Jakarta, Kompas - Pendidikan holistik yang memberikan keseimbangan pada pengembangan intelektual, fisik, mental, dan spiritual setiap individu dinilai belum jadi semangat pengembangan pendidikan nasional. Padahal, pendidikan diharapkan tak sekadar mencetak anak- anak pintar, tetapi juga terciptanya anak-anak yang berkarakter kuat yang tidak lepas dari sejarah dan kebudayaan Indonesia.
Persoalan ini mengemuka dalam simposium pendidikan yang dilaksanakan Forum Pengajar, Dokter, dan Psikolog bagi Ibu Pertiwi di Jakarta, Kamis (25/10). Tampil sebagai pembicara antara lain Ki Tyasno Sudarto selaku Ketua Majelis Luhur Taman Siswa, Dik Doank yang merupakan presenter sekaligus pelaku pendidikan alternatif, dan psikolog Sartono Mukadis.
Ki Tyasno Sudarto menilai dunia pendidikan Indonesia saat ini lebih menekankan dan menghargai materi serta kepintaran semata. Kondisi ini sangat memprihatinkan masa depan bangsa, yang saat ini masih dilanda krisis multidimensi.
"Perkembangan arah bangsa ini, termasuk juga yang diajarkan dalam pendidikan, sedang menuju tercerabutnya generasi kita dari sejarah dan kebudayaan bangsa. Politik pendidikan nasional harusnya diarahkan untuk kembali menekankan pembangunan karakter yang berakar pada keadaban bangsa," kata Ki Tyasno.
Sartono Mukadis mengingatkan bahwa pendidikan bukan sekadar pengajaran. Khususnya di pendidikan dasar, pendidikan harus mampu mendorong rasa ingin tahu, berpikir eksploratif, berpikir kreatif alternatif, dan bukan sekadar menyangkut memori benar atau salah.
"Kelalaian di pendidikan dasar berpengaruh di pendidikan tinggi dan dunia kerja. Penanaman nilai-nilai yang harus diajarkan mulai pendidikan dasar bukanlah materi pengajaran yang kaku, tetapi sebagai falsafah pendidikan nasional itu sendiri," katanya.
Sementara bagi Dik Doank, pendidikan harus mampu mengajak para siswa menerima perbedaan-perbedaan yang ada dalam kehidupan ini. (ELN)
No comments:
Post a Comment