Tuesday, September 25, 2007


Orang-orang Media

Mohamad Sobary

Sebuah negara bisa hidup tanpa media. Tapi, bangsa tidak. Negara yang dipimpin pemerintah otoriter bisa menipu diri karena memiliki "media-mediaan" yang hanya bisa menjilat dan memuja segenap sepak terjang pemerintah. Tapi, sebuah bangsa punya hati nurani yang membuatnya menolak penjilatan.

Media itu aset bangsa. Dia bukan hanya milik kita orang-orang media. Aset ini mahal. Media bisa mencapai tahap kebebasan seperti sekarang ini karena perjuangan penuh dedikasi dan pengorbanan banyak pihak.

Dengan kata lain, kita berutang kepada para aktivis, para intelektual, penulis, seniman, budayawan, ahli komunikasi massa, dan juga kepada pihak lain yang menaruh peduli akan kebebasan ekspresi melalui media. Mereka pernah dibikin menderita, "diinteli", diteror, hilang atau mati karena ikut membela media meskipun secara pribadi mereka tak memperoleh keuntungan langsung.

Tapi sekarang, kita, orang-orang media, melupakan sejarah ini. Media seolah hanya milik kita. Sering kita pongah, seolah media sebuah dunia lain, mandiri, dan mutlak merdeka dari campur tangan pihak lain. Seolah kita makhluk Tuhan dari ras yang lain sama sekali dari mereka yang bukan orang-orang media.

Kita sering—mungkin diam-diam—merasa eksklusif. Tapi, sering pula—ini juga diam-diam—kita tidak konsisten. Terhadap Anda, yang bukan apa-apa, dan bukan siapa-siapa, dengan enak orang media ibaratnya melangkahi Anda tanpa permisi, atau tak peduli sama sekali seolah Anda tak layak ditegur. Tapi, bila Anda penulis (apalagi terkemuka) atau pengamat (biarpun tak bisa berpikir jernih lagi), atau seniman besar, saya jamin di depan Anda kami akan membungkuk sedalam-dalamnya.

Juga kalau Anda orang penting, berkedudukan tinggi, dan merupakan sumber berita. Memang tak jarang kita juga akrab dengan orang-orang biasa, yang kreatif, dan tampil beda dari orang-orang lain. Mereka pun dihormati sebagai sumber berita. Tapi hanya itu.

Memang harus dilihat secara jernih bahwa media banyak jenisnya. Ada yang menjaga kredibilitas begitu rupa hingga ibaratnya noda setitik pun tak dibolehkan menempel di "badannya". Kita angkat topi kepada mereka. Dan, saya pun bersedia membungkuk hormat karena ia layak dihormati.

Tapi, tak semua media yang pernah punya kredibilitas mampu mempertahankannya. Alih generasi, pergantian zaman, dan pergantian orientasi jurnalistiknya, bisa membuat media tak lagi terlalu terhormat di mata publik. Apalagi media yang hadir semata untuk mengintip peluang bisnis. Di dalam media jenis ini orang-orangnya tak tampak memelihara kredibilitas, tak menjaga idealisme, dan juga tak merasa penting memelihara sikap kritis.

Tentu saja kita harus tahu pula media bukan makhluk seputih salju di atas batu hitam. Dan, di muka bumi ini memang tak ada media seperti itu. Di sini, di zaman kebebasan pers ini, kita orang-orang media, dengan sikap para true believers, memelihara formula good news is bad news secara agak fanatis.

Bisa saja hal itu terjadi karena kita kurang matang, tapi tak mustahil karena tidak kreatif dan belum punya kecanggihan mengolahnya menjadi sesuatu yang enak dan memberi pembaca pencerahan tanpa setitik pun menodai prinsip-prinsip jurnalistik.

Kita, orang media, memandang kebebasan pers sebagai mantra suci, sehingga demi kebebasan pers itu kita tak terlalu menyesal telah melukai manusia dan kemanusiaan. Kebebasan pers telah membuat kita merasa di atas siapa saja hingga tampak sekali dewasa ini bahwa kelihatannya tak ada orang yang patut kita hormati. Tak ada dirjen atau sekjen, bahkan menteri, yang kita handle with care.

Ada sikap populis yang membara, di bawah payung kebebasan pers tadi, yang membuat sebagian kita, orang media, mudah memburu orang tertentu yang dicurigai menyimpang, sehingga pagi-sore, siang-malam orang itu kita beritakan terus-menerus sampai harga dirinya habis tandas, seolah kita tak mungkin selingkuh dari kesucian profesi.

Ini menjadi fenomena kebudayaan kita karena kita bangga akan profesi yang mulia itu, mabuk kredibilitas, dan sikap populis atau hanya karena kementahan sikap politik dan tak adanya wisdom dalam diri kita? Sikap mengandalkan hak jawab—bahwa orang boleh membantah—di negeri ini bukan jawaban yang cukup adil.

Banyak orang yang doyan sensasi sehingga lebih dari sembilan puluh sembilan persen hak jawab telah kehilangan fungsi dan relevansinya untuk meluruskan apa yang terlanjur kita bikin melengkung..

Ada bahkan di antara kita yang berkata bahwa dirinya sudah terbiasa menghadapi keluhan sumber berita atau pihak lain yang dirugikan. Ada terselip rasa bangga di sana. Sulit saya memahami apa gunanya bangga dalam perkara—sengaja atau tidak—membikin pihak lain kecewa?

Media memang bukan lembaga suci dan kita orang-orang media bukan malaikat. Tapi, kalau kita agak rendah hati, dengan sikap cermat, dan hormat pada orang seperti kita hormat pada diri sendiri, saya kira media tak akan dicap angkuh, sebagai lembaga yang tak tersentuh kritik. Ini merugikan kita sendiri.

Kita bangga menjadi pilar ke empat demokrasi. Kita bangga menjadi polisi moral yang gigih meluruskan pihak lain. Tapi mengapa kita biarkan diri kita menodai diri dari dalam, dengan sikap yang agak kelihatan jelas membuat kita begitu arogan, angkuh, dan tak tersentuh?

Saturday, September 22, 2007

Pendidikan


Liberalisasi Bisa Mengancam Karakter Bangsa

Jakarta, Kompas - Pendidikan yang semakin dianggap sebagai investasi, sehingga pemerintah menjadikannya sebagai sektor yang terbuka bagi penanaman modal, bisa menjadi ancaman serius bagi masa depan bangsa Indonesia. Pendidikan yang semata dianggap sebagai komoditas ini akan membuat pembangunan karakter bangsa terabaikan, sekaligus membuka peluang Indonesia menjadi negara terjajah atau bahkan hancur.

Pernyataan keprihatinan terhadap masa depan pendidikan dan eksistensi bangsa Indonesia itu disampaikan Ki Tyasno Sudarto selaku Ketua Umum Majelis Luhur Taman Siswa di Jakarta, Kamis (20/9). Keprihatinan ini dilandasi kebijakan pemerintah yang mengarah pada privatisasi atau liberalisasi pendidikan melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) dan Peraturan Presiden Nomor 76 dan 77 Tahun 2007 yang membuka peluang pemodal asing berinvestasi di bidang pendidikan.

Menurut Ki Tyasno, kebijakan pendidikan dalam RUU BHP dan perpres yang bersemangatkan liberalisme, privatisasi, atau komersialisme itu bertentangan dengan ideologi bangsa dan asas-asas pendidikan nasional. Selain itu, pemerintah juga mengabaikan sejarah dan budaya bangsa dalam tumbuhnya pendidikan di Tanah Air, banyak masalah teknis yang rancu, dan juga kerja sama dengan asing yang mengancam pendidikan bangsa.

Ki Tyasno mengatakan, persoalan dalam pendidikan seharusnya bisa diselesaikan dengan memanfaatkan keadaban, kebudayaan, dan kepribadian yang ada dalam bangsa ini sendiri. "Ajaran Ki Hajar Dewantara sebenarnya masih relevan untuk menghadapi tantangan pendidikan bangsa," ujar Ki Tyasno.

Darmaningtyas, pengurus Majelis Luhur Taman Siswa, menambahkan bahwa RUU BHP sama sekali mengabaikan fungsi negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Realitas kemajemukan juga diabaikan. Meskipun RUU BHP akan mengakui beragam bentuk badan hukum yang telah ada, tekanan untuk mengikuti tata kelola yang dirumuskan BHP cenderung menjadikan penyelenggaraan pendidikan amat etatis dan terjadi penyeragaman.

Ketua Umum Pengurus Pusat Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (PPTSI) Thomas Suyatno, yang diundang khusus oleh Majelis Luhur Taman Siswa, mengatakan, filosofi pendidikan bangsa Indonesia itu nirlaba. Artinya, pendidikan tidak bisa mengutamakan keuntungan semata.

"Adapun investor yang mau masuk ke pendidikan pasti akan memikirkan keuntungan. Jika tidak, ya, mereka pikir-pikir untuk berinvestasi," jelas Thomas.

Menurut Thomas, pemerintah seharusnya akomodatif terhadap aspirasi yang berkembang di masyarakat. Keprihatinan terhadap pendidikan yang dijadikan komoditas dagang itu karena daya saing bangsa, termasuk pendidikan, masih lemah.

"Akan tetapi, pemerintah jangan terlalu tergesa-gesa menerima asing. Taruhannya besar dan mahal bagi masa depan bangsa," kata Thomas Suyanto. (ELN)

Tenaga Medis


Indonesia Masih Kekurangan Lulusan Fakultas Kedokteran

Jakarta, Kompas - Tenaga dokter sejauh ini masih dinilai kurang, terutama di wilayah bagian Indonesia timur. Sementara fakultas kedokteran yang ada saat ini belum mampu memenuhi kebutuhan tenaga dokter. Kondisi ini pada gilirannya berdampak pada kualitas pelayanan kesehatan masyarakat.

"Kurangnya ketersediaan tenaga dokter di kawasan tersebut menyebabkan ketika terjadi permasalahan kesehatan, masyarakat menjadi tidak terlayani," ujar Ruth Nina Kedang, anggota Komisi X DPR, dalam Rapat Kerja Komisi X dengan Mendiknas Bambang Sudibyo, Senin (17/9).

Dalam kesempatan itu, Dirjen Pendidikan Tinggi Depdiknas Satryo Soemantri Brodjonegero mengatakan, memang telah ada perkiraan akan terjadi defisit jumlah dokter pada tahun 2010. Pada tahun itu diproyeksikan kebutuhan untuk menghadapi Program Indonesia Sehat 2010 dibutuhkan 94.376 dokter. Akan tetapi, diperkirakan pada saat yang sama baru akan terpenuhi sebanyak 72.800 tenaga dokter.

Satryo mengungkapkan, saat ini terdapat 52 fakultas kedokteran di seluruh Indonesia, setiap tahun meluluskan sekitar 5.000 tenaga dokter. Sebaran fakultas kedokteran juga belum merata. Bahkan, di sejumlah daerah, seperti Bengkulu, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Maluku, Irian Jaya Barat, dan Gorontalo belum terdapat fakultas kedokteran. "Oleh karena itu, akan diadakan penghitungan kembali untuk membuka fakultas kedokteran yang baru," ujar Satryo.

Mendiknas Bambang Sudibyo menambahkan, untuk fakultas kedokteran dibutuhkan perhatian serius. Saat ini dibutuhkan banyak tenaga dokter umum dan spesialis. Namun, penyediaan tenaga dokter tersebut tentu harus berkualitas. "Tidak cukup dengan membuka seluas-luasnya izin untuk pendirian fakultas kedokteran, melainkan tetap harus memenuhi persyaratan sehingga menghasilkan dokter yang aman bagi masyarakat," ujarnya. (INE)

Perpres No 77/2007


Liberalisasi Pendidikan Bisa Lumpuhkan Peran Pemerintah

Yogyakarta, Kompas - Kebijakan pemerintah untuk menetapkan pendidikan sebagai bidang usaha jasa yang terbuka bagi penanaman modal asing atau dikenal dengan liberalisasi pendidikan dipastikan bisa melumpuhkan peran pemerintah dalam mengatur pendidikan di Indonesia. Liberalisasi juga dinilai menyimpang dari cita-cita luhur bangsa Indonesia.

"Presiden dan DPR harus disadarkan tentang musibah nasional ini. Tugas utama pendidikan tidak semata mentransfer ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga nilai luhur bangsa, semangat kebangsaan, dan menanamkan identitas bangsa," kata Sofian Effendi, Ketua Badan Pelaksana Harian Magister Administrasi Publik Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, di Yogyakarta, Senin (17/9), terkait keputusan pemerintah yang membuka peluang bagi pihak asing menanamkan modal di bidang pendidikan.

Dengan alasan meningkatkan mutu pendidikan dan kapitalisasi modal, pemerintah telah menetapkan pendidikan sebagai bagian dari paket kebijakan liberalisasi. Melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 77 Tahun 2007, pendidikan ditetapkan sebagai bidang usaha yang terbuka untuk penanaman modal asing. Satu-satunya syarat adalah bahwa pihak luar terbatas menanamkan modal sebesar 49 persen.

"Kini kian jelas, pendidikan tidak lagi dipandang sebagai kewajiban konstitusional pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa," ujar Sofian.

Perubahan paradigma pendidikan, menurut Sofian, pasti dipengaruhi kebijakan World Trade Organization (WTO) yang menetapkan pendidikan sebagai salah satu bidang usaha sektor tersier. Tiga negara yang memperoleh keuntungan besar dari liberalisasi jasa pendidikan, antara lain adalah Amerika Serikat, Inggris, dan Australia. Ekspor jasa pendidikan Amerika Serikat pada 2000, misalnya, mencapai Rp 126 triliun.

Apalagi Indonesia termasuk pasar yang sangat menggiurkan karena memiliki 102,6 juta penduduk usia sekolah. Mereka yang berusia pendidikan tinggi (19-24 tahun) saja sudah 24,8 juta dengan angka partisipasi perguruan tinggi baru 14 persen. Hingga kini sudah ada enam negara yang mengajukan permohonan pengajuan penanaman modal.

Liberalisasi pendidikan gaya WTO juga dinilai oleh Ketua Dewan Pembina Forum Rektor Indonesia ini akan menimbulkan konsekuensi negatif secara finansial. Pemerintah nantinya tak hanya menyubsidi setiap anak didik, tetapi juga wajib menyubsidi penyelenggara dan satuan pendidikan luar negeri yang membuka bisnisnya di Indonesia.

Di depan Komisi X DPR, Senin lalu, Mendiknas Bambang Sudibyo menyatakan, penanaman modal asing untuk bidang pendidikan masih terbatas, baik lokasi maupun jenisnya.

"Tawaran-tawaran yang diberikan oleh Menteri Perdagangan kepada anggota WTO, antara lain, di level pendidikan tinggi, dalam hal ini politeknik jurusan mesin dan listrik. Lokasi pendirian juga dibatasi, yakni di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Medan dan Surabaya," ujar Bambang Sudibyo. Selain perguruan tinggi, yang ditawarkan juga pendidikan luar sekolah, misalnya kursus-kursus bahasa asing. (WKM/ine)

Menyentuh Kedamaian


Gede Prama

Sejumlah wisatawan yang datang ke Bali heran membaca peringatan berbunyi "pemulung dilarang masuk" di mana-mana.

Bagi yang punya empati dan memahami psikolinguistik (ada cermin kejiwaan dalam pilihan kata yang digunakan dalam keseharian) akan bertanya, ada apa di pulau kedamaian Bali?

Persahabatan, pengertian, kesabaran, kebaikan adalah ciri tempat penuh kedamaian. Dengan banyaknya papan "pemulung dilarang masuk" di Bali, adakah kedamaian sudah pergi dari tempat yang kerap disebut the last paradise ini? Maafkanlah keingintahuan. Kalau boleh jujur, Bali tidak sendiri. Keseharian kehidupan di mana pun ditandai kian langkanya kedamaian.

Jangankan negara miskin seperti Botswana, Afrika, yang harapan hidupnya di bawah 40 tahun, sebagian manusia dewasanya positif terjangkit HIV. AS dan Jepang yang dikenal makmur harus menandai diri sebagai konsumen pil tidur per kapita terbesar di dunia dan angka bunuh diri yang tinggi.

Mungkin langkanya kedamaian ini yang ada di balik data cepatnya pertumbuhan pusat meditasi di Barat. Sebagian guru dari Timur disambut komunitas Barat dengan rasa amat lapar akan kedamaian.

Republik ini serupa. Setelah lebih dari enam dasawarsa merdeka, kedamaian tidak tambah dekat. Kemiskinan, bencana, bunuh diri, pengangguran hanya sebagian data yang memperkuat.

Kian menjauhnya kedamaian di luar inilah yang membuat banyak manusia memulai perjalanan ke dalam. Mencari cahaya penerang di dalam.

Pohon kedamaian

Dalam perjalanan ke dalam, ada yang serupa antara pohon dan pencinta kedamaian. Pohon bertumbuh mendekati cahaya. Begitu pula pencinta kedamaian. Dengan serius berlatih, suatu saat hidupnya terang. Maka dalam bahasa Inggris, puncak perjalanan ke dalam disebut enlightenment (pencerahan), ada kata light (cahaya) di tengahnya. Untuk itu, perjalanan menyentuh kedamaian dalam tulisan ini dibuat menyerupai pohon.

Mari dimulai dengan bibit. Bibit jiwa saat berjalan ke dalam adalah tabungan perbuatan baik sekaligus buruk. Bukan baik–buruknya yang menjadi bibit, tetapi bagaimana ia diolah menjadi bibit. Kebaikan belum tentu menjadi bibit yang baik, terutama jika kebaikan diikuti kesombongan dan kecongkakan. Keburukan tidak otomatis menjadi bibit buruk, secara lebih khusus jika keburukan menjadi awal tobat mendalam serta komitmen kuat menjalani latihan keras.

Orang baik dengan bibit yang baik jumlahnya banyak. Namun, orang jahat dengan bibit yang baik juga ada. Milarepa contohnya. Setelah melakukan santet yang berbuntut matinya sejumlah keluarga paman dan tante yang menipunya, Milarepa dihinggapi rasa bersalah mendalam. Sekaligus kesediaan untuk membayar kesalahan dengan pengorbanan berharga berapa pun. Inilah bibit Milarepa berjalan ke dalam yang membuatnya menjadi salah satu orang suci yang amat dikagumi di Tibet.

Lahan-lahan pertumbuhan lain lagi. Meminjam kalimat Kahlil Gibran, keseharian adalah tempat ibadah yang sebenarnya. Maka suatu hari Guru Nanak, yang memiliki murid Islam sekaligus Hindu yang sama banyaknya di India, ditanya mana yang lebih agung, Islam atau Hindu. Dengan sejuk dan teduh, Guru Nanak menyebutkan, baik Islam maupun Hindu sama-sama kehilangan keagungan kalau umatnya tidak berbuat baik. Siapa saja yang mengisi hidupnya dengan kebaikan, ia sudah menyiapkan lahan subur.

Akar pohon kedamaian adalah pikiran yang bebas dari penghakiman. Sebagaimana ditulis Ajahn Munindo dalam The Gift of Well–Being: "until we enter this dimension, all our wise words will be mere imitation". Sebelum kita bebas dari penghakiman, kata-kata kita hanya barang tiruan hambar yang tidak bergetar. Maka, mereka yang berkarya dengan kualitas kenabian (prophetic), seperti Jalaluddin Rumi, Thich Nhat Hanh, Mikhail Naimy, dan Rabindranath Tagore, dengan kata-kata yang menggetarkan, semua sudah lewat dari kesukaan melakukan penghakiman. Dan siapa saja yang telah melewati ini tahu, betapa cepatnya pertumbuhan kemudian.

Teknik yang tepat adalah batang pohonnya. Bertemu teknik yang terlalu maju atau terlalu rendah daripada pertumbuhan hanya akan membuat perjalanan hambar. Jadi layak disarankan untuk mencoba berbagai teknik, lalu merasakan. Teknik mana pun yang menghadirkan rasa damai paling mendalam bisa jadi itulah teknik yang sesuai dengan tingkat pertumbuhan kini.

Daun rimbun kedamaian muncul saat perjalanan ke dalam mulai menyatu dengan keseharian. Seperti mandi, ada yang kurang jika sehari tidak melakukan perjalanan ke dalam. Lebih dari itu, tiap kejadian dalam keseharian (yang menyenangkan sekaligus menjengkelkan) menghadirkan aneka bimbingan.

Bunga pohon kedamaian mulai bermekaran saat keseharian mulai menyentuh kedamaian. Hidup serupa berjalan ke puncak gunung, makin lama makin teduh dan sejuk. Ini baru bayangan bulan. Bila bayangannya saja begitu indah, betapa indahnya bulan kedamaian yang sebenarnya.

Siapa pun yang tekun dan terus menyentuh kedamaian, masalah waktu, akan melihat munculnya buah pohon kedamaian. Kedamaian yang berlawankan kesedihan memang menghilang, ia diganti batin tenang seimbang yang keluar dari segala dualitas.

Sejumlah sufi yang sampai di sini berhenti memuji surga, berhenti mencaci neraka. Di Jawa disebut suwung. Di Bali disebut embang (sunyi). Orang Zen menyebutnya attaining the non attainment. Mencapai keadaan tanpa pencapaian. Yang membuat cerita pohon kedamaian ini menjadi lebih utuh, Thomas Merton pernah mengungkapkan, pekerjaan manusia yang telah tercerahkan mirip pohon. Dalam hening, damai, pohon mengubah karbon dioksida menjadi oksigen yang dihirup makhluk. Peraih buah kedamaian juga serupa, ia tidak menikmati kedamaiannya sendiri. Dalam hening, dalam damai ia menghasilkan vibrasi kedamaian, serupa oksigen kendati tidak terlihat, tetapi amat dibutuhkan banyak makhluk.

Orang-orang tercerahkan cara bernapasnya berbeda. Saat menarik napas, ia bayangkan menarik masuk semua kekotoran. Saat mengembuskan napas, dibayangkan sedang membuang semua hal yang bersih dan jernih.

Selamat menunaikan ibadah puasa. Semoga kedamaian mengunjungi semuanya.

Gede Prama Bekerja di Jakarta, Tinggal di Desa Tajun, Bali Utara

Berhenti Berpikir Cara Televisi

Yonky Karman

Ini zaman melek televisi dengan perannya yang dominan dalam kehidupan masyarakat, dari kota hingga desa. Di pedalaman lebih mudah menemukan layar kaca daripada seperangkat komputer.

Penduduk desa menyiasati keterpencilannya dengan antena parabola. Pada era informasi, besar kontribusi televisi yang mengajar pemirsa banyak hal, kecuali mematikannya. Kaum yang membela netralitas televisi berkilah, benda itu hanya medium komunikasi. Baik buruk pemanfaatannya bergantung pada konsumen. Namun, aforisme Marshall McLuhan masih benar. Medium membawa pesan (Understanding Media: The Extensions of Man, 1964). Lebih dari message, medium juga massage. Bentuk komunikasi itu menentukan isi komunikasi. Televisi bukan produk teknologi bebas nilai.

Pendangkalan publik

Tayangan televisi komersial pada dasarnya bersifat selingan, tidak menuntut banyak berpikir, memperpendek rentang perhatian. Diskursus publik tentang politik, agama, pendidikan, olahraga, atau bisnis dikemas dalam berbagai bentuk hiburan (entertainment), sebagai bagian bisnis pertunjukan. Penampilan dalam tayangan lebih penting daripada isinya. Medium ikut mendefinisikan realitas.

Untuk memahami kultur suatu masyarakat, lihat medium komunikasinya yang dominan. Tayangan televisi merusak karakter reflektif manusia. Iklan komersial dikemas menarik sampai tak ada hubungan dengan kualitas dan manfaat produk yang diiklankan. Orang dibujuk membeli karena pencitraan. Kesan pertama dibuat menggoda, selanjutnya terserah pemirsa.

Sebuah produk mencantumkan peringatan serius untuk tidak mengonsumsi karena merusak kesehatan. Namun, iklannya amat indah membawa pesan keindonesiaan yang merekatkan bangsa. Tayangan rutin yang mengeksploitasi tindakan sadis tidak memupuk iba atas korban, tetapi menumpulkan nurani. Banalisasi kejahatan, kekerasan, kekejaman, dan penderitaan. Pernikahan kehilangan sifat sakralnya. Ketika bencana nasional menjadi breaking news, berlangsung konstruksi sekaligus dekonstruksi rasa haru.

Neil Postman merisaukan kultur di AS pada paruh kedua abad ke-20 dan seterusnya (Amusing Ourselves to Death: Public Discourse in the Age of Show Business, 1986). Abad pertelevisian telah menggeser abad percetakan (tipografi). Pesona tulisan tergeser pesona tayangan. Bisnis surat kabar di AS terdesak televisi dan mesin pencari berita, opini, dan iklan seperti Google dan Yahoo.

Sebagian masyarakat AS tengah memasuki kultur lisan fase kedua. Fase pertama sebelum orang berkenalan dengan budaya tulisan dan hidup dalam tradisi lisan. Kultur lisan fase kedua bersifat high-tech didukung peralatan elektronik seperti televisi dan komputer (Walter J Ong, Orality and Literacy: The Technologizing of the Word, 1982). Menonton televisi tidak perlu melek huruf.

Akibat pengaruh televisi di AS, terjadi pergeseran kultural. Dari kultur yang berpusat pada kata kepada kultur yang berpusat pada gambar, tanpa kecenderungan berbalik arah dan nyaris tanpa protes. Orang tertidur di depan televisi yang masih hidup, menghibur diri sampai mati. Dibanjiri tayangan yang tak berkait, orang menjadi terbiasa mementingkan hal-hal sepele terkait perasaan dan kenikmatan, menjadi pasif dan akhirnya egoistis.

Pesona televisi dapat melumpuhkan minat baca kita yang notabene masih rendah. Ada korelasi kemajuan bangsa dengan kegemaran membaca. Masih rendahnya minat baca kita terlihat dari 4.800 judul buku yang dicetak per tahun di Indonesia, sementara Malaysia 7.000, Thailand 8.000, Jepang 10.0000, Korea Selatan 43.000, Amerika Serikat 50.000.

Tahun 2003, belanja masyarakat Indonesia untuk rokok Rp 150 triliun per tahun, tetapi belanja surat kabar hanya Rp 4,9 triliun. Berbeda dari di AS, sebagian besar masyarakat Indonesia belum beranjak dari kultur lisan fase pertama. Belum sempat memiliki budaya baca, orang yang terperangkap budaya televisi tanpa disadari memasuki budaya lisan yang lain, sekaligus berada dalam dua fase kultur lisan.

Pada temu koordinasi nasional pelaksanaan gerakan nasional percepatan pemberantasan buta aksara di Jakarta, 11 Juli, Mendiknas Bambang Sudibyo menegaskan, cara paling mudah, murah, dan cepat meningkatkan indeks pembangunan manusia (IPM) adalah dengan pemberantasan buta aksara. Penduduk Indonesia yang buta huruf pada akhir 2009 ditargetkan menjadi 5 persen.

Namun, data di kantung-kantung kemiskinan yang tersebar di 1.236 kecamatan atau 20.633 desa miskin menunjukkan, masyarakat usia 15-44 tahun mengidap tiga kebutaan: buta aksara, buta bahasa Indonesia, dan buta pengetahuan umum/ pendidikan dasar. Mereka belum mengenyam pendidikan dasar atau cuma beberapa tahun di SD lalu putus sekolah.

Tanggung jawab bersama

Penuntasan tiga buta itu mendapat hambatan serius dari pesona elektronik yang membuai dan menjauhkan masyarakat dari barisan huruf. Pemerintah tidak boleh berdiam diri membiarkan industri pertelevisian secara tak langsung melestarikan kemiskinan. Warga miskin yang lemah perlu dilindungi dari dekadensi moral dan psikologis akibat tayangan yang hanya mengikuti selera pasar.

Sejauh ini industri pertelevisian menganut sistem tunggal rating kuantitatif yang tak peduli dengan efek pembodohan tayangan. Yang dilihat hanya peringkat dan jumlah penonton, padahal rating tidak mencerminkan kualitas tayangan. Bisa saja tayangan buruk memiliki rating tinggi (Erica L Panjaitan dan TM Dhani Iqbal, Matinya Rating Televisi, 2006). Efek pembodohan itu bertentangan dengan upaya mencerdaskan bangsa.

Jangan berharap banyak pada industri pertelevisian yang berorientasi bisnis. Untuk membendung efek pembodohan dan meningkatkan efek pencerdasan televisi, Kementerian Komunikasi dan Informatika dapat mengeluarkan rating tandingan yang memperhitungkan dampak sosial tayangan terhadap psikologi penonton.

Gagasan Garin Nugroho bersama Yayasan SET (Sain, Estetika, dan Teknologi) dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia untuk memelopori rating publik sebagai alternatif perlu didukung. Rating kualitatif itu melibatkan 560 orang dari berbagai latar profesi (dosen/guru, aktivis LSM, jurnalis/redaktur, profesional/pebisnis, pemuka masyarakat) di 14 kota besar.

Sebuah keluarga yang saya kenal "menyelamatkan" keempat anaknya dengan menempatkan televisi di ruang belakang, hanya ditonton seperlunya. Tayangan juga dapat menjadi obyek puasa. Keadaban bangsa tak boleh digadaikan kepada kapitalisme berjubah media.

Yonky Karman Rohaniwan

Wednesday, September 12, 2007

FLU BURUNG



Di Indonesia Pandemi Tinggal Tunggu Waktu

Nusa Dua, Kompas - Koordinator senior pada Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk penanganan masalah Flu Burung atau UNSIC David Nabarro menyatakan, Indonesia menghadapi masalah besar dalam penanggulangan masalah flu burung.

Hidup di sebuah negara kepulauan yang begitu luas, dengan sistem politik desentralisasi yang belum berjalan optimal telah nyata-nyata mempersulit upaya penanganan flu burung yang dilakukan pemerintah.

Berbicara dalam acara "Government of Indonesia Meeting with International Key Partners on Avian Influenza and Pandemic Preparedness" di Nusa Dua, Bali, Selasa (11/9), Nabarro mengatakan, pihaknya sungguh memahami kesulitan yang dihadapi Pemerintah Indonesia dalam menangani flu burung mengingat luasnya wilayah. Namun, itu bukan berarti persoalan flu burung tidak dapat diselesaikan.

"Kondisi itu bukan masalah apabila pemerintah di daerah hingga desa tahu dan mampu menanganinya, sehingga pemerintah pusat tinggal mengatur dan memfasilitasinya. Namun, nyatanya kondisi itu belum tercapai sehingga dibutuhkan kerja lebih keras lagi dari semua pihak, terutama pemerintah, sektor swasta khususnya di bidang perunggasan, serta masyarakat secara umum," kata Nabarro.

Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie menegaskan, Indonesia sudah berusaha untuk memenuhi prosedur standar dalam menangani flu burung. Namun, diakuinya perubahan sistem politik dari otokrasi ke demokrasi membuat penanganan persoalan ini menjadi lebih pelik, baik dari sisi pemerintahnya maupun penerimaan masyarakatnya.

"Bahkan, sampai sekarang masih ada sejumlah daerah yang menolak menerapkan prosedur, terutama karena alasan ekonomi. Namun, selama setahun terakhir, kesadaran masyarakat serta pemerintah daerah sudah lebih baik," kata Aburizal.

Berdasarkan data Komnas Penanggulangan Flu Burung, hingga kemarin jumlah kasus flu burung pada manusia di Indonesia 106 orang, 85 orang di antaranya meninggal dunia. Hal itu menjadikan Indonesia menjadi negara dengan kasus kematian akibat flu burung tertinggi di dunia.

Penanganan perunggasan

Nabarro mengingatkan, penyebaran virus flu burung di dunia memang sangat cepat. Jika periode tahun 2003-2005 kasus penyakit ini hanya terjadi di 15 negara, tahun ini sudah ada di 60 negara, atau menyebar empat kali lipat. Ia menegaskan, hingga kini belum terjadi penularan virus flu burung antarmanusia atau terjadi pandemi.

"Namun, Anda sekalian harus melihat ke belakang. Dalam sejarah perkembangan influenza di seluruh dunia, pasti terjadi penularan antarmanusia. Jadi, harus dikatakan pandemi flu burung itu tinggal menunggu waktu, meski kita tidak tahu di mana dan kapan hal itu akan terjadi. Semua harus waspada," kata Nabarro.

Ia mengatakan, virus flu burung sungguh sulit diawasi dan dikontrol ketika menyebar di perunggasan rakyat. Untuk itu, tidak ada kata lain kecuali dilakukan pengaturan yang ketat di bidang perunggasan di seluruh negeri.

Perbedaan kepentingan

Menteri Pertanian Anton Apriyantono mengakui, restrukturisasi perunggasan di Tanah Air terkendala adanya perbedaan kepentingan masyarakat pengusaha perunggasan dengan masyarakat umum. Restrukturisasi itu mencakup, antara lain, relokasi peternakan yang dekat dengan permukiman, tempat pemotongan unggas, serta pasar unggas.

"Peran serta pemerintah daerah memegang kunci dalam restrukturisasi perunggasan, khususnya untuk meredam persoalan sosialnya. Kita akan buat unggas hidup tidak ada di permukiman perkotaan, namun sudah dalam bentuk karkas," kata Anton. (BEN)

ALUTSISTA


Manfaat bagi Rakyat adalah Kunci Keamanan

Pandangan mata Mananuir Jusuf Mampioper menerawang mengingat masa kecilnya, mengenang kehancuran kota Manswam yang terjadi 63 tahun lalu.

"Kota itu dibangun sendiri oleh orang Biak, tanpa campur tangan Belanda. Orang Biak dari berbagai tempat, seperti Padua, Biak Timur, Biak Utara, bersepakat membangun kota Manswam di tepi Pantai Ambroben. Tetapi, pada 10 Oktober 1943, Jepang datang dan membakar habis kota itu," katanya.

Penderitaan orang Biak tidak berhenti di sana. Setelah membumihanguskan Manswam, Jepang memaksa penduduk Biak menjalani romusa, membangun lapangan terbang di barat Manswam.

"Lapangan terbang itu dibangun dengan tangan manusia, tanpa alat berat apa pun. Banyak orang mati kelelahan. Jika berhenti bekerja, orang dipukul. Orang yang tidak mau kerja paksa akan dibawa ke lubang besar yang ada di Korido dan dipancung di sana," kata mantan Asisten I Sekretariat Pemerintah Kabupaten Biak Numfor itu.

Itulah sejarah awal pengambilalihan tanah ulayat enam marga yang secara bersama- sama menjadi pemilik tanah ulayat Swaporibo, yaitu marga Rumaropen, Wakum, Ronsumre, Rumbiak, Simopieref, dan Yarangga.

Ia masih ingat bagaimana pasukan Sekutu di bawah pimpinan Letnan Jenderal L Eichelburger mengusir Jepang pada 15-27 Juni 1944.

"Saat itu, banyak bom dijatuhkan di Biak. Akhirnya, Jepang kalah dan Sekutu menguasai lapangan terbang yang dibangun Jepang. Bandara kemudian dikuasai Belanda, kemudian diambil alih oleh United Nation Temporary Executive Administration (UNTEA), dan dikuasai Indonesia pasca-Penentuan Pendapat Rakyat 1969, dan kini menjadi Bandar Udara Frans Kaisiepo," ujarnya.

Pagar yang mengelilingi Bandara Frans Kaisiepo berlubang di sana-sini. Jumlahnya mencapai 144 lubang. Pagar tersebut selalu dibobol karena warga dua kampung di utara landasan pacu, Kampung Sburia dan Manswam, selalu mengambil jalan pintas menuju Pantai Ambroben dengan melintasi landasan pacu sepanjang 3.570 meter.

Menyusul kerja sama pertahanan Indonesia-Rusia, lapangan terbang itu bakal dijadikan fasilitas peluncuran satelit, air launch system (ALS).

Nilai investasi pembangunan fasilitas peluncuran satelit itu mencapai 250 juta dollar AS. "Selama ini tak pernah ada sosialisasi yang diberikan kepada kami," kata Ronsumbre yang mempertanyakan manfaat dari proyek itu.

Wajar jika Ronsumbre khawatir karena hingga kini orang Biak masih tersisih di tanahnya sendiri. Jangankan bersaing dalam teknologi antariksa, untuk berjualan di pasar tradisional saja mereka tersingkir, kalah bersaing dari para pendatang yang berdagang di Biak.

Tuntut keterbukaan

Baik Ronsumbre, Mampioper, maupun tokoh wilayah adat Swaporibo, Mananuir Yan Pieter Yarangga, sama-sama menginginkan keterbukaan informasi proyek ALS.

"Kami ini para pemilik ulayat. Jika mau melakukan sesuatu atas tanah kami, ajak kami bicara. Jika orang Biak tak merasakan manfaat keberadaan fasilitas peluncuran satelit di Biak, benih kecemburuan sosial akan muncul. Dan, itu bisa memunculkan konflik sosial di Biak," kata Yarangga.

General Manager Bandar Udara Frans Kaisiepo, Purwanto, menyadari, salah satu pekerjaan rumah terberatnya untuk menyiapkan proyek ALS adalah membuat masyarakat lokal punya rasa memiliki terhadap kehadiran bandara.

"Selama mereka tak mendapat manfaat langsung dari keberadaan Bandara Frans Kaisiepo, tentunya banyak persoalan yang akan muncul. Ini pekerjaan bersama dengan Pemerintah Kabupaten Biak-Numfor, bagaimana memberdayakan masyarakat sehingga mereka bisa menarik keuntungan dari meningkatnya kegiatan di Bandara Frans Kaisiepo," kata Purwanto. (ROW)

Kemandirian bangsa



Bermimpi Memiliki Teknologi Canggih Sendiri

B Josie Susilo Hardianto

Sepanjang pekan lalu, secara beruntun kita mendengar informasi tentang kedatangan kapal perang canggih dari kelas korvet, Sigma, penambahan pesawat tempur canggih buatan Rusia, Sukhoi, dan rencana penggunaan Bandara Frans Kaisiepo di Biak sebagai air launch system atau ALS.

Saat menyambut kedatangan korvet baru di Dermaga Madura, Markas Komando Armada RI Kawasan Timur Surabaya, mantan Kepala Staf TNI AL Laksamana (Purn) Bernard Kent Sondakh sampai terharu.

Hal itu dapat dipahami. Di tengah-tengah keterbatasan dana yang dimiliki, ada kebutuhan mendesak untuk menjaga kewibawaan, keutuhan, dan kekayaan negeri ini. Harga 600 juta dollar AS yang dikeluarkan untuk membeli korvet itu menjadi sepadan dengan tanggung jawab yang diemban oleh awaknya.

Namun, sebuah korvet canggih tentu saja belum cukup— bahkan dengan empat korvet sejenis—untuk mengawasi lautan Indonesia yang demikian luas.

Di udara Indonesia juga masih dibutuhkan lebih banyak pesawat tempur, lebih banyak radar. Bukan untuk menghajar musuh, tetapi semua itu diperlukan untuk menjaga diri, menjaga kedaulatan negara.

Tengok saja Singapura. Mereka memiliki kapal-kapal perang dan pesawat-pesawat tempur yang lebih canggih serta sistem pertahanan yang lebih unggul.

Kalau Indonesia kemudian juga memperkuat sistem pertahanan dan senjata, hal itu wajar karena sejak lama memang dibutuhkan. Hanya saja, apakah Indonesia akan selalu bergantung pada negara lain untuk mencukupinya?

Jejak sejarah

Jika mau berbalik ke tahun-tahun awal sejarah republik ini, ada jejak-jejak yang menunjukkan kemampuan anak negeri menyerap teknologi persenjataan yang terbilang canggih pada zamannya.

Sebut saja para perintis TNI AU yang mampu mengaktifkan pesawat Cureng peninggalan tentara Jepang untuk menghujani basis tentara pendudukan Belanda di Semarang dan Ambarawa dengan bom.

Ketika dihubungi, Jumat (7/9), mantan Panglima Komando Pertahanan Udara Nasional (Kohanudnas) Marsekal Muda (Purn) F Djoko Poerwoko mengatakan, pada tahun 1960-an Indonesia sudah mampu membuat pesawat sendiri. Kala itu, Indonesia membeli lisensi pesawat PZL-Wilga buatan Polandia dan memproduksinya sendiri dengan nama "Gelatik".

Pada era berikutnya, para teknisi dan ahli yang dimiliki TNI Angkatan Udara mampu mempersenjatai pesawat jet latih T-Bird buatan Lockheed, Amerika. "Amerika kaget dengan itu," kata Djoko.

Yang menarik dari peristiwa itu, tutur Djoko, pada dasarnya putra Indonesia memiliki kemampuan yang memadai sehingga pesawat latih dapat dipersenjatai. Mereka mampu mengembangkan sistem persenjataan sendiri dan menambahkannya pada pesawat yang ada.

Selanjutnya, pada era yang lebih modern, TNI AU mampu meningkatkan kemampuan pesawat tempur F-5E Tiger dan F-16 Fighting Falcon yang dimiliki melalui program Modernization of Avionics Capabilities for Armament and Navigation (MACAN) dan Falcon Up.

Riset dan penelitian

Pada prinsipnya, tutur Djoko, perlu dana yang cukup untuk mengembangkan riset dan penelitian karena sesungguhnya Indonesia mampu mengembangkan sistem avionik, sistem navigasi, sistem informasi, hingga sistem persenjataan sendiri. Ia mengemukakan, sebetulnya proses alih teknologi dari pabrik pembuat pesawat sangat terbuka. "Mereka menawarkan apa yang kita perlukan," tuturnya.

Di sisi lain, kita pun, tutur Djoko, mampu mengembangkan sendiri teknologi yang dirasakan lebih tepat untuk kebutuhan Indonesia. "Kadang kita diam-diam meng-upgrade-nya," kata Djoko menambahkan.

Dengan demikian, apa yang ada di dalam kokpit Hawk 109/209 yang dimiliki Indonesia tidak sama dengan apa yang ada di dalam kokpit Hawk 108 milik Malaysia.

Dulu, ketika Indonesia membeli puluhan Mig-17 dan pesawat tempur lainnya dari Rusia karena kebutuhan mendadak, negara itu bersedia memberikan semua teknologi yang mereka miliki terkait sistem senjata itu. Untuk itu, di Malang, Jawa Timur, didirikan Depo 10 guna merawat mesin-mesin pesawat itu.

Djoko menjelaskan, dalam kerja sama pembelian senjata, terutama pesawat terbang, ada tiga tingkat perawatan yang menunjukkan tingkat teknologi yang dialihkan, yaitu O-level atau flight line, internal line, dan depo level. Tingkat tertinggi adalah depo level di mana teknologi yang dialihkan mampu digunakan untuk merawat pesawat yang mengalami kerusakan parah. Namun, umumnya perbaikan mesin masih ditangani oleh pabrik pembuatnya.

Hanya saja, biasanya tingkat alih teknologi itu terkait juga dengan jumlah pesawat yang dibeli. Jika pesawat yang dibeli hanya dua atau empat saja, tentu berbeda jika pesawat yang dibeli jumlahnya puluhan.

Mantan Komandan Pangkalan Udara Iswahyudi itu mengatakan, kalau jumlah pesawat yang dibeli sedikit, pembeli hanya akan menerima barang saja, artinya si pembeli akan menjadi pengguna saja. Untuk itu, diperlukan dana lain guna mengembangkan sendiri teknologi yang diperlukan agar sistem senjata itu dapat difungsikan dengan maksimal.

Hal itu pula yang dilakukan terhadap empat Sukhoi yang saat ini dimiliki Indonesia. TNI Angkatan Udara terus mengembangkan sistem senjata sendiri untuk mempersenjatai pesawat tempur itu.

Mandiri

Saat ini teknologi yang digeluti oleh Indonesia telah melaju jauh. Namun, di sisi lain, Indonesia masih berada pada taraf pengguna saja. Bahkan, untuk teknologi antariksa, saat ini Indonesia masih menjadi penyedia tempat saja.

Ada baiknya, semua investasi yang ditanam negara lain digunakan untuk mengembangkan riset dan penelitian di bidang serupa sehingga warga tidak hanya menjadi penonton dan pengguna saja.

China, Korea, dan India telah menunjukkannya. Kemajuan teknologi yang mereka miliki telah menjadikan mereka sebagai bangsa yang tidak lagi banyak bergantung pada negara-negara produsen teknologi.

Bahkan, China dan Korea, misalnya, telah mampu menjadi pesaing bagi negara produsen teknologi itu.

Dari jejak-jejak sejarah yang dimiliki, Indonesia sebenarnya mampu melakukan hal serupa. Hanya saja, mengapa itu belum juga terjadi?

Tuesday, September 11, 2007

PLTN, Mengapa Dikhawatirkan?


Carunia Mulya Firdausy

Rencana pemerintah untuk membangun pembangkit listrik tenaga nuklir atau PLTN di Semenanjung Muria, Jepara, Jawa Tengah, tahun 2016 mendapat penolakan besar dari masyarakat belakangan ini. Ada dua argumentasi yang menjadi dasar penolakan masyarakat terhadap PLTN. Pertama, menyangkut kekhawatiran terhadap keandalan dan keamanan teknologi PLTN bagi keselamatan masyarakat. Kedua, berkaitan dengan kekhawatiran masyarakat terhadap terjadinya praktik korupsi dalam pembangunan PLTN.

Untuk menepis kekhawatiran terhadap masalah pertama, tentu lebih mudah. Hal itu karena lebih dari 22 negara di dunia telah relatif aman dalam menggunakan teknologi PLTN sebagai alternatif dalam memasok listrik bagi penduduknya selama puluhan tahun tanpa masalah.

Dengan kata lain, jika kita ingin "aman dan selamat" dalam membangun PLTN, pada tahap awal kita dapat membeli teknologi PLTN milik asing (seperti Korea Selatan, Jepang, atau Perancis) yang telah terbukti keandalannya. Adapun untuk mengatasi kekhawatiran akan timbulnya praktik korupsi, hal itu pasti bukan pekerjaan sederhana. Apalagi penyakit korupsi sudah disebut-sebut sebagai bagian nilai hidup manusia Indonesia. Belum lagi masalah kedisiplinan, kualitas SDM, dan lain-lain.

Jika demikian, lantas apakah pembangunan PLTN harus ditolak? Jika tidak ditolak, bagaimana harus mengatasi penyakit sosial seperti korupsi ini?

Belajar dari Korsel dan Jepang

Belajar dari pengalaman negara-negara yang telah membangun PLTN di luar negeri, tidak ada satu pun negara di dunia ini yang mengkhawatirkan masalah korupsi sebagai pertimbangan dalam memutuskan pembangunan PLTN di negara masing-masing. Ini tentu bukan karena negara-negara luar itu bebas dari penyakit korupsi, tetapi karena mereka yakin bahwa penyakit sosial tersebut bukan merupakan penyakit yang tidak dapat dikurangi.

Ambil saja contoh dua negara di Asia, khususnya Korea Selatan dan Jepang yang baru-baru ini dijadikan obyek kajian bersama antara Kementerian Negara Riset dan Teknologi dengan anggota DPR Komisi VII, LSM, KNPI, pemuka agama, dan media. Hasil kajian tim tersebut menemukan bahwa pembangunan PLTN tidak memiliki hubungan dengan besar kecilnya penyakit korupsi di kedua negara dimaksud.

Menurut Kim Jong-shin, Presiden dan CEO Korea Hydro and Nuclear Power (KHNP), keberhasilan pembangunan PLTN di Korea Selatan adalah karena komitmen dan kepemimpinan yang tinggi pemerintah untuk membangun PLTN dan upaya keras pemerintah dalam menjelaskan kepada masyarakat tentang pentingnya PLTN sebagai solusi kelistrikan negara tersebut.

Hal yang sama dikatakan secara tegas oleh tiga deputi direktur dari Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri (METI) Jepang yang memberikan penjelasan dalam diskusi dengan 11 delegasi Indonesia baru-baru ini.

Menurut mereka, pembangunan PLTN dapat berhasil jika dan hanya jika pemerintah memiliki konsensus yang besar dan mau bekerja sama dengan pemerintah daerah dan masyarakat. Kekhawatiran terhadap korupsi tidak akan memberikan solusi terhadap upaya suatu negara dalam mengatasi krisis energi yang dihadapinya.

Dengan berpegang pada prinsip itu, kedua negara ini telah melangkah pesat dalam membangun PLTN dalam 30 tahun belakangan ini. Di Korea Selatan, misalnya, jumlah PLTN sejak tahun 1978 sampai tahun 2005 telah mencapai 20 unit. Angka ini bertambah menjadi 22 unit pada saat ini dan akan terus ditambah lagi menjadi 28 unit pada tahun-tahun mendatang. Saat ini sekitar 40 persen dari kebutuhan listrik masyarakat di Korea Selatan dipasok oleh PLTN.

Potret penggunaan PLTN yang semakin bertambah juga terjadi di Jepang, padahal negara ini pernah mengalami kejamnya gempuran bom nuklir di Hiroshima dan Nagasaki pada Perang Dunia II lalu. Namun, negeri matahari itu kini justru memiliki jumlah unit PLTN lebih besar dibandingkan dengan Korea Selatan. Jumlah unit PLTN di Jepang kini mencapai 55 unit dan dalam waktu dekat akan bertambah 2 unit serta 11 unit dijadwalkan akan dibangun pada masa mendatang. Saat ini pasokan listrik dari unit PLTN telah mendominasi energi alternatif lainnya (LNG, minyak bumi, dan batu bara) dengan kontribusi di atas 30 persen.

Oleh karena itu, belajar dari pengalaman Korea Selatan dan Jepang, rasanya tidak ada alasan bagi kita untuk mengkhawatirkan penyakit korupsi dan kelemahan sumber daya manusia yang kita miliki secara berlebihan seperti yang selalu didengung-dengungkan nyaring oleh sebagian masyarakat kita.

Kelambatan kita untuk bertindak dan kekhawatiran berlebihan untuk membangun PLTN di negeri ini justru akan memberikan dampak buruk bagi upaya kita untuk menyejahterakan rakyat. Dampak buruk dimaksud tidak saja akan berakibat semakin mahalnya teknologi PLTN di satu pihak dan ketidakpastian kita dalam mengatasi krisis energi minyak bumi di Indonesia.

Lantas, apa yang harus dilakukan dalam membangun PLTN, khususnya di Semenanjung Muria?

Membangun PLTN

Untuk membangun PLTN, langkah sistematis tentu harus dilakukan. Langkah dimaksud antara lain sebagai berikut.

Pertama, pemilihan lokasi PLTN. Saat ini telah dikaji 14 lokasi yang dapat dibangun lokasi PLTN. Dari 14 lokasi yang dikaji ini, ternyata ada lima lokasi yang laik untuk lokasi PLTN. Khusus di Jawa, lokasi yang cocok adalah di Semenanjung Muria.

Dengan selesainya langkah ini, langkah kedua adalah melakukan assessment terhadap lingkungan. Penilaian di sini tidak hanya berkaitan dengan aspek geologi, vulkanologi, seismologi, hidrologi, dan oseanologi, tetapi juga berkaitan dengan aspek lingkungan sosial-ekonomi masyarakat, seperti penciptaan lapangan kerja, pendapatan, dan kesejahteraan masyarakat di lokasi PLTN.

Kemudian diikuti dengan public hearing atau sosialisasi kepada masyarakat sebagai langkah ketiga dengan menjelaskan dan mengikutsertakan masyarakat untuk memahami tentang pentingnya pembangunan PLTN di lokasi dimaksud. Dalam langkah ini keterlibatan pemerintah daerah sangat signifikan, terutama untuk meyakinkan masyarakat tentang manfaat PLTN.

Akhirnya, upaya pembangunan daerah lokasi PLTN juga tidak boleh diabaikan. Dalam hal ini pemerintah harus dapat menyediakan infrastruktur publik yang memadai, seperti jalan, puskesmas, dan sekolah. Hal ini tidak saja untuk membuat lokasi PLTN menjadi lebih sejuk dan nyaman, tetapi juga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di lokasi PLTN. Singkatnya, keberhasilan pembangunan PLTN di Semenanjung Muria bergantung pada upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di lokasi tersebut.

Carunia Mulya Firdausy Deputi Menteri Negara Ristek Bidang Dinamika Masyarakat

Menimbang Risiko Ekonomi PLTN


Abram Perdana

Akhir-akhir ini intensitas polemik mengenai pembangkit listrik tenaga nuklir atau PLTN di Tanah Air cenderung meningkat. Risiko kecelakaan PLTN masih menjadi bahan kontroversi utama. Selain risiko kecelakaan, risiko ekonomi PLTN juga perlu menjadi pertimbangan, mengingat dana APBN yang terbatas dan kondisi ekonomi belum sepenuhnya pulih.

Setidaknya ada tiga risiko ekonomi PLTN yang perlu mendapatkan perhatian. Pertama, risiko eskalasi biaya dan penundaan penyelesaian konstruksi. Sudah menjadi "tradisi" industri nuklir, perkiraan biaya konstruksi biasanya kecil di awal, tetapi kemudian membengkak seiring berjalannya proyek.

Pada banyak kasus, biaya pembangunan PLTN bisa membengkak dua hingga empat kali lipat dari perkiraan semula, seperti yang pernah dialami Brasil, Argentina, India, Ceko, Inggris, dan Amerika Serikat. Ini bukan berarti negara-negara lain tidak mengalami hal serupa mengingat data biaya konstruksi sering kali tidak dibuka kepada publik.

Molornya masa konstruksi juga merupakan problem klasik dalam proyek PLTN. Data Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) tahun 2006 menunjukkan, dari sekitar 30 negara yang memiliki PLTN, separuhnya pernah mengalami penundaan penyelesaian konstruksi lebih dari 10 tahun. Jumlah itu belum termasuk beberapa proyek PLTN yang dihentikan di tengah jalan, seperti yang terjadi di Argentina, Bulgaria, dan Romania.

Karena PLTN adalah investasi padat modal, pembengkakan biaya dan keterlambatan konstruksi akan berpengaruh besar terhadap kenaikan biaya pembangkitan yang pada akhirnya akan menjadi beban masyarakat sebagai konsumen. Bagi Indonesia, penundaan jadwal pengoperasian sebuah pembangkit juga berarti merupakan gangguan terhadap pasokan listrik nasional yang kondisinya sudah kritis.

Risiko pembengkakan biaya konstruksi mungkin bisa dihindari jika proyek dilakukan dengan menggunakan skema putar kunci (turnkey). Yang menjadi pertanyaan, mungkinkah mendapatkan harga jual listrik yang murah dengan skema tersebut?

Kedua, risiko kinerja pembangkit yang di bawah harapan. Risiko ini dapat berupa faktor kapasitas yang rendah atau umur ekonomis yang lebih pendek dari yang direncanakan.

Mengacu pada data IAEA, setidaknya ada 15 negara yang memiliki kapasitas akumulatif PLTN kurang dari 75 persen. Faktor kapasitas akumulatif PLTN-PLTN di Armenia, Brasil, Bulgaria, India, Lituania, dan Pakistan bahkan kurang dari 60 persen. Padahal, sebagai penyangga beban dasar, PLTN umumnya didesain agar beroperasi dengan faktor kapasitas tidak kurang dari 80 persen untuk mencapai syarat keekonomian yang diharapkan.

Sebuah PLTN diharapkan memiliki umur ekonomis hingga 40 tahun. Namun, tidak jarang dijumpai sebuah PLTN harus ditutup jauh lebih awal dari umur yang direncanakan karena berbagai masalah. Data IAEA menunjukkan, hingga akhir tahun 2005, ada 51 reaktor daya yang ditutup secara permanen sebelum usianya genap 20 tahun.

Ketiga, risiko tanggung jawab jangka panjang. Risiko ini terkait dengan ketidakpastian biaya dekomisioning dan penyimpanan akhir limbah nuklir. Karena dana dekomisioning dikumpulkan dari setiap kWh listrik yang dibangkitkan PLTN dengan metode discounted cash flow, selalu muncul kemungkinan dana tersebut tidak cukup di kemudian hari. Kemungkinan itu bisa disebabkan oleh eskalasi biaya yang tidak diperkirakan sebelumnya. Hal ini bisa terjadi mengingat menghitung biaya dekomisioning ibarat meramal masa depan, penuh ketidakpastian.

Nilai tukar mata uang, tingkat inflasi, eskalasi upah buruh dan material selama 40 tahun ke depan harus diperkirakan dengan cermat. Sampai-sampai Ian Jackson (seorang konsultan senior industri nuklir Inggris) mengatakan bahwa menghitung biaya dekomisioning lebih pantas disebut seni ketimbang sains (Paying for Nuclear Clean-up: An Unofficial Market Guide, 2006).

Kekurangan dana dekomisioning dapat juga disebabkan oleh dana tidak terkumpul sesuai dengan yang direncanakan. Hal ini bisa terjadi akibat kesalahan pengelolaan dana, kinerja pembangkit yang di bawah harapan, atau dana dikorupsi di tengah jalan.

Pengalaman Inggris adalah salah satu contoh nyata bahwa biaya dekomisioning selalu lebih besar daripada yang diperkirakan dan dana yang dikumpulkan tidak sesuai dengan yang direncanakan. Selama beberapa tahun terakhir perkiraan biaya dekomisioning di negara tersebut membengkak hingga beberapa kali lipat. Saat ini jumlah tanggungan biaya dekomisioning diperkirakan tidak kurang dari 140 miliar dollar AS (BBC, 30 Maret 2006). Padahal, dana yang telah dikumpulkan dari industri nuklir jauh dari mencukupi. Konsekuensinya, kekurangan dana harus ditanggung publik hingga beberapa generasi yang akan datang.

Semua risiko ekonomi yang telah diuraikan itu adalah sifat "bawaan" industri nuklir. Di samping itu, ada pula risiko ekonomi yang muncul akibat fluktuasi harga bahan bakar nuklir. Selama empat tahun terakhir, harga uranium sudah melambung sepuluh kali lipat. Harga pengayaan bahan bakar (enrichment) naik 30 persen, sementara harga konversi melonjak hingga dua kali lipat. Uranium tidak hanya mahal, pasarnya pun tidak transparan sehingga sewaktu-waktu bisa bergejolak. Yang lebih mengkhawatirkan, produksi uranium dunia saat ini hanya mampu memenuhi 67 persen kebutuhan dunia. Sisanya diperoleh dari konversi senjata nuklir yang ada di Amerika Serikat dan Rusia.

Bagi Indonesia, yang relatif miskin akan cadangan uranium, gejolak harga uranium merupakan faktor penting yang harus diperhitungkan sebelum membangun PLTN. Data di buku Uranium Resources, Production and Demand terbitan Nuclear Energy Agency tahun 2006 menyebutkan sumber daya uranium Indonesia hanya 6.000 ton. Itu pun termasuk jenis kadar rendah dengan biaya eksploitasi yang tinggi. Jumlah sebesar itu bahkan belum tentu cukup untuk menghidupi daur hidup satu unit PLTN.

Risiko ekonomi PLTN tidak hanya relevan bagi negara yang masih baru dalam pengembangan energi nuklir. Rekam jejak PLTN di Amerika Serikat, yang selama ini menjadi salah satu kiblat teknologi nuklir dunia, membuktikan bahwa di negara tersebut risiko ekonomi PLTN masih menjadi masalah yang nyata.

Nathan Hultman (peneliti senior di Universitas Georgetown) dan Daniel Kammen (profesor di Universitas California) menemukan fakta bahwa 16 persen PLTN yang pernah atau masih beroperasi di negara tersebut tidak memenuhi syarat keekonomian yang wajar, dengan biaya pembangkitan di atas 8 sen per kWh (Environmental Science, 2007).

Dalam kaitannya dengan rencana pembangunan PLTN pertama di Indonesia, semua risiko ekonomi itu perlu dipertimbangkan dengan saksama dan dikomunikasikan kepada masyarakat. Pemerintah juga perlu menjelaskan kepada publik bagaimana pertanggungan risiko ekonomi tersebut nantinya akan didistribusikan di antara vendor, operator/pemilik PLTN, dan masyarakat.

Abram Perdana Mahasiswa Department of Energy and Environment, Chalmers University of Technology, Swedia

"Management of Heart, Heart of Management"

GEDE PRAMA

Tatkala Peter F Drucker mulai menyelami kedalaman-kedalaman manajemen puluhan tahun lalu, mungkin belum terbayangkan kalau manajemen akan berhadapan dengan turbulensi-turbulensi yang sedahsyat sekarang.

Tidak saja lingkungan yang mengalami turbulensi (sebagaimana menjadi perhatian para pemikir corporate planning dan strategic planning), tetapi manusia-manusia yang mengembangkan sekaligus mengamalkan manajemen juga mengalami turbulensi.

Dalam skala global, entakkan serangan teroris yang diikuti oleh serangan balik Pemerintah AS dan kawan-kawan ke Afganistan dan Irak tidak saja menggambarkan turbulensi global, tetapi juga mencerminkan turbulensi manusia dalam mengelola dirinya.

Dalam skala korporasi, terbongkarnya mega-skandal Enron, Worldcom, yang diikuti oleh runtuhnya sebuah firma akuntansi yang mendunia, tidak saja menunjukkan kelumpuhan manajemen (yang berdiri di atas fakta dan logika), melainkan juga mencerminkan ketidakmampuan manusia dalam mengelola keserakahannya.

Lebih-lebih kalau deretan kasus ini ditambah dengan skandal-skandal birokrasi. Tidak terhitung jumlah uang yang menguap lewat kasus-kasus korupsi, tidak terhitung juga jumlah manusia yang bersinar di luar birokrasi, kemudian disedot habis oleh vacuum cleaner birokrasi ketika mencoba membenahinya. Ini juga sebuah masukan bagi dunia manajemen: birokrasi menjadi demikian rumit karena kerumitan-kerumitan dalam diri manusia.

Totalitas kerumitan ini sedang menyisakan pekerjaan rumah pada dunia manajemen, bagaimana keasyikan berlebihan membaca pertanda-pertanda lingkungan luar mengakibatkan terlalu minimnya pemahaman manajemen akan dinamika internal manusia. Seperti seorang penunggang kuda, ia memahami kudanya, tetapi gelap sama sekali tentang siapa dirinya, di mana ia berada serta mau ke mana ia pergi. Dengan demikian, semua arah menjadi arah yang salah.

Terhalangnya pertumbuhan manajemen modern oleh kegelapan-kegelapan kecenderungan seperti inilah yang melahirkan pemikiran-pemikiran yang bermuara pada satu hal: the management of heart, the heart of management.

Konsekuensinya, terjadi pergeseran besar dari manajemen sebagai teknik menuju manajemen sebagai spirit. Apabila dulu teknik menjadi satu-satunya cahaya penerang keberhasilan, sekarang ada cahaya penerang keberhasilan yang kedua: heart capital.

Yang unik dari "modal" terakhir ini, manusia tidak menghabiskan seluruh waktunya untuk mempelajari segala teknik luar, tetapi memulai perjalanan ke dalam diri. Berbeda dengan manajemen sebagai teknik, di mana perbandingan dan persaingan dengan pihak-pihak luar adalah sumber energi keberhasilan. Dalam manajemen sebagai spirit, tugas manusia adalah merealisasikan hatinya dalam hidup sehari-hari.

Kerja di jalan ini adalah peluang untuk merealisasikan cahaya-cahaya hati. Dan, tatkala kerja diterangi cahaya hati, tidak ada lagi kegelapan-kegelapan yang mengkhawatirkan. Sukses-gagal, naik-turun, kaya-miskin, apabila dijalani secara mengalir, digunakan sebagai peluang pertumbuhan, maka hidup jadi terang-benderang.

Hampir semua kegelapan datang dari kemelekatan berlebihan; kalau sukses tidak boleh diganti gagal, naik tidak boleh diganti turun. Padahal, hukum kehidupan yang berumur tua bercerita kalau hidup serupa dengan membangun istana dari es. Lakukanlah seserius dan segembira mungkin. Dan, jangan pernah lupa, hanya persoalan waktu istana ini pasti meleleh. Hanya keikhlasan yang kemudian membebaskan. Apabila demikian cara manusia bekerja, di satu sisi kita tidak kehilangan semangat dan kegembiraan, di lain sisi tidak perlu dibikin gelap oleh kemelekatan-kemelekatan yang menakutkan.

Bagi setiap pejalan kaki di jalan-jalan, hati mengetahui, kehidupan serupa dengan berjalan ke puncak gunung. Semakin lama dan semakin tua kehidupan menjadi semakin sejuk dan teduh. Tanda-tanda kesejukan dan keteduhan ini tampak dalam hidup yang penuh rasa syukur. Lebih dari itu, tatkala usia menua, menoleh ke semua yang telah dilakukan, semuanya terlihat serba membimbing. Dalam bahasa Rumi, semuanya berisi pesan-pesan Tuhan. Dalam bahasa Bhikku Buddhadasa, di sini sekarang ini manusia bisa menemukan Nibbana (batin yang sejuk teduh karena bebas dari kemarahan, kebencian, sakit hati dan sejenisnya). Kalaupun ada godaan, halangan dan guncangan (meminjam pendapat Anthony de Mello), ia bagian dari langkah-langkah pembebasan.

Ini sebuah pendekatan dalam memandang manajemen sebagai spirit. Dan, tentu ada lagi sudut pandang yang lain. Dalam perspektif ini, patut dihargai hadirnya buku Paulus Bambang WS yang mau berkontribusi memperkaya wahana manajemen sebagai spirit.

Sebagai praktisi yang sudah lama malang melintang di dunia bisnis, Paulus Bambang WS tentu tahu batas-batas logika manajemen yang pernah dibangun orang-orang seperti Peter Drucker, Henry Mintzberg serta Michael Porter. Kalau ia kemudian ikut masuk dalam arus besar manajemen sebagai spirit, mungkin karena merasakan melalui tangan pertama, ada yang perlu diseimbangkan dalam manajemen yang melulu berisi teknik.

Perhatikan cara Paulus Bambang WS menguraikan idenya. Ia dimulai dengan setumpukan keyakinan, tidak saja kelicikan dan ketidakjujuran yang bisa membawa kekayaan materi. Kejujuran, kebaikan, keikhlasan pun bisa berujung pada kekayaan materi. Contohnya dalam buku ini ada banyak. Dari Miracle Production, Angkasa Tunggal Sukses, Garuda Food, sampai dengan Astra. Buku ini terurai rapi karena dipenuhi dengan heart in action in management. Akan berguna bagi mereka yang berniat melukis hati di dunia korporasi.

Pagar-pagar kemajuan yang dicoba dibuat buku ini menjadi relevan dalam kekinian karena dunia korporasi tidak lagi sekadar pembuat barang dan jasa kemudian memasarkannya. Lebih dari itu, korporasi secara meyakinkan sedang menentukan masa depan (kecenderungan pengaruhnya bisa mengalahkan negara). Terutama karena ada pergeseran besar kalau pusat inovasi dan penciptaan masa depan bergeser dari universitas ke dunia korporasi.

Perhatikan kecenderungan-kecenderungan yang terjadi di dunia teknologi informasi yang mengubah nyaris semua gaya hidup. Tidak saja cara manusia bekerja dan berbelanja diubah, cara negara dan rakyat berinteraksi pun berubah. Dan, nama-nama yang ada di belakang ini siapa lagi kalau bukan korporasi seperti Microsoft dan perusahaan lain.

Apabila ini acuannya, tidak terbayang wajah peradaban ke depan kalau energi kemajuan dunia korporasi semata-mata hanya didorong oleh keserakahan. Oleh karena itulah kehadiran karya yang mau menerangi korporasi dengan hati seperti buku ini diperlukan. Sekecil apa pun cahaya yang dihasilkan, ia berpotensi menyalakan lilin-lilin lain yang belum menyala.

Sebagaimana karya manusia umumnya yang tunduk pada hukum ketidaksempurnaan, buku ini juga serupa. Aroma Kristianitas terasa sedikit dominan. Halaman depannya ditandai dengan "The 10 Commandments" (Sepuluh Perintah Allah). Cerita kasih menghiasi banyak halaman buku ini. Serangkaian hal yang tidak selalu negatif tentunya. Namun, bisa menjadi penghalang bagi pembaca yang masih mengubur dirinya dalam "penjara" agama.

Tidak banyak orang yang berkarya di dunia spirit yang bisa sejernih Karen Amstrong dan Lex Hixon. Karen Amstrong yang kelahiran Inggris bisa bercerita sama jernihnya ketika ia menulis otobiografi Muhammad sekaligus Buddha. Lex Hixon (kelahiran AS) dalam Coming Home bisa bertutur sama indahnya, baik ketika bercerita tentang Heidegger, Ramakrishna, Ramana Maharshi, Zen, Advaita Vedanta, sampai dengan guru sufi Bawa Muhaiyadden.

Dan, kekurangan ada bukan sebagai awal kehancuran, bukan juga sebagai bahan untuk dijelek-jelekkan. Kekurangan ada sebagai bahan-bahan pertumbuhan berikutnya. Bukankah kesempurnaan semakin mendekat tatkala ada sahabat yang dengan penuh ketulusan mau menunjukkan kekurangan-kekurangan kita?

(Gede Prama, Bekerja di Jakarta, Tinggal di Desa Tajun, Bali Utara)

Teknologi Informasi


Langlang, Cara Baru Membaca Berita

Berkembangnya aplikasi teknologi komunikasi dan informatika semakin memungkinkan seseorang mengetahui informasi secepat mungkin dan tidak perlu lagi menunggu sampai esok. Fenomena ini membuat koran-koran di seluruh dunia mengalami penurunan oplah, terutama karena tidak bisa mengejar kecepatan dalam penyajian berita yang bersifat hardnews.

Namun, tidak serta-merta kehadiran teknologi elektronik itu menjadi ancaman bagi media cetak. Justru sebaliknya, melalui produk, seperti ponsel atau ponsel PDA, bisa diatur untuk saling melengkapi dengan edisi cetak yang hanya hadir sekali sehari, yaitu setiap pagi atau sore.

Menyadari akan perkembangan zaman ini, Kompas pun mencoba memberikan layanan baru dengan diluncurkannya produk layanan yang diberi nama Langlang, Senin (10/9) di Jakarta. Langlang adalah semacam layanan mengakses berita atau informasi menggunakan perangkat ponsel atau ponsel PDA atau ponsel pintar yang sekarang ini sudah sangat umum digunakan.

Pada fase pertama ini akses informasi Langlang masih berupa informasi teks dan foto/gambar, kemudian pada fase berikut bisa menerima berkas audio dan video, bergantung pada penyediaan content. Teknologi micropage memungkinkan berkas berita dikompresi menjadi sangat ringan bagi pengguna ponsel, bahkan lebih ringan dibandingkan dengan teknologi wap ataupun XHTML yang banyak digunakan saat ini.

Setiap berkas berita dikompresi hingga 2 kb-4kb untuk bisa sekali kirim melalui BTS, bahkan foto sebesar, katakan, 147 kb menggunakan micropage bisa dikompresi sampai 3 kb saja. Adapun pada wap dan XHTML yang hanya digunakan untuk aplikasi teks, setiap artikel besarnya masih sekitar 20 kb, yang membuat boros pemakaian data.

Aplikasi ini menjadi komplementer bagi edisi cetak Kompas, karena dapat menyajikan seluruh informasi jurnalistik ataupun komersial. Untuk saat ini, Langlang hanya bisa mengakses content media cetak Kompas, adapun ke depannya bisa berkembang ke semua media di kelompok media ini. Tentu sebagai media yang bersifat mobile, Langlang bisa memberi informasi seperti breaking news.

Mulai peluncuran perdana ini pengguna ponsel yang sudah memiliki aplikasi Langlang akan mendapatkan informasi gratis selama sebulan. Selanjutnya akses content dilakukan dengan kupon elektronik.

Cara mengambil berkas installer aplikasi Langlang mobile news melalui sistem OTA (over the air) adalah dengan mengirimkan SMS ke nomor SMS Gateway 081 7080 8888. Isi SMS adalah Instal Langlang atau Instal Langlang [merek ponsel] atau Instal Langlang [merek ponsel] [tipe ponsel]. Dari jawaban alamat yang dikirimkan balik oleh SMS Gateway, pengguna dapat mengambil installer melalui ponselnya. (AWE)

Mari Menyembuhkan Diri


Susi Ivvaty

Anda punya tujuan hidup? Bagaimana mengingat-ingatnya? Sebaiknya ditulis di "reminder" telepon seluler yang Anda bawa sehari-hari. Biar kalau lupa, tinggal membuka dan membacanya: Ooh, begini toh tujuan hidupku...

Ini memang zaman kontemporer. Hidup bukanlah sesuatu yang dibiarkan mengalir begitu saja, tetapi harus dirumuskan. Semenjak kerangka besar zaman ini adalah produktivitas kapitalisme global, maka tujuan itu adalah hal-hal yang mungkin memang harus punya ukuran produktif bagi sebuah kerangka industrial.

Cara mengingat-ingat tujuan hidup dengan menuliskan di bagian pencatat di telepon seluler tadi diungkapkan seorang peserta training atau pelatihan motivasi diri—suatu kegiatan yang tengah menjamur kini. Berbagai kegiatan pelatihan digelar, agar orang bisa bekerja lebih giat, bicara lebih manjur, dan memimpin lebih cespleng.

Wiwik, sekretaris eksekutif sebuah hotel berbintang di Cirebon, Jawa Barat, mengaku mendapat semangat baru setelah mengikuti training mengenai motivasi yang dipaparkan Jamil Azzaini dari Kubik Training & Consultancy. "Ketika mendengar Pak Jamil bercerita tentang bintang terang, aku termotivasi," ceritanya.

"Bintang terang" yang dimaksud adalah sebuah metode untuk meraih apa yang sungguh-sungguh kita inginkan dan harus selalu diingat. "Bintang terang juga berarti tujuan hidup atau cita-cita yang dituliskan di sebuah buku dan bisa dibaca sewaktu-waktu. Kalau cuma disimpan di otak, bisa lupa," tutur Wiwik.

Maklumlah, ini zaman teknologi. Komputer punya memori, yang bisa lebih diandalkan daripada otak. Wiwik menuliskan, 2010 ia harus bisa menjadi penulis terkenal. "Aku termotivasi untuk menebar epos atau energi positif dan menghindari eneg atau energi negatif," katanya.

Penuturan serupa disampaikan Supriyo, petugas pelayanan Jasa Raharja di Samsat Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Setelah mengikuti pelatihan, ia mengaku mendapat banyak hal positif, terutama memantapkan keyakinan bahwa setiap tindakan positif akan berbuah hal positif. "Sekarang setiap hendak melakukan apa pun, saya harus berpikir sekian kali agar hasilnya benar-benar positif," ujarnya.

Menyembuhkan diri

Tidak hanya soal motivasi diri, saat ini pelatihan penyembuhan (self healing) dan pemusatan pikiran (mind focus) juga banyak ditawarkan. Biayanya jutaan rupiah untuk satu sesi atau beberapa jam saja.

Indah, karyawan swasta di sebuah perusahaan media, mengikuti pelatihan dari True Nature Holistic Healing, dan diajari berbagai cara menyembuhkan diri sendiri. Caranya bisa bermacam-macam, mulai meditasi, memerhatikan napas, dan latihan fisik. Ia mengikuti pelatihan selama 12 jam, dibagi dalam tiga kali pertemuan.

Sudah bisa menyembuhkan diri setelah latihan 12 jam? "Kan sudah ada kurikulumnya. Dan, intinya kan kita harus rajin praktik dan latihan terus. Kalau setelah pelatihan lalu males, ya enggak dapat apa-apa," ungkap Indah.

Dia juga mengikuti pelatihan mind focus selama sehari dari pagi sampai sore hari. Tujuan pelatihan adalah agar orang bisa mencapai apa yang ditargetkan dengan kekuatan pikiran. "Manfaatnya jelas. Aku menjadi lebih sabar, ikhlas, dan pasrah dalam menghadapi masalah. Aku sekarang berbeda dengan empat tahun lalu yang selalu panikan," paparnya mantap.

Pelatihan manajemen tak kalah seru. Seperti diceritakan Rissa Kuswulandari (47), karyawan perusahaan swasta. Tahun ini, ia dua kali "disekolahkan" atas biaya kantor, salah satunya di Dale Carnegie Institute. Pelatihan selama empat hari itu antara lain diisi dengan permainan yang berbau suasana kantor. Misalnya, bagaimana jika Anda dihadapkan pada pilihan untuk menegur atau memecat bawahan yang tak bisa mencapai target. Anda akan diminta menjadi manajer, lalu berganti menjadi pekerja bawahan pada putaran berikut.

Kata Rissa, dengan pelatihan ini ia menjadi lebih mudah menghadapi orang dengan berbagai karakter. "Misalnya, saya jadi mafhum sifat bos yang lebih suka membicarakan segala hal secara langsung, bukan dalam rapat besar. Saya juga tahu bagaimana mengajukan proposal agar diterima bos," ujarnya.

Pribadi berkelimpahan

Ada sebuah ungkapan yang kemudian—bolehlah— disebut sebagai "filosofi" bagi para pelatih maupun peserta pelatihan. Dengan pelatihan, orang menjadi pribadi yang berkelimpahan. Maksudnya, segala pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), dan perilaku (attitude)—disingkat KSA—yang didapat dalam sebuah pelatihan harus dibagikan kepada orang lain agar kita menjadi kaya, berlimpah-limpah.

"KSA itu kalau tidak dibagikan, ya akan habis. Kita menjadi kaya kan karena berbagi," papar Lilla Devi Kurniawan, Sub Division Head Learning & Development PT SMART Tbk. Lilla pernah mengikuti berbagai pelatihan seperti hipnoterapi dan neurolingiustik. "Pokoknya manfaat training luar biasa bagi saya. Pikiran menjadi terbuka," tambahnya bersemangat.

Selain berbagai manfaat luar biasa yang dirasakan para peserta pelatihan tadi, ada satu hal penting lain, yakni membentuk jejaring. Para peserta itu lantas membuat mailing list agar bisa selalu berkomunikasi lewat dunia maya.

Salah satu jejaring yang besar adalah Trainers Club Indonesia (TCI). Anggotanya adalah para karyawan, pelatih, penyedia jasa training, ahli berbagai bidang, dan orang-orang yang tertarik dengan pelatihan. Anggota mailing TCI saat ini mencapai 2.890 orang. "Ini menunjukkan pelatihan sangat diminati," kata Kartika, karyawan bagian diklat perusahaan swasta.

Apakah dengan maraknya kegiatan training itu, berikut banyaknya orang yang ikut serta dengan membayar ratusan sampai jutaan rupiah baik membayar sendiri atau dibayari kantor, lalu kesempatan hidup "berkelimpahan" hanya dimiliki peserta training? Bagaimana orang-orang yang hidupnya berkesusahan? Bagaimana mereka mengembangkan "energi positif"-nya?

Dari dulu ada yang percaya, justru pada kelompok-kelompok bersahaja ini tersimpan banyak kearifan hidup. Pelajaran hidup kadang berserak di desa-desa, di pelosok-pelosok, di lingkungan kiai sederhana, maksudnya: tak selalu di lingkungan berdasi. (Dahono Fitrianto, Frans Sartono)