Budi Suwarna
Bagaimana dunia pendidikan bisa membawa sebuah negara masuk ke dalam jajaran elite ekonomi dunia? Sodorkanlah pertanyaan itu kepada Finlandia.
Finlandia sejauh ini tercatat sebagai negara yang sangat sukses mengelola pendidikan. Dalam beberapa tahun terakhir, pendidikan di negara itu diakui sebagai yang terbaik di dunia. Tidak berhenti sampai di sini, negara Nordik di utara Eropa ini juga mampu mengintegrasikan dunia pendidikan, riset, dan industri.
Alur kasarnya, dunia pendidikan mencetak para ahli dan tenaga kerja terampil yang dibutuhkan lembaga riset maupun industri. Sebagian tenaga terampil masuk ke industri, sedangkan sebagian tenaga ahli masuk ke lembaga riset. Di lembaga riset para ahli menghasilkan temuan baru. Temuan dan inovasi lembaga riset ini kemudian dimanfaatkan industri.
Di luar itu, ada sebuah lembaga bernama Tekes. Lembaga ini bertugas mendanai penelitian dan mempromosikan inovasi. Jadi, lembaga riset tidak perlu pusing tujuh keliling mencari dana untuk penelitian.
Dari sistem terintegrasi itulah muncul inovasi-inovasi setiap tahunnya, baik dalam teknologi, sains, maupun jasa. Sistem yang telah berjalan selama bertahun-tahun ini pada akhirnya membentuk sebuah budaya inovasi.
Budaya ini mendorong orang untuk selalu berpikir tentang inovasi dan terobosan baru. Maka, jangan heran jika perusahaan telekomunikasi asal Finlandia, Nokia, hampir setiap tiga bulan sekali mampu menawarkan teknologi, fitur, maupun desain-desain baru.
Dengan mengintegrasikan dunia pendidikan, riset, dan industri, Finlandia mampu bersaing di tingkat global. Laporan tahunan Forum Ekonomi Dunia tahun 2004 menempatkan Finlandia pada urutan nomor satu negara yang ekonominya paling kompetitif di dunia. Tahun-tahun berikutnya Finlandia tidak pernah keluar dari 10 besar negara paling kompetitif. Tidak heran jika negara berpenduduk sekitar 5,2 juta jiwa (UN, 2005) ini memiliki pendapatan per kapita hingga 37.460 dollar AS (Bank Dunia, 2006) atau sekitar Rp 342 juta per tahun.
Jauh berbeda dengan Indonesia, di mana pengintegrasian dunia pendidikan, riset, dan industri baru sebatas wacana besar. Di sini, dunia pendidikan, riset, dan industri seolah jalan sendiri-sendiri. Akibatnya, banyak hasil penelitian di universitas dan lembaga penelitian hanya disimpan di dalam laci. Selain itu, pelaku industri selalu mengeluh karena lembaga pendidikan dianggap tidak mampu menghasilkan lulusan yang memenuhi kebutuhan pasar kerja.
Bagaimana pengintegrasian lembaga pendidikan, riset, dan industri bisa berjalan baik di Finlandia? Para pejabat Finlandia mengatakan, mereka meletakkan pendidikan dalam konteks ekonomi. Pemerintah Finlandia sadar benar bahwa mereka tidak akan mampu bersaing dengan Asia yang berbasis ekonomi biaya rendah. Karena itu, mereka bermain di wilayah ekonomi berbasis teknologi dan keahlian.
"Itulah sebabnya kami menanam investasi yang besar di bidang pendidikan dan pelatihan agar kami bisa mencetak tenaga ahli dan terampil yang nantinya menghasilkan inovasi," ujar Leo Pahkin, konselor pendidikan dari Badan Pendidikan Nasional Finlandia, pertengahan September lalu, di ibu kota Helsinki.
Untuk semua
Pahkin menjelaskan, sistem pendidikan di Finlandia dibangun dengan prinsip "pendidikan untuk semua". Laki-laki atau perempuan, warga miskin atau kaya didorong untuk mengasah otak dan keterampilan di lembaga pendidikan yang disediakan secara gratis. Mereka berkompetisi di sana dengan perlakuan yang sama. Hasilnya, setiap tahun selalu muncul siswa-siswa pintar dan berbakat di seluruh Finlandia.
Untuk orang dewasa, pemerintah menyediakan program pendidikan kejuruan seperti teknologi komunikasi dan informasi. Program ini terutama menargetkan para buruh yang tidak memiliki pendidikan dasar memadai. Dengan keterampilan tambahan, nilai mereka sebagai buruh menjadi lebih tinggi di dunia kerja.
Sampsa Vuorio, seorang guru di Torpparinmaki Comprehensive School, menjelaskan, pendidikan di Finlandia dijalankan dengan sangat demokratis. Sistem pendidikan Finlandia tak pernah memaksa siswa melakukan ini-itu dan mencapai target tertentu. Semua ditentukan oleh siswa sendiri dan orangtua.
"Kami sadar bahwa pendidikan adalah sebuah proses. Jadi, belajar harus sedikit demi sedikit. Kami hanya membantu memberi berbagai kemungkinan buat siswa," ujar Vuorio.
Target untuk setiap siswa juga berbeda. Ada siswa yang memiliki target tinggi dan ada yang tidak. "Para guru hanya seperti pelatih yang memberitahukan, kalau Anda melakukan ini, nilainya 6. Jika Anda melakukan itu, nilainya bisa 9," ujar Vuorio.
Sistem pendidikan juga tidak bersikap diskriminatif dan membeda-bedakan antara siswa pandai dan siswa kurang pandai. Karena itu, sekolah-sekolah di Finlandia tidak membuat ranking siswa. Selain itu, tidak ada siswa yang tidak naik kelas atau tidak lulus sekolah di Finlandia.
"Itu tidak ada gunanya. Saya kira tidak ada siswa pintar dan siswa bodoh. Yang ada adalah siswa yang belajar dengan cepat dan siswa yang agak lambat," ujar Vuorio.
Di Indonesia, sekolah-sekolah masih menetapkan ranking siswa. Selain itu, sistem pendidikan di Indonesia masih mengenal siswa yang tinggal kelas. Akibatnya, murid yang berada di peringkat rendah atau tidak naik kelas sering merasa rendah diri.
Sistem pendidikan, lanjut Vuorio, juga mendorong siswa untuk mengembangkan berbagai potensi yang mereka miliki. Karena itu, sekolah memberikan pelajaran atau pelatihan sesuai kebutuhan siswa.
Sekali lagi, sistem ini berbeda dengan yang berlaku di Indonesia. Di Indonesia, setiap siswa umumnya mempelajari pelajaran yang sama dengan target sama sesuai dengan kurikulum pemerintah.
Dalam proses pembelajaran, sekolah di Finlandia tidak mengajarkan sains dengan teori, tetapi langsung praktik di laboratorium. Dengan demikian, siswa bisa mengetahui apa yang terjadi dan mencari penyelesaiannya.
Untuk mengevaluasi sistem pendidikannya, Pemerintah Finlandia menggelar ujian nasional (UN). Namun, UN ini tidak diikuti oleh semua siswa dan tidak untuk semua mata pelajaran setiap tahunnya. "Kami mengambil secara acak siswa yang mengikuti UN. Hasilnya hanya kami gunakan untuk mengevaluasi sistem pendidikan kami, bukan untuk menentukan kelulusan. Soal penilaian atau kelulusan itu urusan sekolah," kata Pahkin.
Hal ini sangat bertolak belakang dengan sistem pendidikan di Indonesia, di mana UN menentukan kelulusan siswa. Alih-alih meningkatkan kualitas pendidikan, sistem ini justru menghasilkan siswa-siswa yang stres.
Dengan sistem pendidikan seperti itu, Finlandia bisa bersaing di tingkat global. Berdasarkan hasil survei komprehensif pendidikan dunia tahun 2003, siswa-siswa Finlandia menempati urutan nomor satu untuk tes matematika, sains, dan bahasa.
Tidak berhenti sampai di situ. Pendidikan di sana telah mengubah Finlandia yang ekonominya semula ditopang hasil hutan dan pertanian menjadi negara industri berbasis teknologi tinggi.
Sementara, dunia pendidikan Indonesia yang setiap tahun disibukkan oleh urusan UN belum mampu membawa negeri ini bersaing di tingkat Asia, apalagi dunia.
No comments:
Post a Comment