Monday, June 25, 2007

Energi Nuklir Belum Bangkit

Fabby Tumiwa


Tajuk rencana Kompas "Renaisans Energi Nuklir", 9 Juni lalu cukup menyentak ketika pemberitaan harian ini justru pada aksi penolakan PLTN di Jepara. Sampai-sampai, dalam salah satu diskusi lewat mailing list, seorang mantan pejabat senior Badan Tenaga Atom Nasional menyatakan senang sekaligus memuji Kompas. Mungkin dukungan tersirat Kompas terhadap PLTN melegakan sejumlah kalangan yang sedang getol menyosialisasikan PLTN, apalagi setelah mendapatkan dukungan anggaran APBN.

PLTN memang sedang naik daun. PLTN dipersepsikan sebagai solusi terhadap isu keamanan energi dan pemanasan global. Industri nuklir bisa menatap masa depan dengan lebih optimistis, setelah dua dekade lebih sepi pesanan. Di Amerika Serikat tidak ada pesanan reaktor baru sejak 1979. Namun, apakah PLTN benar-benar bangkit kembali (renaisance) setelah terpuruk lama? Inilah yang harus dikaji dengan cermat.

Kalau dilihat lebih jeli, Eropa dan AS memiliki tradisi dan teknologi nuklir, tetapi pembangunan PLTN di sana belum menunjukkan kebangkitan. Konstruksi PLTN beberapa tahun terakhir hanya dominan di beberapa negara Asia: China, Korea Selatan, Taiwan, India, Pakistan, dan Jepang, yang memang sudah lama mengembangkan PLTN. Kalau dianalisis, dorongan utama negara-negara tersebut membangun PLTN, saya menemukan dua hal utama: pertama, negara-negara tersebut memang tidak memiliki sumber daya energi yang cukup sehingga PLTN merupakan pilihan pokok untuk memasok kebutuhan energi. Kedua, pengembangan PLTN terkait dengan pengembangan senjata nuklir.

Sementara itu, di Eropa, sejumlah negara yang dulu mengembangkan PLTN masih tetap emoh membangun yang baru walaupun Eropa memiliki ketergantungan pasokan gas dari Rusia dan minyak dari Timur Tengah dan Afrika. Hal ini tidak menyurutkan langkah Jerman melanjutkan program penutupan seluruh PLTN-nya hingga 2020. Swedia yang terkenal disiplin dalam pengoperasian PLTN juga tidak merencanakan pembangunan PLTN baru. Inggris setelah tidak ada pembangunan PLTN baru selama 10 tahun terakhir ingin menghidupkan program PLTN walaupun perusahaan nuklir milik negara, BNFL, sebenarnya telah bangkrut dan disubsidi habis-habisan oleh pemerintah, tetapi terganjal dengan keputusan pengadilan tinggi Februari 2007, yang menyatakan rencana pembangunan PLTN terbukti menyesatkan, cacat secara serius, jelas-jelas tidak memadai, dan tidak adil (BBC, Nuclear review was misleading, 15 Februari 2007).

Keputusan pengadilan tinggi ini keluar setelah terbukti ada kongkalikong antara pejabat pemerintah dan industri nuklir dalam penetapan kebijakan energi. Di Eropa, pembangunan PLTN hanya ada satu unit di Finlandia (Olkiluto) yang disubsidi oleh Perancis karena merupakan pesanan pertama reaktor generasi III hasil pengembangan perusahaan nuklir Perancis, AREVA. Kemungkinan reaktor yang sama akan dibangun di Flamanville, Perancis, akhir tahun ini atas pesanan Electricite de France (EdF).

Disubsidi

Adapun di AS, tahun 2002 pemerintah Bush meluncurkan program Nuclear Power 2010 dengan fokus pada komersialisasi reaktor generasi III+. Program ini didukung oleh US Energy Policy Act 2005 (Epact 2005). Berdasarkan UU ini Pemerintah AS memberikan tiga bentuk subsidi bagi industri nuklir: tax production credit sebesar 18 dollar AS/MWh sampai 125 juta dollar AS per 1.000 MW, ketetapan untuk mendapatkan jaminan sampai 80 persen biaya proyek oleh pemerintah federal dan, jaminan risiko (risk insurance) sebesar 500 juta dollar AS untuk dua unit pertama dan 250 juta dollar AS untuk unit 3-6. Jaminan ini akan dibayarkan jika keterlambatan pembangunan bukan disebabkan oleh penerima lisensi. Berbagai subsidi ini membuat keekonomian PLTN lebih baik karena sejumlah biaya dan risiko investasi ditanggung oleh konsumen dan publik AS. Tanpa insentif dan berbagai subsidi dari Pemerintah AS diragukan kalau perusahaan listrik mau membangun PLTN baru.

Belum ada pembangunan

Walaupun demikian, hingga sekarang toh belum ada pembangunan PLTN baru, kecuali PLTN lama yang diperpanjang usia dan dinaikkan dayanya (uprating). Komisi Pengaturan Nuklir AS (Nuclear Regulatory Commission/NRC) memperkirakan pada 2007-2009 akan ada 19 permohonan untuk membangun 26 unit PLTN baru walaupun belum tentu seluruhnya mendapatkan izin NRC. Kalaupun mendapatkan izin, pembangunan PLTN tidak akan dimulai sebelum 2010 dan beroperasi sebelum 2014. Juga tidak ada jaminan kalau perusahaan listrik yang mengajukan permohonan dan disetujui akan membangun PLTN baru kelak. Oleh karena itu, renaisans PLTN di AS masih harus dibuktikan waktu.

Membangun PLTN seharusnya didasarkan pada kebutuhan dan analisis risiko, bukan latah, apalagi ikut-ikutan. Berbagai pertimbangan dan perhitungan harus dilakukan jauh-jauh hari. Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) menyatakan PLTN adalah teknologi yang berisiko dan mahal. IAEA merekomendasikan sejumlah tahap dan proses sebelum sebuah negara membangun PLTN.

Sebelum keputusan politis go nuclear dibuat, terlebih dulu harus ada penyampaian informasi yang benar dan konsultasi publik (bukan sosialisasi), termasuk mendengar pandangan dan masukan dari para ahli. (IAEA, Basic Infrastructure for a Nuclear Power Project, 2006). Seluruh masukan dan pendapat menjadi dasar pemerintah untuk memutuskan go or not go nuclear.

Mengapa? "Go nuclear ibarat menandatangani kontrak Faust (Faustian bargain). Berdasarkan kontrak itu kita akan memperoleh tenaga elektrik yang dihasilkan fisi inti-inti fissile, seperti U235. Sebaliknya, kita harus terus-menerus menjaga dengan disiplin yang ketat agar PLTN tetap aman dari kecelakaan, bencana alam, dan terorisme.

" Dengan go nuclear, kita bagaikan Faust yang menjual jiwa," kata fisikawan arif, Liek Wilardjo, belum lama ini./kompas 250607

Fabby Tumiwa Peminat Isu Energi dan Lingkungan; Ketua Institute for Essential Services Reform, Sebuah Lembaga Kajian Ekonomi Energi dan Lingkungan di Jakarta

No comments: