Cermin Korup dan Ambivalensi Kita
Bambang Haryanto
"Indonesia adalah Brasil-nya Asia. Pesepak bola Indonesia bermain dengan intelegensia dan bakat unik yang tak ada duanya di dunia. Bakat-bakat mereka lebih baik dibandingkan dengan pemain Korea atau Jepang. Pada era 1950 dan 1960-an, tim-tim Asia jangan bermimpi mampu menaklukan tim Asia Tenggara."
Itulah kenangan Sekjen Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC) Peter Velappan di Asiaweek (5 Juni 1998) menjelang Piala Dunia 1998. Namun, di mana kini Indonesia dalam percaturan sepak bola Asia Tenggara? Apalagi di Asia, bahkan dunia. Sepak bola kita hanya mampu memiliki masa lalu yang sampai membuat Eduardo Galeano, novelis Uruguay, mencatat dalam buku bunga rampai indah tentang sepak bola, Football in Sun and Shadow (2003). Ia mencatat nama Indonesia terkait penyelenggaraan Piala Dunia 1938, 1966, dan 1998.
Dibayangi aksi mogok pekerja maskapai Air France, 32 tim tiba di stadion elegan Saint-Denis untuk mengikuti Piala Dunia 1998, Piala Dunia terakhir abad ke-20. Perancis juara dengan meremukkan tim favorit Brasil, 3-0. Indonesia menjadi cerita latar Piala Dunia itu, tetapi bukan mengenai sepak bolanya. Bersama latar dunia yang tengah berkabung karena meninggalnya penyanyi Frank Sinatra, Galeano mencatat Indonesia dalam adegan runtuhnya kediktatoran Soeharto, Mei 1998.
Indonesia disebut Eduardo lagi saat terselenggaranya Piala Dunia 1966 di Inggris. Dengan latar, antara lain, naik daunnya Che Guevara di Bolivia dan The Beatles menguasai dunia, 16 tim ambil bagian di ajang global itu. Sepuluh dari Eropa, lima Amerika Latin, dan satu Asia diwakili Korea Utara. Untuk pertama kali seluruh pertandingan ditayangkan televisi walau masih hitam putih. Inggris jadi juara dengan menaklukan Jerman, 4-2. Portugal di urutan ketiga dan Uni Soviet keempat. Catatan tentang Indonesia? Bukan sepak bola lagi, melainkan meletusnya peristiwa yang disebut G 30 S/PKI, terbunuhnya ratusan ribu orang Indonesia, dan naiknya Soeharto sebagai penguasa hingga 32 tahun kemudian.
Piala Dunia 1938 oleh Galeano disebut sebagai "Kejuaraan Eropa". Hanya dua negara Amerika Latin yang ikut serta dikeroyok 11 tim Eropa. Indonesia yang masih bernama Hindia Belanda hadir di Paris sebagai satu-satunya tim yang mewakili sisa negara di dunia lainnya. Dalam pertandingan pertama di Reims, Indonesia alias Hindia Belanda ditekuk Hongaria, 0-6. Itulah pengalaman pertama dan satu-satunya bagi negara dengan lebih dari 228 juta jiwa ini berkiprah dalam perhelatan paling akbar di dunia itu.
Terpuruk karena budaya
Setelah hampir 70 tahun terpuruk, kenapa sepak bola Indonesia tetap juga tak mampu berprestasi di tingkat yang lebih tinggi ketimbang di kandangnya sendiri? Freek Colombijn, antropolog lulusan Leiden, mantan pemain Harlemsche Football Club Belanda, menuliskan pandangannya yang menarik dalam artikel "View from the Periphery: Football in Indonesia" (dalam Garry Armstrong & Richard Giulianotti (ed), Football Cultures and Identities, 1999).
Dengan menggunakan pisau analisis budaya dan politik, Freek menggarisbawahi keterpurukan prestasi sepak bola Indonesia sebagai akibat meruyaknya budaya kekerasan dan belum kokohnya kultur demokrasi di negeri ini.
Indonesia sebagai bangsa memang kuat dipengaruhi budaya suku mayoritas, Jawa terutama. Budaya Jawa memiliki pandangan yang ketat mengenai pentingnya keselarasan.
Perasaan yang terinternalisasi secara mendalam dalam jiwa orang Jawa adalah kepekaan untuk tidak dipermalukan di muka umum. Reaksi normal setiap orang Jawa dalam menanggapi konflik adalah penghindaran, wegah rame, atau mediasi oleh pihak ketiga. Apabila konflik akhirnya meletus juga, terutama jika terjadi penghinaan atau pelecehan, yang muncul ada rasa malu dan kehilangan muka.
Dengan landasan sikap sosial yang tipikal seperti itu, pertandingan sepak bola bagi orang Jawa—dan yang dipengaruhi budayanya pun—menjadi problematis. Adanya tackle yang keras, trik-trik licin dalam permainan, mudah diinterpretasikan sebagai penghinaan. Apalagi jika penghinaan terjadi di hadapan ribuan mata. Reaksi tipikal orang Jawa di bawah tekanan seperti itu adalah sebuah "ledakan" atau amuk yang keras.
Pemikiran ini secara hipotetis mungkin masih sumir. Karena argumen yang sama, kurang meyakinkan bisa diterapkan pada kelompok etnis yang lain, yang juga menampilkan kekerasan serupa di lapangan hijau. Tetapi, penjelasan kultural di atas dapat mencakup keseluruhan pemain dan suporter sepak bola Indonesia bila dikaitkan dengan—khususnya—budaya politik yang berlaku di negeri ini.
Pelecehan sportivitas
Dalam kultur demokrasi, kalah atau menang dalam satu fair play merupakan sebuah kewajaran, termasuk dalam sepak bola. Namun, di pentas sepak bola Indonesia, kerusuhan suporter masih mudah meruyak ketika suatu tim mengalami kekalahan.
Realitas ini menegaskan betapa dalam masyarakat nonmadani, ide bahwa konflik dalam sebuah kompetisi itu wajar belum berurat-akar. Dan, teater sepak bola Indonesia pun menjadi panggung pelecehan pada moral dasar olahraga: sportivitas!
Salah satu contoh terjadi dalam babak perempat final Piala Tiger 1998 di Hanoi, Vietnam, ketika Indonesia bertanding melawan musuh bebuyutannya, Thailand. Kedua tim utama ASEAN itu ternyata tampil mengecewakan, bahkan memalukan saat mereka sama sekali tidak mengindahkan moral dasar sportivitas. Lewat sebuah sandiwara, keduanya justru berusaha mati-matian agar mereka memperoleh kekalahan pada akhir pertandingan.
Hal itu terjadi hanya karena mereka ingin menghindar dari tim tuan rumah saat melaju ke semifinal. Saat skor 2-2 pada masa perpanjangan waktu, pemain Indonesia, Mursyid Effendi, "sukses" besar menembak bola ke arah gawangnya sendiri. Sang kiper pun sama sekali tidak berusaha menepisnya. Lebih ganjil dan menggelikan, para pemain Thailand justru berusaha menjaga agar gawang Indonesia tidak kebobolan.
Aib paling mutakhir yang mencoreng wajah persepakbolaan nasional adalah saat terkuaknya kasus suap klub Penajam Medan kepada petinggi PSSI, yang jelas semakin menunjukkan betapa semangat berkompetisi secara fair masih menjadi impian di negeri ini.
Bagi psikolog olahraga Jo Rumeser (Kompas, 9/9/2007), kasus hitam itu terjadi karena tubuh PSSI diisi oleh orang-orang yang tidak tahu esensi olahraga. Alhasil, kasus-kasus negatif seperti suap, korupsi, dan pelecehan sportivitas mudah terjadi.
PSSI dalam "Thin Slice"
Di tengah ancaman meruyaknya kekerasan suporter dan menguatnya akar korupsi dalam persepakbolaan Indonesia, Juli 2007, timnas Indonesia terjun dalam final Piala Asia. Hasilnya, walau sebagian merasa "tidak kecewa", prestasi signifikan setidaknya seperti yang diraih masih belum bisa ditorehkan.
Saya mendapat cermin atas miskinnya prestasi Indonesia ini dari buku kedua Malcolm Gladwell, Blink: The Power of Thinking without Thinking (2005), yang saya beli seusai mendukung timnas di leg ke-2 Piala Tiger di Singapura. Gladwell bertesis, untuk menilai sebuah keadaan secara akurat, kita dapat melakukannya dengan hanya sekejap mata, dengan mengambil thin slice, irisan kecilnya saja.
Maka, untuk coba menjawab pertanyaan, "mengapa sepak bola Indonesia terus terpuruk sementara Singapura saja mampu menjuarai Piala Tiger", saya coba menggunakan tesis Gladwell di atas. Saya membiarkan pikiran saya diam sampai akhirnya menemukan "jawaban" ironis: Ho Peng Ke, Presiden FAS, asosiasi sepa kbola Singapura, adalah seorang profesor. Lha, Ketua Umum PSSI saat ini?
Apakah jawaban semacam itu yang membuat sepak bola kita terus terjungkal? Atau kenapa kita lemah dan permisifnya dalam memilih pemimpin? Anda, saya kira, tentu bisa turut menjawabnya.
Bambang Haryanto Pengelola Blog Suporter Indonesia
No comments:
Post a Comment