Thursday, November 29, 2007

Pendidikan Tinggi sebagai Sarana Publik


Amich Alhumami


Para perumus kebijakan publik sering dihadapkan pertanyaan, "Pendidikan tinggi termasuk sarana publik atau swasta?"

Pertanyaan ini relevan diajukan karena masyarakat risau dengan biaya pendidikan tinggi yang kian mahal. Penyelenggara pendidikan tinggi pun tampaknya cenderung mengikuti tuntutan pasar, menjadikan pendidikan tinggi seperti komoditas bahkan mengarah ke komersialisasi. Maka, dapat dimaklumi bila muncul resistensi dari masyarakat bahwa pendidikan tinggi menjadi lembaga pencari keuntungan. Bahkan RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang sedang dibahas di DPR dikhawatirkan akan menjadi justifikasi atas praktik komersialisasi pendidikan tinggi, yang sudah menjadi gejala umum beberapa tahun ini.

Parameter sarana umum

Dalam ilmu ekonomi, ada parameter pokok untuk menentukan sesuatu barang dapat dikategorikan sarana umum, yaitu harus bersifat non-rival dan non-excludable. Non-rival berarti konsumsi, pemakaian, atau pemanfaatan atas suatu barang tidak menyebabkan nilai dan volume barang itu berkurang. Non-excludable berarti orang lain tidak terhalangi atau berpeluang setara untuk mengonsumsi, memakai, atau memanfaatkan barang yang sama. Sebagai contoh, jalan raya.

Merujuk parameter itu, para penekun kebijakan publik berpendapat, pendidikan tinggi termasuk kategori sarana umum sebab menyangkut hajat hidup dan kebutuhan masyarakat. Maka, negara bertanggung jawab menyediakan layanan pendidikan tinggi agar tiap warga mendapat kesempatan sama (non-excludability) dalam memperoleh akses pendidikan tinggi (non-rivalry).

Jika pendidikan tinggi dimaknai sebagai sarana umum, tidak boleh ada praktik komersialisasi yang berorientasi mencari untung atau mengakumulasi kapital. Komersialisasi pendidikan tinggi jelas menggugurkan sifat non-excludable karena hanya melayani sekelompok orang.

Namun, ada juga pendapat, pendidikan tinggi tidak sepenuhnya sarana umum sebab lulusan universitas akhirnya masuk pasar kerja dan mendapat keuntungan ekonomi/finansial dari ilmu dan keterampilan yang diperoleh di perguruan tinggi. Namun, argumentasi ini tidak cukup meyakinkan karena para sarjana yang telah bekerja lalu memberi kontribusi pada pendapatan negara berupa pembayaran pajak, yang digunakan untuk membiayai pelayanan publik, termasuk pendidikan tinggi. Sepanjang ada unsur dana publik yang dimanfaatkan untuk kepentingan pelayanan umum, hal itu bisa digolongkan dalam sarana umum juga.

Fungsi dan manfaat

Untuk memberi pemahaman lebih utuh ihwal pendidikan tinggi sebagai sarana umum, perlu dikaitkan dengan fungsi dan manfaat pendidikan tinggi. Anthony Chambers dalam Special Role of Higher Education in Society (2005) mengidentifikasi lima fungsi pokok pendidikan tinggi. (1) Fungsi riset, terkait pengembangan ilmu pengetahuan dan penemuan ilmiah (scientific innovation); (2) fungsi pengajaran, terkait pelatihan tenaga terampil dan berkualifikasi tinggi; (3) fungsi pengabdian, terkait layanan jasa bagi masyarakat; (4) fungsi penyiapan individu sebagai warga negara yang baik guna membangun masyarakat beradab dan demokratis; dan (5) fungsi kontrol sosial, kritik publik, dan penjaga moral agar perilaku masyarakat tetap merujuk nilai-nilai etika sosial yang berlaku umum.

Jelas, pendidikan tinggi memberi manfaat besar bagi individu dan masyarakat, secara ekonomi ataupun sosial. Scott London dalam Higher Education for the Public Good (2005) menjelaskan, di tingkat individu, manfaat pendidikan tinggi secara ekonomi adalah (1) membuka peluang pengembangan karier dan pekerjaan yang lebih baik; (2) meningkatkan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan relaksasi; dan (3) membuka ruang berbagai aktivitas sosial dengan pendapatan yang lebih.

Adapun manfaat di tingkat sosial individu adalah (1) menyediakan pilihan-pilihan dalam mengembangkan kehidupan; (2) mengembangkan jaringan dan membangun kemitraan untuk memupuk modal sosial; dan (3) memperluas pemikiran guna mencapai kepuasan individual.

Manfaat ekonomis pendidikan tinggi di tingkat masyarakat adalah (1) merangsang kegiatan ekonomi, menciptakan iklim bisnis yang baik, dan membuka lapangan kerja; (2) memacu belanja untuk konsumsi dan meningkatkan pendapatan pajak; dan (3) mendorong inovasi teknologi.

Adapun manfaat sosial di masyarakat adalah (1) memperkuat kohesi sosial melalui pengakuan dan penghargaan atas keragaman budaya dalam masyarakat; (2) memperkuat struktur sosial sebagai basis bagi pengembangan masyarakat pluralis dan kepemimpinan politik demokratis; dan (3) meneguhkan nilai-nilai civic morality dan public responsibility untuk menciptakan masyarakat berkeadaban (lihat juga Kezar, Chambers & Burkhardt [eds], Higher Education for the Public Good: Emerging Voices for a National Movement, 2005).

Pendidikan tinggi jelas mengemban misi sosial-profetik untuk memajukan masyarakat secara ekonomi-politik-sosial-budaya dan peradaban umumnya. Maka penyelenggara pendidikan tinggi seyogianya terikat nilai-nilai etika sosial dan tidak mengikuti arus komersialisasi. Dengan merujuk nilai-nilai etika sosial, pemaknaan pendidikan tinggi sebagai sarana umum akan kian kuat. Maka, penyelenggaraan pendidikan tinggi tidak boleh sepenuhnya diserahkan pada mekanisme dan hukum pasar. Negara ikut bertanggung jawab menyediakan sumber pembiayaan ataupun intervensi kebijakan dengan membuat regulasi agar layanan pendidikan tinggi tidak hanya digerakkan motif mencari untung dan menumpuk kapital.

Amich Alhumami Peneliti Sosial, Department of Social Anthropology, University of Sussex, United Kingdom

No comments: