Friday, June 8, 2007

Air Mata (Guru) Bangsa

Doni Koesoema A

Ibu Pertiwi berduka, bahkan menangis lagi. Mengapa? Negeri ini tidak lagi dapat menghargai air mata guru, air mata bangsa. Air mata guru ini adalah air mata kejujuran dan kebenaran. Jika yang menangis adalah guru bangsa, yaitu mereka yang melahirkan generasi yang cerdas, taat pada kebenaran dan keadilan, air mata mereka adalah bencana. Jeritan mereka adalah perjuangan demi tegaknya keadilan.

Korupsi, kesewenang-wenangan, dan pelecehan martabat manusia merajalela karena kejujuran ditendang agar minggir dan kebenaran disingkirkan. Dengan kultur ini, ketika seorang guru mencoba jujur dengan mengikuti nuraninya, ia pun akan disingkirkan dan martabatnya dilecehkan. Mengapa? Sebab, kejujuran dan kebenaran adalah musuh besar manipulator kebenaran dan pembeli keadilan.

Konsekuensi logis

Masyarakat kita telah telanjur gemar memuja kebohongan dan suka menelikung keadilan. Intimidasi, ancaman, dan teror adalah konsekuensi logis dan harga yang harus dibayar oleh para guru berintegritas yang tidak menginginkan anak didik maupun bangsa ini terpecah-belah dan terjerumus dalam cara-cara mendidik yang sesat. Untuk ini, para guru harus tetap tegar, kalau perlu merapatkan barisan, sebab mereka ada di jalan yang benar.

Ironi yang dialami para guru pembongkar kecurangan ujian nasional (UN) kian meyakinkan, menjadi guru di zaman sekarang membutuhkan mental baja. Namun, lebih dari itu, yang dibutuhkan adalah kesetiaan pada kebenaran dan keadilan. Itulah hakikat kejujuran yang harus disuarakan dalam karya pendidikan mereka. Mereka telah berusaha untuk itu.

Mungkin para penguasa lupa, kebenaran itu ada bagi dirinya sendiri. Mereka tidak dapat memanipulasinya sebagaimana mereka mampu mengontrol fenomena alam. Teguh akan kebenaran adalah fenomena manusiawi yang dasarnya adalah keyakinan, bukan keinginan untuk menguasai. Sebab, "kebenaran itu akan tetap benar seandainya semua orang berpikir sebaliknya", begitu kata penyair besar Spanyol Antonio Machado. Ia tetap akan benar tanpa rekayasa. Inilah sesungguhnya yang menjadi tugas berat para pendidik, yaitu memperkenalkan anak didik akan nilai-nilai kebenaran, kejujuran, dan keadilan agar mereka dapat mempraktikkannya.

Kebenaran, kejujuran, dan keadilan adalah jiwa dari pengetahuan, semangat dasar tiap reksa pendidikan. Tanpa kebenaran, manusia jatuh pada subyektivisme dalam mengetahui dan pengetahuan bisa dimanipulasi. Bom atom di Jepang adalah contoh kebenaran pengetahuan dimanipulasi untuk menghancurkan. Tanpa keadilan, pengetahuan yang dalam dirinya menyimpan kekuasaan hanya akan menindas mereka yang lemah, tak berdaya, dan tersingkirkan.

Namun, kejujuran bisa rapuh di muka hukum saat keadilan dimanipulasi dengan kekuasaan. Kejujuran bisa berubah menjadi penindasan dan ancaman. Kebenaran bisa menjadi tuduhan pencemaran. Keadilan bisa menjadi bulan-bulanan pemegang kebijakan dan kekuasaan. Itulah yang kini sedang dialami para guru pembongkar kecurangan UN. Mereka secara struktural dilengserkan dan secara psikologis dilemahkan. Bahkan, masa depan mereka (anak dan istri/suami) pun dipertaruhkan.

Arogansi kekuasaan

Dalam dirinya, kekuasaan adalah netral. Ia bisa menjadi berkah saat para pemimpin menggunakannya secara bijak demi melindungi pihak-pihak yang lemah. Namun, ia bisa jahat, sebab bisa digunakan untuk melibas dan menindas mereka yang lemah, miskin, dan tidak berdaya.

Karena ketidakseimbangan kekuasaan yang sifatnya natural inilah, masyarakat memerlukan hukum. Hukum dan keadilan ada untuk melindungi mereka yang tanpa daya, yang mudah ditindas kekuasaan. Tepat jika pendiri bangsa mendefinisikan negara ini sebagai negara hukum, bukan negara yang didirikan di atas kekuasaan.

Namun akhir-akhir ini, dunia pendidikan kita penuh arogansi, melecehkan kebenaran, kejujuran, dan keadilan! Arogansi jajaran Depdiknas yang abai terhadap nasib dan perlindungan bagi para guru pembongkar kecurangan UN menunjukkan, mereka yang diberi kewenangan untuk melayani rakyat negeri ini lebih gemar menggunakan kekuasaan daripada kesediaan melindungi yang lemah dan tersingkirkan. Kekuasaan telah berubah menjadi sarana penindasan.

Air mata bangsa

Air mata guru adalah air mata bangsa. Nasib para guru yang membongkar kecurangan UN adalah representasi kepedihan jutaan guru lain yang masih memiliki nurani. Kepada mereka, kita masih bisa mengharapkan agar kebenaran, kejujuran, dan keadilan menjadi pilar utama pendidikan. Tanpa tiga pilar dasar ini, kita mendirikan bangunan pendidikan di atas fondasi pasir yang segera runtuh bila diterpa angin kemajuan dan teknologi.

Para guru adalah pendidik dan pengajar bangsa. Meminjam ungkapan Parker J Palmer, mendidik dan mengajar adalah "menciptakan sebuah ruang di mana ketaatan pada kebenaran dipraktikkan" (1993:69). Sebelum kebenaran dipraktikkan, tidak akan terlahir pendidikan yang otentik.

Komunitas Air Mata Guru telah memberi ruang-ruang bagi kebenaran melalui kejujuran yang mereka wartakan. Namun, pengurus negeri ini tidak pernah memahami makna air mata dan penderitaan itu bagi lahirnya generasi baru yang cerdas, taat pada kebenaran, kejujuran, dan keadilan. Mengelola pendidikan tanpa kejujuran dan keadilan akan semakin menjerumuskan bangsa ini pada kehancuran.

Semoga Ibu Pertiwi tidak berlama-lama bersedih dan air matanya jangan menetes lagi. Semoga negeri ini dapat menghargai air mata guru, air mata bangsa. Semoga air mata dan penderitaan para guru itu menjadi tanda lahirnya kembali kejujuran, kebenaran, dan keadilan dalam dunia pendidikan yang dirindukan oleh mereka yang masih memiliki nurani.

Doni Koesoema A Mahasiswa Jurusan Pedagogi Sekolah dan Pengembangan Profesional, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Kepausan Salesian, Roma

No comments: