Monday, February 25, 2008

Nilai Janji yang Terucap


Senin, 25 Februari 2008 | 01:09 WIB

Christina Suprihatin

Sebagai penggambar dan penulis, saya gemar membuat peta dan tulisan mengenai negeri-negeri yang saya karang atau, tepatnya, saya temukan. Barangkali karena saya menjadi bagian dari dua negara yang berbeda, yang dua-duanya saya cintai, namun yang di satu pun saya tidak pernah benar-benar merasa betah….

Demikian bunyi penggalan surat yang dikirimkan Tonke Dragt kepada pembaca di Indonesia terkait dengan peluncuran salah satu bukunya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. De brief voor de koning, karya Tonke Dragt, yang terbit tahun 1962 akhirnya dapat dinikmati publik Indonesia. Penerbit Pena Wormer, yang mengkhususkan diri pada karya penulis Belanda, meluncurkan edisi bahasa Indonesia dengan judul Surat untuk Raja, awal Desember 2007.

Pada tahun 1963—setahun setelah penerbitannya—anugerah buku anak terbaik disabet Surat untuk Raja. Empat puluh tahun kemudian karya itu belum kehilangan geregetnya. Cetakan ke-19 terbit pada tahun 2002. Capaian tertinggi diraih dua tahun kemudian saat buku anak itu dinobatkan sebagai Buku Anak Terbaik di Belanda sepanjang lima puluh tahun terakhir (1955-2004). Suatu pencapaian yang luar biasa dari sebuah karya yang seolah tak lekang dimakan usia. Oplahnya tidak boleh dipandang sebelah mata: sejak 1962, jutaan eksemplar telah terjual dan berbagai toko buku di Belanda setiap tahun menjual lebih dari 15.000 buku.

Cerita dalam Surat untuk Raja berlatar waktu saat para ksatria masih berjaya. Tokoh utamanya adalah seorang pemuda berusia enam belas tahun bernama Tiuri, seorang calon ksatria yang harus menempuh ujian terakhir sebelum diangkat menjadi ksatria. Pada malam menjelang pengangkatan, bersama empat calon ksatria lainnya, Tiuri bertirakat dan menyepi di sebuah kapel di wilayah kerajaan Baginda Dagonaut. Dua puluh empat jam lamanya dia harus menahan kantuk, lapar, dan keinginan berinteraksi dengan orang lain.

Pada malam yang menentukan itu, dia mendengar ketukan di pintu kapel. Seorang lelaki tua misterius meminta pertolongannya untuk menyampaikan sepucuk surat kepada Ksatria Hitam Laskar Perisai Putih. Si lelaki tua menyerahkan surat dan mengatakan bahwa seekor kuda hitam akan membawa Tiuri menemui ksatria yang dimaksudkan. Mengikuti kata hatinya, Tiuri menafikan semua larangan dan mempertaruhkan nasibnya. Menembus gelapnya malam, calon ksatria itu berkuda mengantarkan surat.

Suatu tugas yang teramat berat dan penuh bahaya untuk dilaksanakan. Dalam sekejap dia menjadi barid, seorang pengantar surat. Jalan panjang ditempuh menuju Kerajaan Unawen. Dalam perjalanan Tiuri harus menghadapi Laskar Pusu Pengendara Merah dari negeri Eviellan yang sedang berperang dengan Kerajaan Unawen. Laskar itu berkepentingan mencegah surat itu sampai di tangan Raja Unawen. Tiuri juga harus berhadapan dengan ksatria yang tergabung dalam Pusu Ksatria Kelabu, yang menuntut balas kematian Ksatria Hitam laskar Perisai Putih. Nantinya terbukti bahwa Ksatria Kelabu berada di pihak yang sama seperti Tiuri, mereka membela kepentingan Raja Unawen. Para Ksatria Kelabu menuturkan bahwa Ksatria Hitam Perisai Putih yang terbunuh adalah Edwinem dari Forestera, ksatria Raja Unawen yang paling setia dan digdaya, yang gugur karena dijebak Laskar Pusu Pengendara Merah.

Di pertapaan Menaures, sang petapa memperkenalkannya pada Piak, penunjuk jalan di pegunungan. Pada Piak, Tiuri menemukan sosok seorang sahabat. Rintangan demi rintangan dilalui kedua pemuda dalam melaksanakan tugas mengantar surat rahasia itu.

Nilai kebajikan dalam kemasan sederhana

Kisah Tiuri yang berlatar negeri antah berantah dan bermain di masa yang mengingatkan orang pada Abad Pertengahan patut mendapat acungan jempol. Pendapat pemerhati buku anak di Belanda—yang menilai buku ini sebagai karya abadi yang memiliki semua hal yang semestinya dipenuhi sebuah buku anak yang baik—dapat dibenarkan. Setelah lebih dari dua puluh enam tahun, tidak ada satu nilai kebajikan yang diusung dalam cerita ini ketinggalan zaman.

Unsur fiksi yang dihadirkan menjadikan kejadian dalam cerita tetap terterima sampai saat ini. Dragt berhasil menggabungkan fantasi dan kenyataan, dunia yang diciptakannya terasa begitu nyata. Penggambaran latar tempatnya membuat pembacanya terseret dan mulai membayangkan keindahan hutan dan bengawan, pekatnya malam di hutan atau sulitnya perjalanan melalui pegunungan. Kepiawaiannya menggambar—dia membuat sendiri ilustrasi buku-bukunya—barangkali berperan dalam pembentukan gambaran latar yang memikat. Penggambaran latar bersifat universal sehingga memudahkan pembaca menghayatinya. Struktur cerita yang jelas dengan alur maju pastinya tidak akan menyulitkan pembaca muda menangkap benang merah kisah petualangan ini.

Buku ini mengusung nilai-nilai kebajikan dalam kemasan sederhana. Terkadang pesan yang penuh perenungan diungkap, bukan lewat tindakan heroik para ksatria, tetapi misalnya ujaran tokoh sampiran. Tokoh Tirillo, pelawak penghibur di Negeri Unawen, berulang kali mengemban tugas menyampaikan perenungan itu. ”Seseorang tidak perlu mengusung pedang dan perisai untuk menjadi ksatria” (hal 459). Makna yang terkandung dalam pendapat si badut itu teramat dalam. Atau barangkali yang lebih menarik. Bagian berikut ini tak kalah memikat, saat si pelawak diminta menyanyi untuk menghibur hati, Trililo menolak dan justru mengatakan, ”Aku tidak bisa menghilangkan kesedihan hati kalian. Sekali-kali kau harus merasakan kesedihan agar bisa lebih menghargai kegembiraan. Sama seperti hujan yang mesti turun di antara sinar matahari” (hal 449).

Pemenuhan janji yang telah terucap, kentara ditekankan dalam Surat untuk Raja. Berkali-kali dalam cerita disuguhkan bagaimana tokoh utama dan beberapa tokoh lain jungkir balik berupaya memenuhi janji. Bahwa mereka harus mengalahkan rintangan dan berbagi beban dalam menghadapi berbagai kendala yang menghadang, memperkuat pesan yang hendak disampaikan. Dan bila semua rintangan dan kendala terlewati, tugas dan janji terpenuhi, imbalan yang layak menanti. Dus bukanlah lidah tak bertulang, lain di bibir lain di hati.

Makna persahabatan dijunjung tinggi, bersama teman kesulitan lebih mudah dihadapi, kebahagiaan dan kemenangan menjadi jauh lebih bermakna. Nilai seorang teman sejati diungkap dalam kisah ini, berkorban, menimbang rasa, besar artinya dalam sebuah relasi.

Perjalanan yang dilakukan Tiuri sejalan dengan tema yang sering diangkat Dragt. Untuk menyampaikan surat penting, Tiuri menempuh perjalanan panjang dan melelahkan. Di akhir perjalanan Tiuri becermin dan melihat sebuah sosok baru: seorang calon ksatria telah menjadi ”ksatria” sesungguhnya, seorang pemuda menjadi lelaki dewasa.

Dua ragam dalam satu kemasan

Sungguh bukan pekerjaan mudah untuk menuturkan kembali kisah petualangan Tiuri yang luar biasa ini ke dalam bahasa Indonesia. Dalam mengalihbahasakan Surat untuk Raja, Laurens Sipahelut menggabungkan dua ragam bahasa. Kentara ada upaya dari penerjemah untuk membuat buku ini terterima di kalangan pembaca muda. Ragam keseharian dipilih dan dihadirkan melalui dialog. Kehadiran kata-kata yang tidak ”resmi” seperti enggak, ’lah buset’, ’larinya enggak ada matinya’, tos gambar, ditengarai dapat menjadi ”pencair” keseriusan cerita. Sayangnya, terkadang pilihan kata semacam ini mengganggu keasyikan membaca.

Edisi bahasa Indonesia ini juga berhasil menunjukkan kehebatan Dragt bercerita. Di samping ragam keseharian, Sipahelut menghadirkan ragam tinggi, dengan pilihan kata yang elok. Mungkin saja ini untuk memperlihatkan kedahsyatan kisah petualangan Tiuri. Efek kehadiran kata-kata ”berdaya” seperti barid, biduanda, juak-juak, sipangkalan sangat mencengangkan. Kata-kata yang tidak ”lumrah” dan jarang didengar—untungnya untuk kata semacam itu selalu diberikan penjelasan makna—menimbulkan sensasi keindahan yang luar biasa. Dampak gabungan dua ragam itu menciptakan ”kemegahan” yang terasa begitu ”membumi”.

Sipahelut juga bereksperimen menciptakan kata-kata baru, yang barangkali terasa asing di telinga pengguna bahasa Indonesia, seperti pekuda, mengendala, mencenangkan. Beberapa kata bahkan tidak ditemukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tetapi pemaknaannya mengalir saja. Kenyamanan membaca justru terganggu karena masih banyaknya pekerjaan penyuntingan yang harus dibenahi.

Gembira rasanya menyaksikan bahwa ranah buku anak di Indonesia diperkaya dengan edisi bahasa Indonesia karya Tonke Dragt ini. Di Negeri Belanda, Surat untuk Raja disejajarkan dengan karya besar penulis buku anak kelas dunia seperti CS Lewis The Chronicle of Narnia dan The Lord of the Ring milik JRR Tolkien. Hanya sedikit sekali buku anak karya bahasa Belanda dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia. Untuk menyebut beberapa di antaranya, Perjalanan Menembus Waktu karya Thea Beckman (Teraju, 2005) dan Minoes karya Annie MG Schmidt (Gramedia, 2006).

Petualangan Tiuri belum berakhir, kisah perjalanannya dapat diikuti dalam buku karya Tonke Dragt lainnya. Siapa tahu Pena Wormer atau penerbit lain masih akan menerbitkan edisi bahasa Indonesia petualangan Tiuri berikutnya. Kita tunggu saja.

Christina Suprihatin Pengajar Susastra dan Terjemahan pada Program Studi Belanda FIB Universitas Indonesia

No comments: