Friday, November 23, 2007

"Dunia Rata" ala Indonesia


Henry Subiakto


Siapa sangka India, yang dulu dikenal sebagai negara yang mayoritas rakyatnya miskin dengan kondisi kota-kotanya yang kumuh serta diwarnai konflik sosial politik tinggi, kini membuat kagum banyak orang.

Bahkan muncul kekhawatiran di AS karena perkembangan penguasaan information and communication technology (ICT) luar biasa. Minimal itulah kesan dari buku The World Is Flat (2006) karya Thomas L Friedman, kolumnis Foreign Affairs The New York Times.

Menurut penyabet penghargaan Pulitzer 2002 kategori komentator itu, kini dunia sudah bersifat datar, yaitu mengglobal dan ber-platform jaringan internet sehingga berbagi aneka bentuk pengetahuan dan pekerjaan sudah tak terkendala oleh waktu, jarak, wilayah, dan bahasa. Dunia datar menyuguhkan aras palagan permainan (level playing field) yang kompetitif untuk negara industri dan negara berkembang (emerging market countries).

Dunia datar bersumbu pada kemajuan dan pemanfaatan ICT. Siapa pun, dari mana pun, dengan ICT dapat menjadi "pemain" utama di pasar kerja. Adanya internet, alur kerja memanfaatkan mesin, kemudahan kirim-unduh data, outsourcing, relokasi tempat produksi, hingga kemudahan mencari informasi melalui mesin pencari, dan tautan digitalisasi bergerak virtual mempribadi dicatat Friedman sebagai kekuatan pendatar dunia.

Semua perkembangan ini telah memunculkan fenomena luar biasa, saat semua kekuatan pendatar berkonvergensi dan berproses dengan sokongan model bisnis baru yang inovatif berbasis ICT membuat semua orang memiliki kesempatan yang sama menjual kemampuannya di pasar global.

Friedman menunjukkan kehebatan India. Betapa perusahaan di kawasan Bhavya, Bangalore, mampu menyediakan tenaga kerja untuk juru ketik, operator call center, akuntan, hingga pemrogram komputer di negara maju. Orang India bekerja untuk AS, tetapi tetap tinggal di India. Mereka bekerja sebagai bagian integral rantai bisnis perusahaan global, seperti Dell, American On Line (AOL), dan Microsoft.

Bersaing melalui ICT

Kini orang AS harus bersaing kerja dengan yang tinggal di AS dan insan brilian sejagat. Artinya, di sana ada pekerjaan yang mulai terancam tergusur oleh orang dari belahan dunia lain melalui mekanisme outsource, otomatisasi, atau digitalisasi. Profesi, seperti ahli bedah, radiologi, dokter gigi, ortodontis, pengacara, farmakolog, dan guru, termasuk kategori yang rentan tergusur tanpa bisa dicegah meski dengan larangan masuknya pekerja migran.

Dengan mengandalkan kualitas hasil kerja dan daya saing harga, serta memaksimalkan ICT, warga India mengambil alih pekerjaan warga AS. Misalnya, melalui webcam, guru India dengan harga jauh lebih murah dapat memberi les secara virtual kepada siswa yang tinggal di AS.

Tugas dokter radiologi di John Hopkins Hospital AS pada malam hari atau pada akhir pekan sudah di-outsource ke dokter-dokter India. Melalui teleradiology memungkinkan para dokter India mendapat gambar dari rumah sakit ke rumah mereka (bisa juga ke Vail atau Cape Cod). Gambar itu langsung dapat diinterpretasi sehingga tersedia layanan media secara prima 24 jam. Untung, ketika di AS malam, di India siang sehingga tidak ada ongkos lembur.

Para akuntan India di Bengalore, dengan kemampuan sama, bisa mengambil alih auditing dari akuntan AS di Washington atau New York. Kualitas hasilnya hampir sama, tetapi lebih murah.

Itu contoh bagaimana orang India dengan kemajuan ICT-nya mampu "merebut" pekerjaan profesi-profesi tertentu tanpa harus hadir secara fisik.

Ala Indonesia

Bagaimana dengan Indonesia? Kita memang masih tertinggal, baik dari sisi infrastruktur maupun SDM. Namun, tidak berarti kita diam saja. Setidaknya, upaya ke arah itu sudah ada. Salah satunya dilakukan Depkominfo dengan memperluas akses jaringan informasi dan komunikasi, dewasa ini tengah dibangun infrastruktur yang disebut Palapa Ring. Suatu jaringan serat fiber optik high-speed packet access (HSPA), yang dibangun sepanjang 11.000 km, diperkirakan selesai akhir 2008.

Palapa Ring merupakan jaringan penopang utama yang menghubungkan pulau-pulau dan kota-kota di Indonesia timur. Semacam jalan tol untuk lalu lintas informasi digital, yang dibangun atas dana partisipasi swasta murni dari para operator telepon. Palapa Ring akan terkoneksi dengan jaringan yang sudah ada di Indonesia bagian barat. Untuk jaringan ICT masuk ke desa, juga dibangun universal service obligation (USO) yang diperkirakan rampung tahun 2009.

Melalui infrastruktur itu diharapkan akan terjadi pertukaran informasi yang lebih masif dan mampu menumbuhkan berbagai aktivitas positif. Infrastruktur ICT dimaksudkan untuk mendorong warga Indonesia berpeluang lebih baik untuk memperoleh kualitas pendidikan (e-education). Misalnya, guru pintar yang enggan mengajar di daerah terpencil, dengan jaringan internet dilengkapi webcam, dapat berbagi ilmu ke masyarakat di sekolah pelosok kendati ia tetap berada di kota.

ICT juga dikembangkan untuk e-health, yaitu puskesmas-puskesmas dikoneksikan dengan rumah sakit, tenaga medis, atau dokter andal. Nantinya pasien dan tenaga medis dapat berkonsultasi jarak jauh dengan memanfaatkan perangkat teknologi komunikasi berbasis visual (3G), atau bahkan menggunakan teleradiology.

Dalam ekonomi, warga desa diharapkan dapat melakukan transaksi uang tanpa bertemu fisik atau melalui ATM yang jarang di daerah terpencil. Cukup dengan telepon seluler, siapa pun bisa bertransaksi melalui jaringan (e-money) yang dikemas seperti kode angka voucher pulsa dan bila menerima angka, dapat menukarkan dalam bentuk uang tunai melalui (misalnya) kantor pos di desa mereka.

Ini merupakan perkembangan ICT yang revolusioner. Diharapkan melalui Palapa Ring dan USO, keberadaan ICT di berbagai pelosok Indonesia akan menjadi determinan perubahan sosial, yang ujungnya adalah peningkatan kesejahteraan.

Memang semua ini masih cita-cita, sekaligus optimisme. Untuk mewujudkan mimpi "dunia datar" ala Indonesia diperlukan keseriusan dan sinergi semua komponen. Kalau India bisa, orang Indonesia tentu juga bisa. Yang penting ada semangat, optimisme, dan berpikiran positif terhadap perubahan. Kita tak perlu gentar menghadapi dunia yang datar.

Henry Subiakto Dosen Program Pascasarjana Komunikasi Universitas Airlangga

No comments: