Pemulihan Kawasan Pesisir Bukan dengan Reklamasi
Jakarta, Kompas - Ekosistem di kawasan pesisir Indonesia dalam kondisi kritis ditandai dengan laju kerusakan mangrove yang tak terkendali. Rusaknya ekosistem di pesisir sudah menuai ongkos sosial dan lingkungan berupa bencana banjir, abrasi, intrusi air laut, dan rusaknya biota di perairan.
Berdasarkan catatan Departemen Kehutanan, di sepanjang garis pantai Indonesia yaitu, 81.000 kilometer sejatinya ditumbuhi ekosistem mangrove seluas 9,36 juta hektar (9.361.957,59 hektar).
Akan tetapi, hasil identifikasi Dephut tahun 2000, hanya tersisa 2,5 juta hektar (2.548.209,42 hektar) mangrove yang kondisinya tergolong baik. Dengan demikian, areal mangrove yang rusak sudah mencapai sekitar 70 persen.
Mangrove berperan sebagai peredam gelombang laut dan angin, pelindung dari abrasi, penahan lumpur, dan perangkap sedimentasi.
Potret kerusakan pesisir, termasuk ekosistem mangrove, sudah bisa dirasakan dampaknya ketika banjir akibat gelombang pasang air laut terjadi di utara Jakarta awal pekan ini.
Tegakan bakau yang bisa disaksikan saat ini hanya terlihat sedikit di kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke dan kawasan taman wisata alam Angke Kapuk, yang luas tegakkan bakaunya tinggal sekitar 9 hektar, yang secara ekologis tidak lagi bisa berfungsi
Penyebab kerusakan kawasan pesisir selama ini yaitu karena reklamasi, pencemaran, konversi menjadi tambak, juga penebangan bakau untuk dijadikan arang.
Akan tetapi, saat ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bekerjasama dengan sembilan pengembang justru tengah merealisasikan proyek mercusuar reklamasi pantai utara Jakarta.
Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) melalui Keputusan Menteri (Kepmen) Negara Lingkungan Hidup Nomor 14 Tahun 2003 telah menyatakan ketidaklayakan lingkungan proyek tersebut. Namun, Pemprov dan DPRD tetap bersikeras mengizinkan proyek itu.
Reklamasi tersebut akan menguruk pantai sedalam delapan meter, selebar dua kilometer dari garis pantai, dan sepanjang 30 km kawasan pesisir. Rencananya, di atas lahan reklamasi itu akan digunakan untuk berbagai kegiatan bisnis dan perumahan penduduk untuk 750.000 jiwa.
Bukan Reklamasi
Khalisah Khalid dari Walhi Jakarta mengatakan, proyek itu hanya akan menuai kerugian ekologi hingga Rp 3,499 triliun dan menggusur 125.000 nelayan.
Muhammad Ilman dari Wetland International menegaskan, pemulihan kawasan pesisir tidak bisa dijawab dengan reklamasi. Hal itu justru akan memperparah kondisi pesisir.
Bambang Supiyanto, Sekretaris Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Departemen Kehutanan juga mengatakan, pemulihan kawasan pesisir, khususnya di Jakarta, tidak bisa dilakukan dengan pendekatan ekonomi. "Sebab tidak sepadan dengan ongkos akibat dampaknya. Namun, pemeliharaan lingkungan itu masih dianggap cost center," ujarnya.
Direktur Pemukiman dan Perumahan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Basah Hernowo mengatakan, merujuk Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pencabutan dan pembatalan izin, bahkan pembongkaran bangunan bisa dilakukan bila properti merugikan lingkungan dan masyarakat sekitarnya. Baik pemberi izin maupun penerima izin bisa dikenakan sanksi pidana denda bahkan penjara bila properti memang merusak lingkungan.
Pemprov Mengakui
Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo mengakui adanya kesalahan perencanaan tata ruang di masa lalu. "Saat ini, kita mengadapi konsekuensi dari naiknya permukaan air laut akibat pemanasan global. Tidak perlu saling menyalahkan tata ruang di masa lalu tetapi kita harus mencari cara untuk mengatasinya," kata Fauzi.
Saat ini, Jalan Tol Prof Sedijatmo, Bandara Soekarno-Hatta pada kilometer 27 masih menghadapi ancaman banjir dari kawasan tambak rakyat akibat air laut pasang. Namun, dalam jangka pendek PT Jasa Marga masih belum berniat membangun tanggul pembatas tepian tambak dan jalan tanah. Rabu siang (28/11), titik lokasi awal meluapnya air tambak karena laut pasang ke jalan tol hanya ditutup dengan tumpukan deretan karung berisi tanah setinggi 20 sentimeter.
Korban Masih Terlantar
Sementara itu, Sekitar 300 warga RT 06 / RW 01 Kamal Muara Penjaringan Jakarta Utara yang mengungsi di tenda darurat akibat banjir Senin lalu kondisinya cukup memprihatinkan. Bantuan air minum serta obat-obatan masih minim sehingga mengakibatkan puluhan balita terserang penyakit.
"Hingga hari ini, kami hanya mendapat satu bantuan dos air minum kemasan gelas. Bahkan, obat-obatan sama sekali kami belum dapat. Padahal banyak balita sudah sakit demam, diare dan gatal-gatal," ujar Ketua RT 06/01, Muksin.
Warga juga mengeluh karena tidak bisa lagi mencari nafkah. "Saya sudah tidak punya uang lagi karena tiga hari tidak melaut," ujar Udin (42) warga RT 2 / RW 1 Dadap Kosambi.
Sementara itu, sebagian besar nelayan di Muara Baru tinggal di RT 19 dan RT 20, yang merupakan wilayah terparah dari sembilan RT yang ada di sana. Sekitar 20 rumah di wilayah itu rusak.
Untuk mengatasi banjir di Jakarta Utara yang ditimbulkan limpasan gelombang air pasang, Fauzi Bowo mengatakan, polder untuk mengatasi limpasan gelombang air pasang seharusnya berlapis sehingga mampu menampung dan memompa air kembali ke laut, saat mulai surut. Cara itu meniru sistem di Belanda. (SF/ECA/WIN/A04/A05/A08/)
No comments:
Post a Comment