguan mood pada ibu pascamelahirkan saatnya dilakukan. Bahkan, di negara-negara maju, penanganan gangguan depresi pascamelahirkan sudah menjadi program nasional. Mungkin setara dengan program Keluarga Berencana (KB) di Indonesia.

Di Australia, bahkan skrining untuk mendeteksi gangguan tersebut dilakukan secara apik dan sistematis, mulai dari tingkat setara posyandu. Ada baiknya kita tiru, menggalakkan posyandu sebagai pelayanan yang lebih komprehensif sehingga kita bisa melakukan deteksi awal adanya gangguan kesehatan fisik pada anak balita, semisal gizi buruk, gangguan perkembangan, tanda-tanda kekerasan dalam keluarga, sampai gangguan mood seusai melahirkan. Sembari pemerintah dan masyarakat bersama-sama menanggulangi masalah keterpurukan ekonomi yang diyakini akan berlanjut. Ataukah kita harus menunggu korban lebih banyak lagi?

Nalini Muhdi Psikiater dan Konsultan ”Women Mental Health”; Bekerja di RSU Dr Soetomo/Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya

No comments: