Saturday, December 22, 2007

Keistimewaan Perempuan sebagai Ibu


Elias Situmorang


Tema yang banyak dibicarakan kini adalah tindak kekerasan dan ketidakadilan terhadap perempuan. Bentuknya beragam: perbedaan pada kesempatan kerja, obyek diskriminasi, pelecehan seksual, dan lainnya.

Pembicaraan tentang perempuan sering bukan untuk membuat pujian yang tulus, tetapi lebih sebagai pemuas kenikmatan. Karena berfokus pada kenikmatan, saat omongan menyingkap pembicara dan penyingkapan itu tidak mengenakkan, pembicara akan mengelakkan tema pembicaraan menjadi penghinaan terhadap perempuan.

Dalam benak banyak lelaki, perempuan yang "memesona" adalah yang berwajah ayu, sorot mata lembut, senyumnya meneduhkan jiwa, dan mampu membuat gembira. Sering terjadi, yang dicari dari perempuan hanya kemanisan dan kecantikan sehingga tidak jarang perkawinan terjadi hanya karena kecantikan luar. Saat kecantikan memudar, ia ditinggalkan, seperti ungkapan "habis manis sepah dibuang". Ungkapan ini menunjukkan kesombongan, ketidakadilan, dan keegoisan lelaki.

Budaya patriarkal

Salah satu dasar perlakuan tidak adil terhadap perempuan banyak dipengaruhi pandangan para filsuf klasik dan budaya patriarkal, di mana lelaki mendapat tempat lebih penting dan utama dalam keluarga, tatanan adat, dan hidup kebudayaan. Dalam banyak masyarakat, umumnya segala bentuk "kepemimpinan" dipegang kaum lelaki.

Sejak awal pemikiran Yunani, sudah terjadi pembedaan klasik antara lelaki dan perempuan. Pembedaan itu ialah lelaki dikaitkan eksterior, yakni kerja yang digaji, kuasa, kompetisi, budaya, perang dan politik, akal budi, dan lainnya. Perempuan dikaitkan interior, yakni rumah, mengurus anak dan keluarga, kecantikan, intuisi, dan nurani.

Filsuf Yunani, Plato, mengatakan, kodrat perempuan hanya berfungsi sebagai reproduktif. Pendapat senada ditemukan dalam pandangan Aristoteles yang mengatakan, hanya lelaki-lah yang menjadi "manusia penuh" (LM Maloney, The Argument for Women’s Difference in Classical Philosophy And Early Christianity Concilium 6, Roma, 1991).

Menurut Aristoteles, manusia yang penuh ialah lelaki yang bebas (merdeka). Seorang lelaki budak terhitung sebagai orang yang tidak lengkap. Dalam pandangan dualisme Aristoteles diakui, manusia memiliki jiwa. Roh memiliki unsur memimpin, memerintah, dan unsur yang tunduk. Kedua unsur roh itu hadir dalam diri tiap orang, tetapi dengan cara berbeda. Karena itu, ada tingkatan kemanusiaan. Lelaki dikaitkan dengan roh yang memiliki unsur memimpin dan memerintah, sedangkan perempuan dihubungkan dengan roh yang mempunyai unsur tunduk dan taat.

Betapapun naifnya argumen ini menurut cara pikir kita, tetapi begitulah cara para filsuf menerangkan perbedaan lelaki dan perempuan pada masa itu yang tidak mungkin lagi kita amini untuk zaman ini.

Semangat Ibu

Proses menjadi ibu dimulai dengan menikah. Di Barat, orang biasanya menikah di balaikota. Jika mempelai turun tangga, penonton tersenyum dan bersorak. Young love. Love is a many splendoured thing.

Tentang perkawinan, Swedenborg mengatakan, ada suami-istri (marriage) yang serupa neraka. Dalam batin mereka musuh, penuh kebencian, di luar dua sahabat karib. Tersenyum tetapi cambuk merobek kulit sahabat sampai berdarah. Untuk apa? Mengapa? Agar tidak pisah. Mengapa tidak mau pisah? Agar rumah tangga tetap teratur, anak-anak dididik dalam suasana damai. Juga agar nama baik keluarga dipertahankan. Dalam perkawinan, pria dijajah perempuan, kata Swedenborg. Sebab, pria bertindak atas dasar pemikiran dan wanita bergerak berdasarkan kemauan (MA Brouwer, "Langit di Kaki Ibu", Kompas, 1988).

Namun, seperti dikemukakan spiritualis abad pertengahan yang menggunakan ibu sebagai simbol jiwa manusia. "Seandainya manusia selamanya (seperti) seorang perawan, ia tak mungkin berbuah." Untuk menjadi subur, ia harus menjadi ibunda. Predikat ibunda merupakan kiasan paling luhur yang diberikan kepada jiwa. Artinya, hati ibu penuh kehangatan. Jadi dapat menjadi simbol kerinduan jiwa dan simbol kelemahlembutan hati Allah.

Kasih dan kedalaman nurani ibu, misalnya, tampak dari keberanian menyusui bayi di tengah khalayak ramai. Keberanian itu dilandasi keyakinan, susu penting untuk kehidupan dan keselamatan anaknya.

Kecantikan, kelembutan, ayu, senyum meneduhkan, kaya kata dan ungkapan, lebih sabar, dan dapat berdialog merupakan kekayaan alami ibu. Namun, jika kita jujur, indikasi itu bukan citra sejati seorang ibu. Sebab, jika lelaki mengindikasikan seorang ibu dengan predikat itu, dengan sendirinya akan mempermiskin kemanusiaan kita. Satu hal utama yang menjadi keistimewaan perempuan adalah semangat menjadi ibu atas kehidupan, yang nyata dalam perspektif memerhatikan, memelihara, dan kesediaan untuk mengandung, karena hanya dialah yang memiliki rahim dalam arti sebenarnya.

Maka dalam konteks ibu, semangat patut dimengerti sebagai daya batin yang menggairahkan. Seorang ibu yang bersemangat seperti terbakar, berkobar tetapi tidak berkoar-koar, tidak gampang bahkan seolah tidak akan terkapar meski ada rasa gusar.

Ibu yang bersemangat akan mampu menjalani hidup dengan makna, tujuan, dan arah serta langkah pasti seperti ditunjukkan banyak janda di negeri ini yang berjuang untuk mengasuh dan menyekolahkan anak-anaknya.

Semangat "ibu" memberi kemampuan dan kemauan untuk bertempur melawan kejahilan dan kejahatan diri dan lingkungan dengan berani mengusahakan kesejahteraan dan kemajuan bagi orang lain meski dengan pengorbanan. Semangat untuk berjuang dan memelihara kehidupan inilah yang patut dicontoh dari setiap ibu.

Elias Situmorang Pastor Kapusin; Mantan Ketua Tim Seleksi Anggota KPU Kabupaten Samosir

1 comment:

Shanty Mahanani said...

Ibu adalah keajaiban, karena peradaban dunia dimulai dari seorang ibu!