Sunday, October 7, 2007

Tenaga Kependidikan
Memuliakan Guru

Mohammad abduhzen

Memperbaiki mutu pendidikan harus dimulai dari memuliakan guru. Dan, martabat guru sangat ditentukan oleh kompetensi, dedikasi, dan remunerasinya.

Di bawah gerah udara Jakarta, Kamis 19 Juli 2007, puluhan ribu guru berdemonstrasi. Realisasikan anggaran pendidikan minimal 20 persen; implementasikan program sertifikasi guru; dan tinjau ulang ujian nasional (UN) sebagai penentu kelulusan. Itulah butir-butir tuntutan mereka.

Seperti biasa, Wakil Presiden Jusuf Kalla langsung merespons bahwa Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) tidak adil karena 20 persen dari APBN itu tidak termasuk gaji guru. Lagi pula, lanjutnya, Mendiknas belum siap dengan program utuh jika anggaran tersebut dipenuhi saat ini. Tentang UN, Jusuf Kalla yakin bahwa itu adalah cara tercepat untuk memacu semangat belajar, dan mulai tahun ini bahkan diberlakukan untuk tingkat SD (Kompas, 23 Juli 2007).

Demonstrasi para guru memang tidak membahayakan eksistensi dan citra pemerintah. Jangankan guru yang lugu—yang tak bermaksud agar Presiden di-impeach, meski ada dua keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan UU APBN (terkait anggaran pendidikan 20 persen) tidak sesuai dengan UUD 1945 pun, pemerintah tetap bergeming.

Oleh sebab itu, barangkali Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merasa cukup dengan mengutus empat menterinya menyambut perwakilan pendemo. Maka, selesailah urusan penting pendidikan dengan penjelasan impulsif Wapres dan sikap diam Presiden. Suara guru itu pun segera lindap.

Dalam strategi dan kebijakan pembangunan bangsa, pendidikan belum menjadi agenda nasional yang utama (Amien Rais, Kompas, 26 Juli 2007). Perhatian pemerintah lebih tercurah pada persoalan-persoalan simptomatik, instan, dengan perubahan-perubahannya yang kasat mata.

Bidang pendidikan—tak seperti bidang lainnya—tak ada komisi, staf khusus, penasihat, atau unit kerja yang dibentuk untuk membantu presiden. Alhasil, praktis kebijakan pendidikan kita mengandalkan ide dan penalaran para pejabat/birokrat yang seringkali merasa benar sendiri dan banyak berbuat, namun senyatanya tak mem

ecahkan problem mendasar pendidikan, di antaranya nasib guru yang semakin tidak menentu.

Pudarnya citra guru

Martabat guru, harus diakui, semakin jatuh. Status sosial mereka lebih rendah daripada bintara pembina desa alias babinsa, mantri, atau bidan desa. Profesi mereka tak seseronok dokter, notaris, atau insinyur. Pudarnya citra ini disebabkan oleh beberapa kondisi dan faktor.

Pertama, profesi guru tidak bergengsi. Ketika Pemerintah Belanda pada pertengahan abad ke-19 mulai mendirikan sekolah kejuruan (vakscholen), anak kalangan priyayi dan orang pribumi kaya lebih tertarik kepada "Sekolah Radja" (Hoofdenscholen/Sekolah Calon Pegawai Sipil Pribumi) ketimbang masuk Sekolah Pelatihan Guru Pribumi (Kweekschool). Sebab, guru dianggap sebuah karier yang tidak prestisius dan menjanjikan.

Kecenderungan itu tampaknya terus berlanjut sehingga kebanyakan siswa berprestasi tidak tertarik masuk lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK). Semua ini berdampak buruk pada kompetensi guru, ditandai oleh rendahnya penguasaan materi dan metodologi pembelajaran, kurangnya kematangan emosional dan kemandirian berpikir, serta lemahnya motivasi dan dedikasi. Selanjutnya, pekerjaan sebagai guru tertinggal dan tidak seistimewa profesi lain. Status profesionalisme guru baru diundangkan tahun 2003 dan dicanangkan pada 2004.

Kedua, dalam masyarakat pseudo modern seperti Indonesia, penghormatan terhadap sesama lebih didasarkan pada perolehan kuantitas kasat mata seperti mobil mengilap, rumah megah, dan pakaian mentereng, ketimbang kualitas abstrak seperti kecerdasan, integritas, dan pengabdian seseorang. Sebagai kaum termarjinalkan, guru kita miskin dari simbol-simbol duniawi tersebut.

Tingkat sosial-ekonomi mereka pun rata-rata menengah ke bawah. Kebijakan pemerintah, sejak orde baru hingga era reformasi kini, belum secara signifikan memperbaiki keadaan ini.

Ketiga, pudarnya martabat guru diperparah oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kurang dapat diakses oleh mereka. Perkembangan ilmu keguruan dan ilmu kependidikan, juga inovasi-inovasi model pembelajaran, hampir tidak menyentuh kinerja guru kita. Akhirnya praktik kelas menjadi "ritual" usang yang tak tersentuh pembaruan selama bertahun-tahun.

Keempat, jajaran birokrasi kependidikan turut menindas jatidiri guru, dan "organisasi profesi" mereka kurang mengadvokasi dan tidak melindungi hak-hak anggotanya.

Pudarnya citra guru telah menurunkan kualitas pendidikan kita, dan jalan utama meningkatkan martabatnya adalah dengan memperbaiki kompetensi dan remunerasinya.

Pendidikan profesi

Gagasan pendidikan profesi guru semula dimaksudkan sebagai langkah strategis untuk mengatasi problem mutu keguruan kita karena perbaikan itu tidak akan terjadi dengan menaikkan remunerasi saja. Oleh sebab itu, pendidikan profesi diperlukan sebagai upaya mengubah motivasi dan kinerja guru secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.

Tetapi sangat disayangkan implementasi gagasan pendidikan profesi lebih ditekankan pada uji sertifikasi (terutama untuk guru dalam jabatan). Padahal, Pasal 11 UU Sisdiknas mensyaratkan untuk memperoleh sertifikat pendidik tidak lain adalah kualifikasi S1/D4 dan menempuh pendidikan profesi guru.

Program uji sertifikasi yang tengah dijalankan pemerintah dengan mengandalkan penilaian portofolio, dipilih oleh pemerintah kabupaten/kota. Bahkan akan dibuka peluang bagi mereka yang tidak berkualifikasi S1/D4. Kenyataan ini bukan saja tidak menghasilkan perbaikan mutu, tetapi akan memunculkan masalah birokratisasi yang pada akhirnya mempersulit guru.

Program sertifikasi tidak boleh dilepaskan dari proses pendidikan profesi, dan tidak seharusnya dipandang sekadar cara memberikan tunjangan profesi. Tunjangan profesi hanyalah insentif agar para guru mau kembali belajar, sedangkan perbaikan kesejahteraan guru harus diberlakukan kebijakan lain tentang remunerasi.

"Ada piti (uang) muncul dignity," seloroh seorang guru. Memang persoalan ekonomi yang dihadapi guru sangat memengaruhi kinerja dan citranya di dalam masyarakat. Melalui tunjangan profesi kesejahteraan guru sulit diperbaiki karena mensyaratkan adanya kualifikasi dan sertifikat pendidik.

Penghasilan guru seharusnya diperbaiki--agar profesi ini menjadi kompetitif--dengan menaikkan tunjangan fungsional secara progresif dan mengoptimalisasi peran pemerintah daerah dalam pemberian insentif seperti yang telah dilakukan oleh Pemda DKI Jakarta sekarang ini. Dengan demikian perbaikan remunerasi terlaksana secara merata dan proses sertifikasi tidak didesak untuk mengambil jalan pintas.

Memuliakan guru ala AS

Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) sengaja merekrut Barbara Morgan (55), seorang guru—menggantikan posisi (alm) Christa McAuliffe yang juga guru, sebagai satu dari tujuh awak pesawat ruang angkasa Endeavour. Pelibatan guru dalam proyek canggih yang elitis dan sangat prestisius itu didorong oleh kesadaran tentang pentingnya sisi edukasi, penyebarluasan semangat ilmiah dan eksplorasi bagi generasi penerus.

Pada tahun 1957, ketika Sputnik (Rusia) sukses diluncurkan, masyarakt Amerika Serikat heboh karena merasa tertinggal. John F Kennedy yang kala itu masih Senator bertanya, "What's wrong with our classrooms?" Sejak itu pendidikan di Negeri Paman Sam berubah secara mendasar.

Begitulah guru dan pendidikan di negara maju dan ingin maju, senantiasa berada pada top of mind para pemimpin dan masyarakatnya. Bangsa Indonesia perlu belajar lebih banyak lagi.

Mohammad Abduhzen Sekretaris Institute for Education Reform (IER) Universitas Paramadina; Doktor Filsafat Pendidikan

No comments: