Tuesday, October 14, 2008

Tantangan Mengelola Dana BOS


Senin, 13 Oktober 2008 | 00:56 WIB

Supri Harahap

Bantuan operasional sekolah atau BOS yang dikucurkan ke jenjang pendidikan dasar kini merupakan sumber dana utama untuk segala macam kegiatan operasional di sekolah. Ketika pencairan dana ini mengalami keterlambatan, banyak kepala sekolah yang ”menjerit” , sehingga harus mengutang ke sana kemari untuk menutupi biaya aktivitas pembelajaran yang tak mungkin dihentikan.

Banyak sekolah yang sama sekali tidak mendapatkan sumber dana lain lagi kecuali BOS. Di sisi lain, orangtua dan masyarakat seringkali menjadi lebih kritis jika pihak sekolah menyatakan memerlukan bantuan dana, karena seakan semuanya bisa diselesaikan dengan BOS.

Besaran dana yang diterima sekolah selama ini, yakni Rp 254.000 per siswa SD per tahun dan Rp 354.000 per siswa SMP per tahun. Alokasi dana yang diberikan ke sekolah sesuai jumlah siswa, serta dicairkan setiap triwulan.

Sekolah-sekolah swasta yang sebelumnya membutuhkan biaya operasional yang lebih besar, ada yang ”terpaksa” menolak dana pemerintah yang bersumber dari kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) tersebut. Sebaliknya, sekolah-sekolah yang lemah keuangannya, BOS menjadi ”anugerah” yang senantiasa diharapkan.

Menegakkan aturan

Satu dari sekian implikasi kenaikan anggaran pendidikan tahun 2009 sebesar 20 persen dari APBN adalah terjadinya kenaikan anggaran untuk BOS. Anggaran yang biasanya Rp 254.000 untuk siswa SD, direncanakan naik menjadi Rp 300.000 per siswa setiap tahun. Adapun untuk siswa SMP naik dari Rp 354.000 menjadi Rp 420.000 per siswa setiap tahun (Kompas, 11/9). Rencana kenaikan anggaran itu tentu menggembirakan dan patut disyukuri.

Rasa syukur juga harus disertai dengan rasa tanggung jawab dan usaha sungguh-sungguh untuk memajukan pendidikan, sesuai dengan maksud diadakannya BOS. Bayangkan saja, jumlah peserta didik SD sekitar 30 juta orang dan SMP sekitar 12 juta orang, sehingga sangat besar anggaran yang dialokasikan untuk BOS. Tentu saja kita tidak mengharapkan terjadinya kebocoran-kebocoran dari anggaran yang besar tersebut.

Tanpa adanya niat untuk menegakkan aturan secara masif, bukan tidak mungkin menyebabkan penggunaan dana BOS menuai banyak masalah. Yang selalu harus konsisten dalam menegakkan hukum adalah niat untuk menjaga kebersihan dan kejujuran nurani. Misalnya, menggunakan dana pendidikan sebagai bukan milik pribadi. Ini sikap dasar yang mesti dimiliki sebelum menceburkan diri dalam anggaran pendidikan.

Manusia seringkali rentan terhadap godaan materi. Manusia terkadang kehilangan nurani, bahkan akal sehat jika sudah berhadapan dengan persoalan materi. Tidak memandang pangkat, jabatan, maupun kekayaan. Pengalaman empiris sudah sering kita saksikan di negeri ini. OLeh karena itu, untuk menjaga kebocoran atau penyelewengan dana BOS diperlukan aturan hukum yang ketat dan penegakan hukum yang konsisten.

Kredibilitas kepala sekolah sebagai pemegang kekuasaan mengelola dana BOS merupakan ujian tersendiri. Kenakalan dan permainan dalam pengelolaan dana BOS bisa saja terjadi apalagi jika pengawasannya lemah. Bahkan bukan mustahil terjadi semacam kolaborasi antara kepala sekolah dan pengawas.

Ketika aparat badan pengawas kota atau kabupaten melakukan pemeriksaan ke sekolah, sepertinya semuanya beres dan tidak ada masalah. Benarkah demikian? Mudah-mudahan begitu. Hanya hati nurani saja yang bisa menjawabnya.

Meski demikian, ada beberapa fenomena di lapangan yang cukup menggelitik dan mengundang tanda tanya. Misalnya, dana BOS sesuai aturan hanya diperuntukkan bagi operasional sekolah. Akan tetapi, ada saja sela yang dapat dimanfaatkan. Misalnya, kegiatan peningkatan profesi guru-guru melalui pendidikan dan pelatihan (diklat) dan semacamnya.

Fenomena yang terjadi di lapangan justru diklat tidak diselenggarakan, tetapi pembagian uang kepada guru-guru dilakukan dengan mengatasnamakan uang musyawarah guru mata pelajaran (MGMP) atau kelompok kerja guru (KKG).

Semestinya, setiap rencana anggaran pendapatan dan belanja sekolah (RAPBS) harus melalui rapat dewan guru. Namun, karena guru juga ”kecipratan” rezeki, maka mereka membiarkan saja ketika pihak lain menyusun dan mengatur RAPBS tersebut. Siapa yang mengawasi dan menindak hal seperti itu?

Suatu tantangan

Adalah suatu ironi sekaligus tantangan jika dana besar yang dikucurkan selama ini belum banyak memberikan pengaruh positif bagi peningkatan kualitas pendidikan. Di Sumatera Utara, misalnya, ketua Dewan Pendidikan Medan Muthsyohito Solin mengkritik kondisi di lapangan (Kompas, 11/9). Tahun 2008, provinsi ini menerima dana alokasi khusus pendidikan sebesar Rp 400 miliar. Masing-masing kabupetan/kota rata-rata menerima Rp 10 miliar.

Dana itu sekitar 60 persen digunakan untuk keperluan pembangunan fisik, sedangkan 40 persen lagi untuk pengadaan buku.

Dana Rp 10 miliar itu sangat besar, tetapi dampaknya kelihatan belum begitu optimal. Di Medan saja, menurut penilaian dosen Universitas Negeri Medan (Unimed) ini, hanya 15 persen dari semua SD dan SMP yang memenuhi standar nasional.

Makanya sebelum bicara tentang peningkatan mutu, ada baiknya pertanyaan ini direnungkan: sudah sejauh manakah BOS menyukseskan wajib belajar sembilan tahun? Jangan sampai anggaran yang sedemikian besarnya tidak mencapai sasaran. Perlu ada evaluasi yang komprehensif dan menyeluruh setelah program itu berjalan sekian lama, apakah sudah mencapai sasaran yang diinginkan? Di mana titik kelemahan dalam pelaksanaannya, sehingga perlu diperbaiki.

Benarkah besarnya anggaran pendidikan yang tersedia selalu berbanding lurus dengan meningkatnya mutu pendidikan? Kita lihat saja nanti.

Supri Harahap Guru SMA Negeri 4 Medan

No comments: