Monday, November 19, 2007

Sekolah Bukan Pabrik


Protes rencana ujian nasional tingkat sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah/sekolah luar biasa terus terjadi. Pemerintah mengambil jalan tengah.

Kelulusan peserta UN tahun 2008 SD/MI diserahkan kepada sekolah. Baru pada tiga tahun ke depan, kelulusan UN SD/MI ditetapkan sesuai standar nasional.

Sistem ujian SD/MI tahun 2008 dinamakan ujian nasional yang terintegrasi dengan ujian sekolah (untus). Ini adalah jalan tengah, mempersiapkan sekolah beradaptasi dengan UN yang menetapkan peserta didik harus lulus Matematika, IPA, Bahasa Indonesia.

Jalan tengah itu diharapkan menghentikan protes penyelenggaraan UN tingkat SD setelah pemerintah bersikeras pantang mundur dan menyelenggarakan UN jenjang SLTP dan SLTA. Protes selama ini berisi UN tidak bisa dipakai untuk memetakan kondisi praksis pendidikan. UN hanya memotret sesaat, apalagi kemudian ternyata siswa didril dengan tiga mata pelajaran yang diujikan nasional—sebab sekolah mengharapkan sebanyak mungkin lulus. Pemetaan mesti ditempatkan dalam konteks proses dan bukan diorientasikan pada hasil saja.

Menempatkan hasil belajar terbatas dari UN, padahal praksis pendidikan adalah sebuah tujuan, penyelenggaraan dan hasil, ibarat menempatkan sekolah sebagai pabrik. Sebagai pabrik, yang dipentingkan adalah hasil produksi, tidak terlalu memerhatikan proses. Dalam konteks pabrik, sekolah lewat guru membentuk murid sesuai dengan standar (nasional) yang ditetapkan.

Pola pikir sekolah sebagai pabrik menelurkan kebijakan-kebijakan dengan orientasi hasil, bukan proses. Praksis pendidikan tidak menempatkan sekolah, pertemuan didaktik guru dan murid lewat belajar-mengajar di sekolah. Konsep-konsep pendidikan seperti berorientasi pada anak didik, pendidikan yang membebaskan dan demokratis, tinggal menjadi jargon, ditinggalkan dalam praksis pendidikan ala pabrik.

Pendekatan sekolah sebagai pabrik dengan ciri utama berlakunya standar baku membuat praksis pendidikan hanyalah sarana mencapai tujuan. Sebaliknya bagaimana tujuan tercapai tidak diperhatikan, termasuk praktik curang, komersialisasi, suap-menyuap, juga mendrilkan beberapa mata pelajaran yang diujikan nasional dengan sasaran lulus. Dalam bobot lebih ringan, praktik demikian, kalaupun bukan sebuah proses produksi pabrik, setidak-tidaknya praksis pendidikan menjadi ibarat bimbingan studi.

Paradigma sekolah sebagai pabrik perlu diganti paradigma baru, yakni terbuka terhadap masukan baru, dan tidak berpegang pada hukum rimba "pokoke"!

Fokus, Sekali Lagi Fokus

Masalah tidak saja tidak surut. Berbagai persoalan justru menjadi-jadi, terus bermunculan tiada henti, bahkan seperti berlangsung serentak.

Semua itu dibuat lebih kuat dan serentak oleh laporan dalam multimedia. Persoalan-persoalan itu, misalnya, hujan, banjir, dan longsor. Ancaman gunung berapi meletus. Bentrokan terkait dengan pembongkaran tempat berusaha, permukiman liar. Unjuk rasa yang menyertai pilkada di sejumlah daerah. Kemacetan di kota-kota besar, terutama Jakarta. Hiruk-pikuk perpolitikan yang menyangkut pilkada dan Pilpres 2009. Dan yang paling akhir ikut nimbrung, kenaikan harga minyak di pasar dunia yang mencapai 97 dollar AS per barrel.

Gelombang pengaruh dari kenaikan harga minyak yang hampir 100 dollar AS per barrel itu mengarus serentak ke seluruh dunia, termasuk Indonesia sebagai pengimpor minyak. Pemerintah, para ekonom, dan berbagai kalangan masyarakat, politisi, dan pengusaha terus-menerus mencermati kenaikan harga minyak serta pengaruhnya terhadap perikehidupan ekonomi. Di antaranya, perkiraan dan kecemasan akan ikut naiknya berbagai harga komoditas dan terpukulnya berbagai industri. Tentu saja, semua itu akan berbuah perikehidupan rakyat banyak menjadi lebih berat.

Dalam situasi dan kondisi semacam itulah kita dan pemerintah berada. Sementara itu, sesuai dengan tabiat demokrasi dalam transisi menjadi, suasana riuh rendah akan terus berlangsung.

Padahal, kita maklum, tidaklah mungkin publik maupun pemerintah sanggup menangani apalagi menyelesaikan semua persoalan itu sekaligus. Dalam konteks itulah kita saling mengingatkan bahwa bagaimanapun prioritas perlu dipilih dan dilaksanakan.

Informasi perihal semua persoalan dalam suasana riuh rendah itu agar berkembang menjadi komunikasi yang interaktif. Pemerintah memberikan informasi, lalu ditanggapi secara proaktif oleh publik, sehingga merupakan komunikasi. Juga publik menyampaikan informasi secara langsung maupun lewat beragam forum politik dan multimedia. Pemerintah juga lantas menanggapinya dan jadilah pula proses komunikasi.

Dalam komunikasi yang interaktif itu, apalagi untuk urusan-urusan yang strategis dan sentral pemerintahan, pemerintah jangan terbawa simultannya persoalan sehingga melemahkan prioritas.

Di antara beragam persoalan yang berebut perhatian adalah persoalan ekonomi yang diakibatkan naiknya harga minyak. Masuk akal kalau hal itu mendapatkan prioritas perhatian.

Pemerintah menjelaskan perkembangan dan kebijakan. Publik memberikan masukan. Pemerintah sesuai dengan fungsinya jangan sampai secara sadar dan tidak sadar terbawa arus keserentakan ingin mempersoalkan dan menyelesaikan semua persoalan. Hal itu sekaligus merupakan tugas dan kewajiban kepemimpinan dari pemerintah dan pemerintahannya. Komunikasi semakin diperlukan.

No comments: