Friday, February 15, 2008

Pengangguran Intelektual




Oleh: Doni Koesoema A

Pengangguran intelektual akan tetap menjadi keniscayaan jika kebijakan politik pendidikan tuli terhadap kritikan dan buta terhadap realitas kehidupan.

Mengangkat kembali wacana kewirausahaan dan menggemakan lagi wacana link and match hanya akan merupakan kebijakan tambal sulam jika pemerintah tidak segera menyadari bahwa kebijakan pendidikan di tingkat dasar dan menengah, yang menjadi fondasi kualitas pendidikan tinggi, lebih banyak mematikan kreativitas dan memandulkan daya cipta guru maupun siswa.

”Kita hidup dalam sebuah ekonomi pengetahuan (knowledge economy) dan sebuah masyarakat berpengetahuan (knowledge society). Ekonomi pengetahuan bertumbuh karena adanya kreativitas dan kemampuan mencipta yang memungkinkan pemecahan masalah secara cerdas (ingenuity). Sekolah dalam masyarakat berpengetahuan harus menciptakan kualitas ini; kalau tidak, masyarakat dan bangsa akan ditinggalkan.” (Andy Hargreaves, 2003)

Hargreaves tepat membidik dua hal yang sering dilupakan dalam pembaruan pendidikan.

Pertama, ekonomi pengetahuan pertama-tama melayani kebaikan individu.

Kedua, masyarakat berpengetahuan mengarahkan dirinya demi kebaikan umum. Sekolah semestinya mempersiapkan anak didik untuk keduanya.

Namun, sebagaimana perilaku di balik logika kapitalis, ekonomi pengetahuan memelihara daya kreatif yang merusak. Ia merangsang pertumbuhan dan kemakmuran, tetapi serentak gelojoh dalam memburu keuntungan dan kepentingan pribadi, serta menghancurkan keteraturan sosial. Maka, sebagai lembaga publik, sekolah harus mampu menumbuhkan solidaritas dan empati pada komunitas yang mampu meredam perilaku tamak kapitalisme.

Sayang, alih-alih mengembangkan kreativitas dan menumbuhkan daya cipta, sistem pendidikan kita tanpa disadari lebih suka memaksakan kurikulum manajemen mikro secara seragam. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), yang seharusnya membuka ruang dan kebebasan bagi terciptanya kreativitas, menumbuhkan kemampuan memecahkan persoalan dan menanggapi masalah baru secara cerdas, tetap terpasung dalam rubrik Standar Kompetensi Lulusan (SKL) dan Standar Isi (SI) yang sifatnya sentralistis.

Alih-alih mengembangkan misi solidaritas dan empati terhadap komunitas, kebijakan pendidikan kita memosisikan guru dan siswa sekadar terampil menjawab soal pilihan ganda. Usaha meraih mutu tinggi bagi pendidikan berubah menjadi obsesi kompulsif akan standardisasi.

Pembelajaran otentik

Apa yang dibanggakan pemerintah sebagai meningkatnya motivasi belajar siswa karena UN sebenarnya sebuah ironi akademis yang memosisikan guru dan siswa sebagai sekadar anjing pavlov. Mereka giat mengajar dan belajar karena ada stimulus dari luar. Padahal, dalam lingkup pedagogi, pandangan behavioris paling kuno ini telah lama ditinggalkan. Jika pendidikan merupakan pemanusiaan, logika anjing pavlov harus dijauhkan dari kinerja pendidikan kita!

Situasi ini diperparah banyaknya sekolah publik yang masih megap-megap, sekadar untuk mencukupi biaya operasional, diisi guru bergaji rendah, sekadar mengikuti SKL dan SI yang sifatnya sentralistis, dan hanya mengajar siswa agar dapat lolos UN. Hampir tidak ada ruang bagi kebebasan dan pertumbuhan. Juga tidak lahir motivasi internal mengajar dan belajar yang dibutuhkan bagi berkembangnya kreativitas dan inovasi.

Kita bisa mengembangkan investasi tinggi dalam pendidikan dengan menciptakan sistem pendidikan yang memiliki visi jauh ke depan dan peka akan dinamika masyarakat. Guru semestinya diberi ruang kebebasan agar dapat meningkatkan keterampilan yang mendukung proses pembelajaran otentik yang menumbuhkan kreativitas dan daya cipta.

Mengusung kembali wacana kewirausahaan dan matching dunia pendidikan dengan dunia kerja—tanpa disertai perubahan radikal dalam kebijakan pendidikan—hanya akan memiskinkan kemanusiaan. Dua wacana itu kian mengukuhkan, siswa hanya sekrup dari mesin uang kapitalisme. Pendidikan tidak dipahami sebagai sarana pemanusiaan dan pembudayaan, tetapi sistem prosedur untuk menyortir orang berdasar keahlian.

Jika selama menjalani masa pendidikan siswa tidak pernah mengalami apa artinya menjadi kreatif, mengalami semangat belajar tinggi karena tumbuhnya motivasi internal belajar, jangan pernah kita berharap semangat kewirausahaan akan tumbuh. Jangan pernah berharap kreativitas dan inovasi akan hadir dalam diri generasi muda intelektual kita.

Cermin bagi pemerintah

Pengangguran intelektual harus menjadi cermin bagi pemerintah untuk berkaca dan berani memperbaiki kebijakan pendidikan yang secara sistemik mematikan kreativitas dan inovasi.

Pendidikan akan mampu menciptakan lulusan yang kreatif, penuh daya cipta, bukan hanya mampu memecahkan persoalan, tetapi kompeten dalam menjawab tantangan zaman dengan lebih kreatif dan adaptif jika mereka dibekali pengalaman untuk itu. Pengalaman seperti ini sulit tercapai jika kurikulum tetap diikat dari pusat dan siswa tidak pernah mengalami pembelajaran kontekstual sejak dini. Asumsi dasar di balik UN adalah dekontekstualisasi pengetahuan.

Kreativitas dan inovasi hanya dapat tumbuh dari jiwa merdeka yang memiliki motivasi internal dalam belajar. Kreativitas dan inovasi tidak pernah terjadi dalam ruang hampa, sebagaimana soal-soal UN. Kemampuan ini bertumbuh seiring dialog dan perjumpaan individu dalam membumikan pengetahuan yang diajarkan. Pengetahuan kontekstual akan menjadi modal pertumbuhan kemanusiaan.

Pengangguran intelektual akan tetap menjadi sebuah keniscayaan jika kebijakan politik pendidikan tuli terhadap kritikan dan buta terhadap realitas masyarakat. Kebijakan UN yang berlaku sejak tingkat SD sampai SLTA hanya akan menyiapkan para mahasiswa yang mampu menjawab soal-soal, tetapi tidak mampu memecahkan persoalan kehidupan. Tidak mengherankan jika banyak dari mereka yang menjadi penganggur.

Doni Koesoema A Mahasiswa Pascasarjana Boston College Lynch School of Education, Boston

 

No comments: