Wednesday, September 12, 2007

FLU BURUNG



Di Indonesia Pandemi Tinggal Tunggu Waktu

Nusa Dua, Kompas - Koordinator senior pada Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk penanganan masalah Flu Burung atau UNSIC David Nabarro menyatakan, Indonesia menghadapi masalah besar dalam penanggulangan masalah flu burung.

Hidup di sebuah negara kepulauan yang begitu luas, dengan sistem politik desentralisasi yang belum berjalan optimal telah nyata-nyata mempersulit upaya penanganan flu burung yang dilakukan pemerintah.

Berbicara dalam acara "Government of Indonesia Meeting with International Key Partners on Avian Influenza and Pandemic Preparedness" di Nusa Dua, Bali, Selasa (11/9), Nabarro mengatakan, pihaknya sungguh memahami kesulitan yang dihadapi Pemerintah Indonesia dalam menangani flu burung mengingat luasnya wilayah. Namun, itu bukan berarti persoalan flu burung tidak dapat diselesaikan.

"Kondisi itu bukan masalah apabila pemerintah di daerah hingga desa tahu dan mampu menanganinya, sehingga pemerintah pusat tinggal mengatur dan memfasilitasinya. Namun, nyatanya kondisi itu belum tercapai sehingga dibutuhkan kerja lebih keras lagi dari semua pihak, terutama pemerintah, sektor swasta khususnya di bidang perunggasan, serta masyarakat secara umum," kata Nabarro.

Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie menegaskan, Indonesia sudah berusaha untuk memenuhi prosedur standar dalam menangani flu burung. Namun, diakuinya perubahan sistem politik dari otokrasi ke demokrasi membuat penanganan persoalan ini menjadi lebih pelik, baik dari sisi pemerintahnya maupun penerimaan masyarakatnya.

"Bahkan, sampai sekarang masih ada sejumlah daerah yang menolak menerapkan prosedur, terutama karena alasan ekonomi. Namun, selama setahun terakhir, kesadaran masyarakat serta pemerintah daerah sudah lebih baik," kata Aburizal.

Berdasarkan data Komnas Penanggulangan Flu Burung, hingga kemarin jumlah kasus flu burung pada manusia di Indonesia 106 orang, 85 orang di antaranya meninggal dunia. Hal itu menjadikan Indonesia menjadi negara dengan kasus kematian akibat flu burung tertinggi di dunia.

Penanganan perunggasan

Nabarro mengingatkan, penyebaran virus flu burung di dunia memang sangat cepat. Jika periode tahun 2003-2005 kasus penyakit ini hanya terjadi di 15 negara, tahun ini sudah ada di 60 negara, atau menyebar empat kali lipat. Ia menegaskan, hingga kini belum terjadi penularan virus flu burung antarmanusia atau terjadi pandemi.

"Namun, Anda sekalian harus melihat ke belakang. Dalam sejarah perkembangan influenza di seluruh dunia, pasti terjadi penularan antarmanusia. Jadi, harus dikatakan pandemi flu burung itu tinggal menunggu waktu, meski kita tidak tahu di mana dan kapan hal itu akan terjadi. Semua harus waspada," kata Nabarro.

Ia mengatakan, virus flu burung sungguh sulit diawasi dan dikontrol ketika menyebar di perunggasan rakyat. Untuk itu, tidak ada kata lain kecuali dilakukan pengaturan yang ketat di bidang perunggasan di seluruh negeri.

Perbedaan kepentingan

Menteri Pertanian Anton Apriyantono mengakui, restrukturisasi perunggasan di Tanah Air terkendala adanya perbedaan kepentingan masyarakat pengusaha perunggasan dengan masyarakat umum. Restrukturisasi itu mencakup, antara lain, relokasi peternakan yang dekat dengan permukiman, tempat pemotongan unggas, serta pasar unggas.

"Peran serta pemerintah daerah memegang kunci dalam restrukturisasi perunggasan, khususnya untuk meredam persoalan sosialnya. Kita akan buat unggas hidup tidak ada di permukiman perkotaan, namun sudah dalam bentuk karkas," kata Anton. (BEN)

No comments: