Geger Riyanto
Di kolong langit, tak seorang pun yang bisa memilih sebagai apakah ia akan dilahirkan. Termasuk juga memilih sebagai warga negara apa ia akan menjadi.
Marina Nemat adalah seorang mantan jurnalis kampus. Ia sempat dipenjara, lalu disiksa, dan nyaris dihukum mati oleh rezim yang berkuasa di negara asalnya setelah revolusi. Dan karena itu, ia bahkan memilih menjual harta bendanya dan meninggalkan segala kenangan berharganya demi bisa pindah ke Kanada.
Pilihan Marina menjadi sebuah ironi, segala anasir pembentuk identitas dewasanya—yang diakuinya sendiri tak terkira nilainya—mesti ditanggalkan agar bisa mendapatkan perlakuan lebih manusiawi di masa mendatang.
Apakah Marina bisa disebut tidak nasionalis? Mungkin kesan yang timbul dari pertanyaan ini sama dengan yang timbul dari pertanyaan, apakah Sutan Takdir Alisjahbana tidak nasionalis karena tidak kembali ke negerinya saat pemerintahan Orde Lama meringkus kekuatan yang dicap antirevolusioner?
Mereka sama sebagai manusia yang mengikuti panggilan eksistensialnya, sebagai manusia yang pada kodratnya kreatif dan enggan dihambat dalam perjalanan hidupnya ke depan. Lalu bagaimana dengan nasionalisme itu sendiri? Sebagai manusia, bagaimana kita memaknai ulang nasionalisme yang ternyata bisa sebegini kejamnya?
Berwajah
Tom Nairn, antropolog, berpandangan bahwa nasionalisme berwajah Janus, memiliki orientasi yang ambigu, yakni ke depan dan ke belakang. Nasionalisme merupakan jiwa dari institusi bernama negara, tetapi ironisnya, romantisisme masa lalu yang mengendap dalam hasrat tersebut menyebabkan sakralisasi dari satu versi komunitas terbayang (imagined communities) tertentu. Hal ini dianggap Nairn menghambat kemajuan peradaban karena proses kemajuan menuntut universalisasi nilai-nilai kemanusiaan.
Dan setelah melewati ekstrem tertentu, nasionalisme bisa benar-benar menjadi mimpi buruk bagi kemanusiaan. Banyak yang mengidentifikasi perasaan ini sebagai fasisme ataupun chauvinisme, bukan lagi nasionalisme.
Namun, selain itu, yang paling masuk akal dalam logika politik Orwellian adalah nasionalisme dimanfaatkan sebagai pancang kekuasaan suatu rezim. Fungsi inilah yang banyak dieksploitasi pada masa lalu negeri ini. Dan ini jugalah yang rasanya membekukan nasionalisme kita. Nasionalisme dibangkitkan untuk melakukan pelupaan terhadap jeritan kesejahteraan rakyat.
Di sinilah gagasan nasionalisme yang manusiawi digulirkan untuk menandai nasionalisme sebagai senyawa perasaan yang dinamis, terus berubah mengikuti kemajemukan, kreativitas, dan jiwa sosial manusia sehingga tidak lagi meniadakan nilai-nilai kemanusiaan. Dan di sini, nasionalisme menolak logika pendek kekuasaan, yang selama ini menyempitkan ruang tafsir terhadap hasrat membangsa ini.
Keindonesiaan
Sebagaimana nasionalisme bangsa yang pernah terjajah, keindonesiaan hadir sebagai sebuah hasrat agresif untuk menjadi berbeda atau berdiri sendiri dari kelompok penjajahnya. Dan melalui upaya para founding father kita dalam merumuskan dan menafsirkannya, lahirlah negara bernama Indonesia.
Pada tahun 1945, Hans Kohn, pengamat nasionalisme dari Barat, menyikapi gelombang pasang nasionalisme pada masyarakat jajahan dengan mengidentifikasinya sebagai nasionalisme yang primitif. Berbeda dengan nasionalisme Barat yang sekuler, rasional, dan universal, menurutnya, nasionalisme Timur bersifat kebalikannya, dicemari kepercayaan-kepercayaan mistis, irasional, dan primordial.
Memang ada kenyataan yang begitu. Pada beberapa negara yang baru merdeka pada abad ke-20, ketidaksiapan elitenya bernegara menyeruak masuk dalam institusi negara yang rapuh jadi mirip aparatus penjajahan di masa lalu. Lalu dalih nasionalisme dijadikan cap untuk melabeli individu yang kritis terhadap ketidakadilan sebagai anomali yang mesti dikoreksi, kalau perlu dilenyapkan.
Padahal seseorang yang memiliki rasa keindonesiaan justru rela mengorbankan nyawanya demi panggilan tanggung jawabnya demi demokratisasi negaranya dari cengkeraman otoriterisme. Tanpa takut ia akan dicap bukan seorang nasionalis.
No comments:
Post a Comment