Monday, November 19, 2007

Lingkungan Hidup

Kompleksitas dan Kegamangan

Brigitta Isworo L

Menjadi tuan rumah penyelenggaraan Pertemuan Para Pihak ke-13 (COP-13) pada Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) di Bali, 3-14 Desember 2007, telah menyerap segala energi negeri. Tak hanya pemerintah, organisasi nonpemerintah dan pihak pengusaha swasta pun turut sibuk.

Kesempatan menjadi tuan rumah merupakan peristiwa "besar" karena di sana akan bertemu para pihak yang terikat pada Protokol Kyoto. Mereka adalah negara-negara industri yang memiliki komitmen untuk turut serta dalam mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) negara-negara industri paling sedikit 5 persen dari tingkat emisi tahun 1990.

Pertemuan tahun ini sangat strategis karena di sana akan dibahas "peta jalan" untuk pasca-2012—berakhirnya periode Protokol Kyoto.

Di Bali akan dibahas usulan perbaikan, antara lain kendala-kendala yang ditemui dalam proses pelaksanaan butir-butir Protokol Kyoto, yang dalam 10 tahun ini mulai dirasakan negara-negara berkembang dalam koalisi Non-Annex I—di dalamnya terdapat koalisi negara-negara pulau-pulau kecil, negara pengekspor minyak, negara-negara Benua Afrika, dan lain-lain.

Sebagai tuan rumah, Indonesia juga ingin memainkan peran sebagai pemrakarsa pada beberapa isu, di mana selama ini suara negara-negara berkembang kurang "didengar".

Diskriminasi tidak boleh terjadi pada isu krusial pemanasan global karena udara tidaklah tersekat-sekat secara politis, ekonomis, maupun etnis.

Ancaman dampak pemanasan global terhadap negara berkembang justru bersifat langsung: pertanian yang hancur, penggurunan kawasan hutan, semakin berkurangnya cadangan air, dan menciutnya pantai. Negara-negara itu menjadi korban karena tidak memiliki teknologi yang mampu menolong mereka.

Menyoal kompleksitas Indonesia, negeri ini berada di khatulistiwa; lokasi mesin cuaca dunia sehingga Indonesia bisa dipastikan menjadi "korban utama" dari perubahan iklim menyusul pemanasan global.

Dari segi wilayah, Indonesia berupa kepulauan—lebih dari 17.000 pulau dan diapit dua samudra utama, yaitu Samudra Pasifik dan Hindia; Indonesia terancam tenggelam sebagian wilayahnya akibat muka air laut naik akibat pemanasan global.

Hal lain, dengan kekayaan hutan hujan tropis yang luar biasa dan sekarang secara mengerikan telah habis dibabat, Indonesia akan mengalami penggurunan.

"Interdependence"

Kata "interdependence" disitir Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam side event (event pendamping) di New York, 24 September 2007.

Saling ketergantungan berarti pihak negara maju bukan hanya tidak meninggalkan negara berkembang, tetapi juga mampu memahami dan berempati dengan persoalan negara berkembang.

Indonesia dengan segala persoalannya kini mulai unjuk gigi. Indonesia akan mengusulkan reducing emissions from deforestation and degradation (REDD) sebagai salah satu skema mencegah bertambahnya emisi karbon.

Indonesia juga mengambil inisiatif dalam F-11—terdiri atas 11 negara pemilik hutan hujan tropis—serta memimpin Coral Triangle Initiative (CTI).

Sejalan dengan itu, pemerintah juga dengan sigap dan cepat menyusun Rencana Aksi Nasional dalam Menghadapi Perubahan Iklim yang kini terus-menerus digodok.

Semua langkah itu baik adanya. Namun, di mana letak dan posisi rakyat bersama pemerintah daerahnya? Hingga sekarang hal itu belum jelas dan belum gamblang. Jika tidak berhati-hati, Indonesia bisa justru menjebak diri sendiri.

Korupsi bisa semakin merajalela melalui perdagangan karbon atau mekanisme pembangunan bersih. Indonesia perlu bukan hanya hebat di depan, tetapi juga sekaligus beres di belakang. Sebab, di dalamnya ada lebih dari 200 juta penduduk menggantungkan hidupnya.

No comments: