Monday, December 17, 2007

TAJUK RENCANA


Bursa Kerja SMK


Penawaran 5.000 posisi pekerjaan oleh 50 perusahaan di Plaza Depdiknas, Senayan, Jakarta, tanggal 10-11 Desember 2007, perlu kita apresiasi.

Itulah contoh konkret jiwa wirausaha. Proaktif jemput bola, datang aktif menawarkan lapangan kerja bagi lulusan sekolah menengah kejuruan (SMK). Gayung bersambut. Acara yang bertajuk "Indonesia Job Matching Expo for Vocational Schools Graduates Students" itu banjir peminat.

Acara ini ibarat bursa tamatan SMK, jual-beli lapangan kerja. Pencari kerja dan pemberi kerja bertemu. Yang memanfaatkan tidak hanya pencari kerja, tetapi juga penyelenggara SMK, bahkan dunia usaha; sebuah pertemuan yang bersifat saling memberi, semacam simbiosis mutualistis.

Di sisi lain, pertemuan itu merupakan penghargaan pamor sekolah kejuruan. Agar menarik minat institut keguruan dan ilmu pendidikan (IKIP) dilebur jadi universitas. Sayang, nasib baik IKIP tidak berpihak ke SMK. SMK terpuruk! Jangankan lulusannya jadi pencipta kerja, terampil kerja pun tidak.

Pernah ada periode SMK diunggulkan dan memperoleh anggaran cukup seperti sekolah umum (SMU). Tetapi sudah berjalan lebih dari 20 tahun ini SMK dicibirkan.

SMK seperti IKIP bukan pilihan pertama tamatan SMU, SMK bukan pilihan pertama tamatan SMP. Nasib yang sama menimpa lembaga pendidikan politeknik, D-3, yang dikonsep setingkat di bawah insinyur.

Praksis pendidikan SMK dan tamatannya serba tanggung, katrok, yang lantas ada jalan tengah tamatan SMK boleh masuk perguruan tinggi setelah kerja dua tahun.

Padahal, hanya 70 persen dari lulusan SMA yang siap masuk perguruan tinggi, dan mereka merupakan sebagian besar dari 850.000 lulusan SMA dan SMK tahun ini.

Link and match, prinsip praksis pendidikan, bertemunya lembaga pendidikan dan dunia usaha, dilupakan. Yang dikejar adalah sebanyak-banyaknya warga bangsa ini bergelar sarjana—yang telanjur jadi parameter kemajuan. SMK diselenggarakan asal-asalan, padahal setiap tahun ditelurkan ratusan ribu lulusan SMK yang relatif lebih siap latih dan siap kerja dibandingkan dengan lulusan SMU.

Kasus tergusurnya pamor SMK barulah sebagian dari kebijakan, sistem, dan praksis pendidikan serba instan. Mutu pendidikan mau dikatrol secara instan dengan ujian nasional, padahal praksis pendidikan tidak terjadi di atas kertas kosong. SMK dikonsep sama seperti SMU, padahal dua sistem pendidikan ini serba lain, baik dari roh, tujuan, maupun sisi praktisnya.

Jemput bola dunia usaha dan dunia pendidikan perlu diselenggarakan secara reguler, ditindaklanjuti sebagai langkah membangun link and match, praksis pendidikan yang berpihak kepada anak didik sebagai obyek, dalam arti pusat perhatian dan titik tolak kebijakan.

No comments: