Monday, February 18, 2008

Seabad Takdir


Oleh : Zaim Uchrowi

Dalam hujan serta kabut di tengah siang, saya sempat takziah ke makam Takdir. Sutan Takdir Alisjahbana lengkapnya. Saya dulu, sebagaimana kebanyakan kita, mengenalnya cuma sebagai pengarang buku Layar Terkembang. Sebuah karya yang terus akan disebut bersama roman klasik Siti Nurbaya dan Salah Asuhan. Tak lebih dari itu yang kita tahu.

Beberapa orang mengaitkan Takdir dengan kontroversi. Ia dikaitkan dengan 'Polemik Kebudayaan'. Sebuah polemik yang melibatkan para tokoh nasional di tahun 1935-36. Saat itu, Takdir dianggap sebagai budayawan pro-Barat. Ia mengajak seluruh bangsa ini mengadopsi budaya Barat. Barat sudah terbukti maju. Barat telah memimpin dan menguasai peradaban. Maka, kalau mau maju, adopsilah budaya Barat. Itu yang disebutnya solusi buat bangsa. Sebuah bangsa yang telah berabad-abad terjajah ini.

Ajakan Takdir itu mengundang reaksi. Para tokoh pergerakan nasional menanggapi keras. Dr Soetomo, misalnya. Ia menunjukkan halus dan utama budaya Timur. Mengapa harus budaya Barat? Perdebatan berkepanjangan hingga, barangkali, menjadi polemik terkeras dalam sejarah modern kebangsaan Indonesia. Dari polemik itu, Takdir kian terposisikan sebagai 'agen' budaya Barat. Pernikahan Takdir dengan perempuan Jerman, setelah istrinya terdahulu meninggal, kian mempertebal prasangka publik padanya.

Namun, ada yang terlewat dari bahasan soal Takdir itu. Tak banyak yang membahas apa yang melatari pandangan Takdir. Saya juga tak pernah tahu itu, sampai kemudian saya memimpin Balai Pustaka. Sebuah tempat di mana Takdir selalu tersenyum pada saya lewat potret. Dari Polemik Kebudayaan yang dibukukan Balai Pustaka, saya tahu betapa risau Takdir. Ia melihat bangsa ini begitu statis. Begitu kental dengan mental terjajah. Begitu pasrah bangsa pada realitas alam. Itulah yang menjelaskan mengapa kita menjadi bangsa miskin dan kalah.

Saya tersentak dengan pengungkapan Takdir. Realitas masyarakat sekarang tak banyak berbeda dengan masyarakat yang dilihatnya di tahun 1930-an. Yakni masyarakat yang statis, lemah, miskin, hanya bisa pasrah terhadap bencana alam, gemar tangan di bawah, serta mudah diperalat baik oleh kekuatan politik maupun kapital. Mentalitas kita jauh dari mentalitas khalifatullah fil ard yang dituntunkan agama. Lebih setengah abad merdeka, belum cukup signifikan mengubah kita.

Kenyataan ini memperjelas siapa sebenarnya Takdir, dan apa yang dimauinya. Sejak itu saya lebih suka memggunakan tafsir sendiri tentang Takdir. Yakni, bahwa sebenarnya bukan 'Barat' atau 'Timur' yang tengah diperjuangkan Takdir. Ia hanya melecut bangsa ini agar menjadi bangsa dinamis. Bukan bangsa statis. Ia ingin bangsa ini mengendalikan, dan bukan dikendalikan, alam. Ia ingin membebaskan banyak pemimpin publik sampai sekarang.

Takdir juga diidentikkan sebagai seorang sekuler. Tetapi, Takdirlah yang menunjuk dengan jelas apa penyakit pemahaman agama (Islam) yang berkembang di Indonesia. Islam di sini, menurutnya, sangat diwarnai budaya India lama. Budaya yang menghinakan sekelompok manusia, dan memuliakan kelompok manusia lainnya. Itu yang menjelaskan mengapa banyak umat nikmat menjadi 'kawulo' dan gemar mencium tangan orang. Tak sedikit pula para pemegang atribut agama yang suka dicium tangannya.

Padahal, itu bertolak belakang dengan prinsip Islam sebenarnya. Takdir pun menyeru kaum agama: mengapa kalian tidak kembali ke nilai asli Islam yang diajarkan Nabi? Islam yang mengajarkan umatnya menjadi manusia merdeka, rasional, dan menghargai sesama secara setara. Bukanlah Islam nilai yang mengajarkan untuk pasrah pada nasib.

Masih banyak lagi peran Takdir buat membangun Indonesia yang sekarang kita warisi. Dalam membangun bahasa Indonesia hingga layak menjadi bahasa resmi negara salah satunya. Tapi, publik memang cenderung untuk hanya kagum pada mereka yang gampang ditepuktangani. Maka, Takdir pun tak banyak diapresiasi hingga ia terbaring damai di pekarangannya yang asri, di Tugu, Puncak, itu. Saya bersyukur dapat menziarahi seabad setelah Takdir, dilahirkan. Ziarah yang memperkuat tekad untuk menerbitkan kembali buku Polemik Kebudayaan pada Kebangkitan Nasional yang tahun ini juga genap seabad.

No comments: