Saturday, September 27, 2008

Penolakan RUU Pornografi Lagi

Bustanuddin Agus
Guru Besar Sosiologi Agama Universitas Andalas


Setelah lebih dua tahun menghilang dan pernah ditolak di zaman Pemerintahan Megawati, RUU APP dibuka kembali dengan menjadi RUU AP, antipornografi, usaha atau bisnis yang meraih keuntungan dengan memperdagangkan atau memperalat hal bersifat cabul. Pornoaksi, tindakan porno dari perorangan, tidak lagi jadi sasaran tembak RUU ini.

Tentu ramai kembali. PDIP dan PDS lagi-lagi menolak. Adnan Buyung Nasution dalam pertemuannya dengan seniman di Bali ini menyatakan akan menggunakan posisinya sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres) untuk menolak RUU tersebut menjadi undang-undang.

Para seniman di Yogya dan Solo juga melakukan demo. Demo-demo anti-RUU di-blow up pula oleh media sehingga terkesan demikianlah suara rakyat. Sungguh sangat alot untuk memuluskan RUU yang mengajak menghargai diri dan melindungi anak-anak dan generasi muda dari racun yang merasuk ke otak dan hati mereka di tengah pendidikan disuruh genjot dengan 20 persen dana APBN dan melakukan sertifikasi guru dan dosen.

Keadaan ini sungguh berbeda seperti siang dan malam dengan masyarakat di Kerajaan Kelantan (negara bagian), Malaysia. Ini terungkap dari hasil penelitian Shukeri bin Mohamad untuk disertasi Doktor di Universiti Malaya (di sana dinamakan tesis doktor) yang baru selesai saya baca sebagai pemeriksa luar. Disertasi itu berjudul Penerimaan Masyarakat Terhadap Pelaksanaan Siyasah Syar'iyyah di Negeri Kelantan dari Tahun 1990 Hingga 2000: Kajian Dalam Kawasan Majelis Perbandaran Kota Bharu, Kelantan. Sambil membacanya, tayangan demo RUU AP juga terdengar di televisi. Tentu jadi makin memprihatinkan mengingat pluralitas di Malaysia, termasuk di Kelantan lebih serius dari di Indonesia.

Setuju pelaksanaan
Di Malaysia, Melayu Muslim 54 persen, selebihnya non-Melayu yang non-Muslim (Tionghoa 25 persen, 7 persen India, 4 persen kaum primitif, dan lain-lain). Di Indonesia rasionya 85:15 persen. Tapi, persepsi masyarakat di Malaysia, termasuk yang non-Muslim, sangat positif terhadap undang-undang wajib berpakaian menutup aurat bagi semua pegawai Kerajaan Malaysia. Tidak boleh ada iklan yang mengumbar aurat wanita, duduk dipisah laki-laki dan perempuan dalam acara-acara resmi.

Di Malaysia tidak boleh berkhalwat laki-laki perempuan yang tidak suami istri. Pelayan gunting perempuan tidak boleh berpakaian mengumbar aurat (harus berpakaian seragam) dan hanya boleh menggunting perempuan pula. Semuanya ini dihimpun dalam istilah program pembasmian mungkar. Sebelum 1990 ketika pemerintahan Partai Barisan Nasional tidak ada program Membangun Bersama Islam.

Dengan responden yang diambil secara acara acak dengan sistem satu orang selang 10 daftar penduduk Kota Bharu, ibu kota Kelantan, dari 885 responden yang sahih, 98,5 persen Melayu Muslim menjawab setuju (dijumlahkan dari 4,3 persen agak setuju, 25,7 persen setuju, 68,5 persen sangat setuju). Dari non-Melayu yang non-Muslim 58 persen menyatakan setuju (dijumlahkan dari 10 persen agak setuju, 24 persen setuju, 28 persen sangat setuju).

Belum lagi yang menyangkut masalah politik menjadikan Islam sebagai prinsip dalam kebijakan pemerintahan yang kebanyakan dianggap tabu di negeri kita ini. Di sana Islam dalam politik ini dan kebijakan pemerintah disetujui oleh 82,84 persen Melayu Muslim dan 59,25 persen non-Melayu yang non-Muslim itu.

Pertunjukan kesenian pun tidak boleh laki-laki berpakaian perempuan dan sebaliknya tidak boleh campur aduk laki-perempuan tanpa batas, dan tidak boleh yang mendedah (pamer) aurat perempuan. Seni porno tersebut ditambah dengan kesenian mengandung unsur syirik dihimpun dalam pertanyaan tentang penyelarasan budaya seni dengan prinsip Islam.

Jawaban 87,7% Melayu Muslim setuju (dijumlah dari 11,6% agak setuju, 36% setuju, 48,1% sangat setuju). Sedang 64% non-Melayu yang non-Muslim menjawab setuju (dijumlahkan dari 28% agak setuju, 20% setuju, 18% sangat setuju).

Data itu pendapat tentang pelaksanaan atau penerapan peraturan yang lebih rigid dari RUU APP karena mengatur pornoaksi yang dianggap sudah biasa, seperti khalwat, pisah duduk. Program itu dilancarkan baru dari tahun 1990, tidak peraturan yang telah lama diterapkan sejak negara itu merdeka.

RUU yang pernah ditolak dan tertunda (karena di-blow up sebagai yang kontroversial) itu dialihkan dari pornoaksi ke usaha pornoaksi. Meski demikian dicitrakan sebagai yang menekan kreativitas, tidak menghormati keragaman budaya, dan definisi yang kabur. Kenapa perbedaan siang dan malam antara dua bangsa serumpun, seagama, dan bertetangga ini?

Pseudo agama
Mayoritas mutlak setuju di Kelantan kepada aturan pornoaksi dan pornografi, termasuk yang non-Muslim, tentu karena manfaat peraturan itu sudah dirasakan. Jadi alasan penerimaan masyarakat sudah mulai objektif dan rasional. Dari mana pun datangnya, kebenaran itu akhirnya diterima oleh nurani manusia.

Ditolaknya RUU APP di Indonesia lebih disebabkan oleh alasan ideologis. Rasionalnya dicari-cari, atau rasionalitas sebenarnya memang tunduk kepada ideologi.

Menolak RUU APP didorong oleh idelogi liberalisme. Kelompok masyarakat banyak yang demam kebebasan. Seniman menuntut kebebasan. Filsuf dan cendekiawan tidak mau taklid kepada siapa dan kelompok budaya mana pun alias liberal.

Ilmuwan menuntut kebebasan. Hakim menyatakan diri bebas menjatuhkan vonis, padahal mereka harus menjatuhkan hukum sesuai undang-undang. Bahkan, sebagian kaum agama pun memproklamasikan diri sebagai kaum liberal.

Memandang sesuatu dengan ideologi cenderung tidak objektif. Ideologi kebebasan memandang segala macam aturan harus ditentang. Tetapi, sebagai kaum yang dianggap cendikiawan, seniman, kaum terdidik, alasan yang tampaknya rasional harus dikemukakan, seperti definisi yang tidak jelas, menindas kreativitas seniman, dan menindas budaya sebagian bangsa Indonesia (suku Asmat, orang Bali, dan kemben Jawa). Alasan demikian termakan sekali oleh orang awam. Padahal, pengecualian dalam RUU itu telah dibuatkan klausulnya.

Nottingham dan Mark Jeurgesmeyer, sosiolog kontemporer kelas internasional, memasukkan ideologi modern, seperti liberalisme, sekularisme, dan komunisme sebagai agama. Tentunya agama tanpa wahyu, agama sekuler, atau untuk lebih jelas dan lebih dipahami namakan saja pseudo-religion, agama semu.

Auguste Comte (1798-1857), bapak sosiologi modern, pusing melihat masyarakat Prancis yang kacau-balau karena demam kebebasan setelah revolusi Prancis 1789. Berdasarkan pandangan sosiologis, masyarakat tidak mungkin berdiri. Perlu keteraturan dan ideologi yang mempersatukan.

Agama dipandang memenuhi syarat untuk mempersatukan dan merealisasi keteraturan (seperti Islam terdiri dari akidah, kesatuan ideologis, dan syariah, aturan-aturan untuk keteraturan). Karena dia sudah telanjur ateis, lalu agama yang dicanangkannya adalah religion of humanity, agama tanpa Tuhan yang Maha Gaib dan Maha Pencipta(Discours sur l'Esprit Positif, Union Generale d'Editions, Paris, 1963).

Rousseau menamakannya religion civile. Tuhannya adalah kemanusiaan. Nabinya tokoh-tokoh yang berjasa bagi kemanusiaan. Ritualnya upacara hari lahir atau kematian mereka.

Alasan-alasan yang dikemukakan dengan kacamata liberalisme dan sekularisme mungkin juga disokong oleh mayoritas berkat disihir oleh media massa karena sejalan dengan selera rendahan dan kesenangan sesaat. Agama wahyu yang berpegang kepada nilai-nilai moral memang sulit diterima oleh kebanyakan karena berdasarkan pandangan jauh ke depan dan untuk kepentingan keteraturan dan ketenangan hidup bersama.

Ikhtisar:
- Di Malaysia, orang yang non-Muslim pun sangat positif terhadap undang-undang wajib berpakaian menutup aurat.
- Sangat aneh di Indonesia yang berpenduduk mayoritas Muslim menolak aturan yang sangat melindungi generasi mendatang tersebut.
- Kepentingan ekonomi dan uang menjadi alasan bagi kelompok yang menolak pemberlakuan aturan tersebut.

No comments: