Asvi Warman Adam
Tahun 2007 Departemen Sosial mengusulkan empat tokoh menjadi pahlawan nasional. Mereka adalah AK Gani, Slamet Riyadi, Ide Anak Agung Gde Agung, dan Moestopo (Kompas, 9/11/2007). Mereka akan melengkapi 137 pahlawan nasional yang telah diangkat sejak tahun 1959.
Dari pengajuan nama-nama ini, terkesan proses seleksi pahlawan nasional hingga kini masih diliputi kontroversi. Padahal proses sudah dimulai dari bawah, usulan dari kabupaten/kota diteruskan ke provinsi, lalu ke Departemen Sosial.
Empat tokoh
Untuk empat calon itu, tampaknya tidak ada masalah dengan dua tokoh pertama. Adnan Kapau Gani adalah tokoh yang sudah dibicarakan dalam pelajaran sejarah. Slamet Riyadi, meski riwayat hidupnya tidak banyak diketahui umum, ia gugur saat melawan penjajah.
Ihwal dua tokoh lain, ada kisah tersendiri. Tanggal 29 Agustus 2007 diluncurkan buku Aco Manafe tentang biografi Ide Anak Agung Gde Agung di Hotel Crown Plaza, Jakarta, yang dihadiri sekitar 20 orang. Tidak disinggung, penerbitan buku itu dalam rangka pengusulan pahlawan nasional, ternyata buku itu tidak beredar di toko-toko buku.
Sebagai pembahas, saya akui Anak Agung telah berjasa dalam pelaksanaan diplomasi Indonesia bahkan menulis buku-buku sejarah termasuk sejarah politik luar negeri Indonesia. Karena itu, ia diangkat sebagai anggota kehormatan Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI). Namun, tidak dimungkiri, di Pulau Dewata terdapat puri-puri yang pada suatu masa pernah bermusuhan. Pertentangan itu disertai kekerasan. Anak Agung dari Puri Gianyar pernah terlibat konflik itu.
Pembahas lain, penyair terkenal Taufiq Ismail, lebih banyak menyoroti penahanan yang dialami Anak Agung semasa pemerintahan Presiden Soekarno tahun 1960-an. Saya tanyakan kepada Aco Manafe, mengapa bukan Prof Taufik Abdullah yang menjadi pembicara, Aco menjawab tidak sempat menghubungi.
Seseorang dari Universitas Moestopo (Beragama) pernah meminta saya membantu penulisan biografi Sang Jenderal, pendiri perguruan tinggi itu. Ini dalam rangka pengusulan sebagai pahlawan nasional. Menurut saya, penulisan biografi seorang tokoh perlu dilakukan. Tetapi untuk diusulkan sebagai pahlawan nasional, saya ragu.
Gelar tak pernah dicabut
Dalam sejarah Indonesia, gelar pahlawan nasional yang sudah diangkat tidak pernah dicabut. Riwayat hidupnya diajarkan sejak bangku sekolah dasar. Perjuangan mereka menjadi inspirasi dan teladan segenap anggota masyarakat, termasuk generasi muda.
Namun kenyataannya, ada pula pahlawan nasional (diangkat tahun 1963) yang berstatus off the record dalam pengajaran sejarah semasa Orde Baru, yakni Tan Malaka.
Untuk menghindari terulangnya kontroversi, sebaiknya dilakukan penataan dalam pengangkatan pahlawan nasional.
Pertama, proses pengangkatan hendaknya melibatkan organisasi profesi sejarah seperti Masyarakat Sejarawan Indonesia, Institut Sejarah Sosial Indonesia, dan Asosiasi Guru Sejarah Indonesia.
Kedua, calon pahlawan nasional yang akan diangkat sebaiknya diumumkan di surat kabar sehingga bila ada protes dari masyarakat dapat dibatalkan.
Ketiga, kriteria yang ada hendaknya disempurnakan, dikaitkan moral atau hukum (tidak boleh terlibat korupsi, pelanggaran HAM, dan lainnya). Selama ini ukurannya politis sehingga para tokoh petisi 50 ditolak menjadi pahlawan karena mengkritik rezim Soeharto.
Pengangkatan pahlawan nasional hendaknya disesuaikan dengan semangat zaman, tersambung dengan nilai-nilai yang sedang diperjuangkan pada masa itu. Pengangkatan musisi Ismail Marzuki yang banyak mengarang lagu perjuangan sudah tepat karena pahlawan nasional tidak harus pejuang bersenjata. Karena bangsa ini sedang giat-giatnya memberantas korupsi dan menegakkan hukum, Jaksa Agung Suprapto (1950-1959) yang berani menyeret beberapa menteri ke pengadilan dan pejuang HAM Munir layak diangkat sebagai pahlawan nasional.
Dalam rangka kemajemukan bangsa, jangan lupa, sampai sekarang tidak ada etnis Tionghoa yang menjadi pahlawan nasional. Padahal ada beberapa orang yang memenuhi persyaratan seperti Mayor John Lie yang sesudah proklamasi tahun 1945 berjuang menembus blokade Belanda ke semenanjung Melayu untuk memperoleh senjata bagi pejuang Republik Indonesia.
Semoga penataan masalah ini dapat dipercepat dengan merampungkan Rancangan Undang-Undang Pahlawan dan Tanda Jasa yang sudah ada di DPR.
Asvi Warman Adam Sejarawan
No comments:
Post a Comment