Friday, February 22, 2008

GREEN FESTIVAL


Irit Bahan Bakar dan Pemanasan
Jumat, 22 Februari 2008 | 02:16 WIB

Oleh Nawa Tunggal

Di tengah ketidakmampuan menjangkau teknologi tinggi, tindakan sebatas memodifikasi kendaraan supaya lebih irit bahan bakar fosil pun berarti turut andil dalam mengurangi percepatan pemanasan global. Teknologi sarana transportasi di negara maju sudah jauh berkembang dan kita di Indonesia masih jauh tertinggal.

Teknologi bahan bakar di negara-negara maju sudah sampai pada tingkat menggunakan bahan bakar hidrogen dengan limbah senyawa air murni. Air murni ini turut menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca—gas penyebab pemanasan global.

Saat ini para produsen otomotif sudah berusaha menyempurnakan tipe-tipe kendaraan agar semakin hemat dalam konsumsi bensin atau solar. Penggabungan atau hibrid dengan baterai penyimpan listrik juga sudah dilakukan.

Pada konteks mengurangi percepatan pemanasan global, pengganti bahan bakar minyak dari fosil dengan bahan bakar nabati terus diupayakan.

Namun, berpijak pada kenyataan bahwa sarana transportasi yang paling banyak digunakan masih memakai bahan bakar dari fosil—bensin dan solar—maka pengembangan teknologi penghemat bahan bakar fosil tidaklah berlebihan.

Pembakaran bahan bakar minyak dari fosil menghasilkan gas karbondioksida (CO2). Gas ini sudah tidak bisa lagi sekadar dimaknai sebagai salah satu polutan udara. Sebab, gas ini termasuk paling dominan dalam menimbulkan efek gas rumah kaca (GRK) yang terperangkap di lapisan troposfer atmosfer.

Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yang beranggotakan sekitar 3.000 ilmuwan dunia mencatat, konsentrasi CO2 di atmosfer menunjukkan laju percepatan paling tinggi setelah meninggalkan masa praindustri tahun 1900-an.

Data konsentrasi CO2 sebelum masa industri sebesar 278 parts per million/ppm dan pada tahun 2005 mencapai 379 ppm.

Selama 100 tahun terakhir (1906-2005), menurut IPCC, terjadi kenaikan temperatur permukaan bumi rata-rata sebesar 0,74° Celsius. Diproyeksikan, rata-rata kenaikan per dekade 0,2° Celsius.

Proyeksi IPCC itu tanpa menyertakan skenario pengurangan emisi GRK.

Radiasi matahari menembus lapisan atmosfer ke permukaan bumi, efek GRK mengubah gelombang pendek radiasi matahari menjadi gelombang yang lebih panjang. Gelombang panjang ini terhalang GRK sehingga tak dapat dipantulkan lagi ke luar angkasa sehingga menyebabkan permukaan bumi memanas. Fenomena memanasnya permukaan bumi ini disebut pemanasan global (global warming).

Akibat pemanasan global, IPCC menengarai, tutupan gletser (daratan salju) abad XX di belahan bumi utara sudah berkurang 7 persen. Gletser mencair dan permukaan laut pun meningkat 17 cm seabad terakhir.

Optimalisasi pembakaran

Pengurangan produksi CO2menjadi kunci mengatasi percepatan pemanasan global. Salah satu hal yang bisa mengurangi percepatan peningkatan temperatur permukaan bumi adalah dengan melakukan optimalisasi bahan bakar minyak dari fosil atau penghematan.

Salah satu teknologi penghematan bahan bakar fosil ini contohnya yang dikembangkan Unit Pelaksana Teknis Balai Pengembangan Instrumentasi (UPT BPI) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Peralatan yang diberi nama EFT (Electric Fuel Treatment) sudah diproduksi dan didaftarkan patennya dan sudah diekspor ke Malaysia dan Singapura.

”Optimalisasi pembakaran dengan EFT mampu mengurangi emisi atau gas buang pada kendaraan sebesar 15 persen,” kata perekayasa EFT, Hariyadi, dari UPT BPI LIPI yang berkantor di Bandung, Jawa Barat, Kamis (21/2). Menurut dia, EFT yang diciptakan pada 2004 itu menggunakan prinsip intervensi bahan bakar dengan frekuensi dari metode Larmor. Frekuensi ini mampu meresonansi unsur C (carbon) dan H (hidrogen) yang mengalir dari tangki menuju ruang pembakaran di karburator.

Kandungan C dan H yang sudah terpengaruh frekuensi itu memungkinkan terjadi optimalisasi pembakaran. Hasil uji coba menunjukkan sekitar 15 persen emisi gas buang berkurang akibat pembakaran lebih sempurna.

Dari optimalisasi pembakaran, mesin semakin efisien. Dari hasil uji coba sepeda motor Honda Supra saat dipasang EFT seharga Rp 150.000, dapat menjangkau jarak 62 kilometer (km) dari sebelumnya tanpa EFT hanya mencapai 50 km.

Uji coba juga dilakukan pada mobil Honda Grand Civic berdaya jangkau 11 km/lt, setelah dipasang EFT menjadi 16 km/lt. Uji coba lainnya, pada mobil Isuzu Panther dengan bahan bakar solar, ketika dipasang EFT dapat menempuh 14 km. Saat tanpa EFT jenis mobil yang sama hanya bisa menjangkau 10 km/lt. Tambahan tenaga mencapai 3,6 tenaga kuda (HP).

Kota Jakarta dengan kondisi sistem transportasi yang makin macet dan makin semrawut, kini seraya menunggu perbaikan Pola Transportasi Makro dengan bus transjakarta atau monorel yang tak kunjung selesai, mungkin memodifikasi kendaraan pribadi supaya lebih irit menjadi solusinya. Setidaknya, ini bisa mengurangi percepatan pemanasan global....

No comments: