Senin, 7 April 2008 | 02:12 WIB
Tubuh perempuan sampai kini masih menjadi ajang pertarungan berbagai kepentingan. Yang terbaru adalah imbauan Pemerintah Kota Batu, Malang, Jawa Timur.
Imbauan itu meminta agar para perempuan pemijat di panti-panti pijat mengunci dan menggembok rok dan celana dalamnya. Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kota Batu Imam Suryono seperti ditulis Warta Kota, Jumat (4/4), mengatakan, sejauh ini aturan tersebut baru imbauan kepada sembilan panti pijat di kota itu dan sudah dua panti pijat yang mematuhinya.
Ke depan, Kepala Satpol PP Kota Batu itu mengatakan, kebijakan yang masih berupa anjuran itu akan dilegalkan menjadi kebijakan pemerintah kota melalui peraturan wali kota.
Alasan pemberlakuan aturan imbauan itu adalah agar di kota tersebut tidak terjadi bisnis seks berselubung panti pijat kesehatan. Sejauh ini, demikian Warta Kota, ketentuan tersebut belum mengatur sanksi karena baru sebatas imbauan.
Ketua Umum Fatayat dan anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat, Maria Ulfah Anshor, menyebut aturan itu sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan dan bias jender. ”Seolah-olah hubungan seks pemicunya hanya perempuan,” tandas Maria Ulfah yang dihubungi Kompas. Dia berjanji akan berkoordinasi dengan anggota Fatayat Kota Batu untuk memprotes aturan tersebut.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Eva Sundari, menyebut untuk membuat aturan itu harus ada undang-undang yang membolehkan negara mengurus sampai ke ruang yang sangat pribadi. ”Undang-Undang Dasar masih menjamin hak orang untuk bekerja dan menjamin ruang privat warganya,” tandas Eva.
Aturan itu kembali memperlihatkan bagaimana kontrol tubuh dan perilaku perempuan digunakan untuk kepentingan pemegang kekuasaan. Imbauan itu mengingatkan praktik yang pernah dilakukan di Jawa dan Eropa berabad-abad lalu. Di Jawa, misalnya, di antara benda bersejarah milik Mangkunegaran terdapat bhadong, yaitu alat penutup kelamin wanita terbuat dari emas. Alat ini harus dikenakan perempuan dari keluarga bangsawan yang akan bepergian atau ditinggalkan suaminya beberapa waktu.
Maria Ulfah menyebut imbauan tersebut sangat tidak rasional. ”Kalau memang ingin agar tidak terjadi prostitusi, yang harus dilakukan adalah mengawasi panti-panti pijat tersebut. Kalau ada pelanggaran, langsung dikenai sanksi. Bukan memojokkan perempuan dengan aturan yang diskriminatif tersebut,” kata Maria.
Sementara secara terpisah Eva melihat imbauan itu dapat merugikan perempuan miskin. ”Kesempatan kerja saat ini menciut dan pemerintah tidak bisa memberi lapangan pekerjaan sementara kemiskinan meluas. Ketidakberhasilan menyejahterakan rakyat jangan dikompensasi dengan memviktimisasi perempuan,” ujar Eva.
Masalah otonomi daerah
Imbauan di atas bukan satu-satunya aturan daerah yang diskriminatif dengan mengontrol tubuh dan perilaku perempuan.
Reformasi tahun 1998 juga membawa perubahan pada tata pemerintahan. Perubahan pada Undang-Undang Dasar mengatur bahwa pemerintahan daerah dijalankan dengan asas otonomi.
Dalam praktiknya, banyak aturan yang dikeluarkan pemerintah daerah bertentangan dengan undang-undang di atasnya, bahkan melanggar Undang-Undang Dasar.
Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan dalam Catatan Tahunan tentang Kekerasan terhadap Perempuan 2007 yang dikeluarkan pada 7 Maret 2008 mencatat, terdapat 27 peraturan daerah (perda) dan kebijakan lain yang secara eksplisit mengontrol tubuh dan perilaku perempuan.
Dari 27 perda yang termasuk kategori diskriminatif, pelarangan pelacuran atau antimaksiat jumlahnya adalah yang terbanyak, yaitu 17 perda. Perda-perda tersebut mengandung kerancuan normatif yang memosisikan perempuan sebagai penyebab ketidakteraturan sosial.
Peraturan Pemkot Batu belum termasuk di dalam daftar aturan yang sudah diidentifikasi Komnas Perempuan, tetapi aturan tersebut juga memosisikan perempuan sebagai pihak yang menyebabkan ketidakteraturan sosial sehingga harus diatur perilakunya dengan memberi gembok pada rok dan celana dalamnya.
Komnas Perempuan juga mencatat, ke-17 perda yang berhubungan dengan pelacuran itu menggunakan ketertiban umum sebagai konsideran dan dibangun dengan perspektif yang tidak adil jender serta multitafsir.
Perda Kota Tengerang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Larangan Pelacuran Pasal 4 (1), misalnya, menggunakan rumusan multitafsir yang mendefinisikan seseorang sebagai pelacur melalui sikap atau perilakunya yang mencurigakan. Perda ini menurut Komnas Perempuan telah diadopsi oleh daerah-daerah lain.
Seperti telah terjadi, perda seperti ini menyebabkan perempuan menjadi korban penertiban karena berada di luar rumah pada malam hari, dan yang paling rentan terkena aturan yang diskriminatif ini adalah perempuan miskin. (Ninuk Mardiana Pambudy)
Monday, April 7, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment