Saturday, February 2, 2008

Berbijak pada Dunia Digital


Sabtu, 2 Februari 2008 | 07:56 WIB

Fathurrofiq

Di tengah konstelasi budaya informasi, bumi terasa semakin menyempit. Dengan akselerasinya yang tinggi, mesin informasi (baca: TI, teknologi informasi) dapat menjangkau ke pelosok-pelosok negeri, masuk ke dalam kelebat hutan rimba raya.

Radio, TV, koran, majalah, internet menjadi saluran cepat penghubung berbagai belahan bumi dan peradaban antarumat manusia di muka bumi. Bumi yang di zaman Columbus masih dianggap penuh misteri, tak terjangkau, liar, dipisah oleh samudra ganas, saat ini seakan hanya sejangkauan tangan.

Begitu sempit rasanya, seorang pakar budaya posmodernisme dari ITB, Yasraf Amir Piliang, mengilustrasikan kehidupan di muka bumi sebagai Dunia yang Dilipat, sebagaimana laptop yang dilipat pemiliknya. Bagaimana tidak? Koleksi buku perpustakaan London School of Economy, yang bila dijajar menyamai jarak Jakarta-Bogor, dapat dipadatkan dalam kepingan CD (compact disc) atau terjangkau hanya dengan satu sentuhan pada laptop.

Perubahan tradisi belajar

Zaman informasi yang menyediakan digitalisasi telah mengubah secara drastis tradisi belajar dari tradisi lisan ke tradisi cetak dan menjadi tradisi digital. Dalam tradisi lisan, citra belajar digambarkan seorang guru dikelilingi murid-muridnya yang duduk bersila penuh takzim mendengar tuturan-tuturan sang guru. Begitulah yang dilakukan Sokrates ketika mengajar muridnya di Athena, Yunani. Cara serupa dilakukan Isa Al Masih di Jerusalem saat mengajari dua belas muridnya (Al Hawariyuun) ajaran kasih sayang.

Tradisi tuturan lisan berubah drastis setelah Guternberg dari Meinz Jerman berhasil menciptakan mesin cetak. Para murid tidak lagi terikat dengan wibawa oral sang guru, tetapi sebaran buku hasil mesin cetak menjangkau wilayah geografis yang jauh lebih luas daripada jangkauan tradisi lisan.

Tradisi cetak berganti setelah teknologi informasi hadir. Teknologi informasi telah menyediakan gambar, tulisan, suara dalam satu sajian multimedia. Citra seorang pelajar di era ini pun tidak lagi ditandai dengan kebekuan menenggelamkan wajah ke halaman buku, tetapi menghadap ke layar monitor komputer. Citra lebih umum saat ini adalah mengotak-atik laptop di area-area yang ada saluran wi-fi.

Tanggung jawab pedagogis

Perubahan-perubahan itu adalah keniscayaan sejarah dan merupakan amanat kemajuan peradaban manusia. Menghadapi perubahan-perubahan drastis yang tak terduga, guru-guru yang bijak selalu mengajak anak didiknya untuk mewaspadai risiko kemanusiaan yang dibawa perubahan itu.

Yang mereka khawatirkan adalah runtuhnya nilai kemanusiaan anak didik di tengah eforia perubahan budaya. Inilah tanggung jawab pedagogis guru dalam memandang anak didik sebagai pelaku sejarah, bukan obyek sejarah. Tidak heran jika Sokrates menolak tradisi tulis sebagai kultur baru. Dalam bukunya, Phaedrus, Plato sang murid menjelaskan bagaimana gurunya menolak tulisan sebagaimana juga menolak lukisan, ”Sesuatu yang mengerikan tentang tulisan dan kebenaran adalah seperti lukisan. Maksud saya, ciptaan-ciptaan dari seorang pelukis berdiri seperti makhluk-makhluk yang hidup, tetapi apabila Anda menanyakan sesuatu, mereka tetap membisu. Dan begitu halnya dengan tulisan; barangkali Anda berpikir bahwa mereka berbicara seolah-olah mereka memiliki kecerdasan, tetapi bila Anda mengajukan pertanyaan dengan maksud memperoleh informasi tentang apa yang dikatakan, tulisan hanya menyediakan jawaban tunggal” (dalam: Postman dan Weigartner, Mengajar sebagai Aktivitas Subversif, 2001:276).

Sokrates tidak semata-mata menolak tulisan atau lukisan. Efek tulisan dan lukisan yang menghilangkan ruang dialog interpersonal antara guru dan murid itulah yang ditolak. Bagi Sokrates, dialog interpersonal adalah penyambung rasa kemanusiaan.

Jauh berabad-abad ke depan setelah Sokrates, dalam konteks transisi budaya informasi, Jerome Bruner, pakar psikologi pendidikan dari Amerika Serikat, menyuarakan lagi apa yang dikhawatirkan Sokrates. Bruner tidak semata-mata menolak hadirnya teknologi informasi. Namun, efek dehumanisasi pada anak didik yang dibawa budaya informasi itu yang dikhawatirkannya.

Dalam The Culture of Education (1996), Bruner mengingatkan, di tengah dominannya penggunaan teknologi informasi berbasis komputer, dunia pendidikan akan menghadapi budaya baru: kultur komputasi. Menurut dia, komputerisme adalah semacam nalar dan sikap pendidikan yang menjejali anak didik dengan hutan informasi. Laku belajar direduksi menjadi kegiatan menumpuk informasi, tetapi alpa memaknainya, merefleksikan, dan mengaplikasikannya pada hidup berbudaya.

Tantangan guru Indonesia

Dengan dalih itu, hadirnya teknologi informasi di dunia pendidikan Indonesia—seperti internet masuk pesantren atau masuk sekolah di desa—tidaklah mesti disambut melulu dengan sukaria, tetapi juga harus dengan kritis. Setidaknya, para guru dapat menghindarkan para anak didiknya terjebak dalam kultur yang immobile dan tidak reflektif sebagaimana ada pada komputer.

Tanpa kritisisme, alih-alih para guru ”mengajar”, tetapi yang terjadi hanyalah ”sekadar” penumpukan informasi di sesak benak anak didiknya. Kita berharap guru-guru Indonesia memiliki kompetensi pedagogis, profesional, dan sosial yang nyata-nyata bisa dilaksanakan dalam praktik mengajar untuk mengantisipasi efek dehumanisasi teknologi informasi. Tidak sekadar kompetensi di atas kertas sertifikat.

FATHURROFIQ Guru sekolah bertaraf internasional (SBI) mandiri, Al Hikmah, Surabaya

No comments: