Pendidikan Islam sebagai alternatif |
|
Sebuah lembaga konsultan pendidikan di Singapura, The Political and Economic Risk Consultancy, dalam penelitiannya menyatakan bahwa sistem pendidikan Indonesia berada di urutan 12 dari 12 negara Asia. Level ini lebih rendah dari level Vietnam. |
Bahkan, hasil penelitian UNDP terakhir menunjukkan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia menduduki urutan ke-119 dari 174 negara. Urutan ini jauh dibandingkan dengan Singapura (urutan 24), Malaysia (61), Thailand (76) dan Filipina (77) Dari data tersebut, diakui atau tidak, pendidikan di negara berkomunitas muslim terbesar di dunia ini, telah menghasilkan SDM yang kosong kualitas sekalipun telah berganti aparat birokrat dan orde pemerintahan. Harapan kian tipis Harapan untuk mendapatkan sekolah bermutu pun kian menipis seiring dengan krisis ekonomi di negeri ini. Terbukti, dengan persentase jumlah masyarakat miskin semakin bertambah dari tahun ke tahun. Di Wonogiri saja, dilaporkan SOLOPOS (8/6), jumlah keluarga miskin meningkat menjadi 125.417 keluarga, yang terdiri atas 51.455 dalam kategori miskin sekali, dan 73.962 dalam kategori miskin. Di Jawa Tengah, berdasarkan data Aptisi, tiap tahun lulusan SMA berjumlah kurang lebih 219.000 orang. Dari jumlah itu, 69.000 orang meneruskan ke universitas. Padahal, di Jawa Tengah terdapat 151 perguruan tinggi swasta (PTS) yang mampu menampung sekitar 79.000 orang - 85.000 orang dan saat ini hanya kurang lebih 15% lulusan SMA yang melanjutkan ke universitas, sebebihnya masuk dunia kerja. Di Ciamis, sekitar 16.000 siswa SD, SLTP dan SMA terancam drop out. Mereka yang mampu bersekolah belum tentu mendapatkan pendidikan berkualitas. Hal lain yang masih menyesakkan dada kita adalah hasil output pendidikan (baca: kualitas budi pekerti siswa) yang memprihatinkan. Tawuran, pencurian, kekerasan, dan pergaulan (seks) bebas terjadi berulang-ulang dan terus meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan data Direktorat Bimbingan Masyarakat Polda Metro Jaya, pada 2000, kasus tawuran antarpelajar ada 197, pada tahun berikutnya 123 kasus, dan pada tahun kemarin tercatat 134 kasus. Pelajar tewas 28 orang, pelajar yang luka berat 31 orang. Dan yang lebih mencemaskan lagi pelajar mulai berani melakukan kekerasan seperti penodongan, pembajakan kendaraan umum, merampok penumpang dan tidak segan melukai korbannya. Ini tragedi pendidikan modern, yang merupakan bukti bahwa sistem yang kita anut tidak mampu memberikan kesejahteraan hidup umat, di mana proses sosial yang dihasilkan pendidikan modern lebih bersifat sekuler, jauh dari jangkauan nilai-nilai keagamaan. Meski harus diakui, upaya perbaikan yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah dalam membenahi sektor pendidikan juga tidak kurang. Pembenahan kurikulum, rencana peningkatan anggaran pendidikan nasional, pendidikan gratis untuk semua adalah salah satunya. Sayangnya, hal tersebut belum mampu menutupi borok pendidikan di negara ini. Kurikulum berubah-ubah Mahalnya biaya pendidikan, sulitnya masuk lembaga pendidikan, dibatasinya peserta didik pada waktu tertentu, kurikulum yang berubah-ubah, dipisahkannya ilmu agama dan ilmu-ilmu umum serta sedikitnya mata pelajaran yang berbau agama, justru akan menghasilkan orang-orang yang berorientasi pada hal-hal yang bernilai materialistik, jauh dari tujuan pendidikan yang sebenarnya. Memang dunia pendidikan modern telah mampu memberikan ilmu, tapi gagal mempersiapkan kader-kader yang dibutuhkan umat dan bangsa. Inilah yang dirasakan Sayyed Qutb, petinggi Ikhwanul Muslimin, yang dulunya praktisi pendidikan nasional di Mesir, ketika Pemerintah Mesir memintanya melakukan riset pendidikan di Amerika Serikat (AS). Sistem pendidikan sekuler, output pendidikan yang berorientasi pada materi, jauh dari nilai-nilai agama, rusaknya moral, etika dan sopan santun, pergaulan bebas serta tingginya angka kriminalitas, membuatnya berpikir ulang untuk menjadikan pendidikan ala Barat, yang diagung-agungkan sebagian kalangan pada waktu itu, diterapkan di negerinya, Mesir. Yang pada akhirnya justru menjadikannya vis a vis dengan Sadat, petinggi pemerintahan pada waktu itu (al Hayat, 2003). Lantas, apa yang mesti dilakukan? Bukankah pendidikan merupakan sakaguru pembangunan dan keberhasilan suatu bangsa? Jika anak bangsa tidak dapat menikmati pendidikan yang layak, maka bagaimanakah gambaran generasi yang akan muncul di masa mendatang? Lantas bagaimanakah Islam memandang dunia pendidikan? Pendidikan dalam Islam ditujukan untuk membentuk manusia berkepribadian Islam. Kepribadian yang dimaksud adalah menjadikan Islam sebagai asas bagi pemikiran dan kecenderungan jiwa. Atau, dengan bahasa yang lebih familier disebut akhlak. Dalam satu riwayat dikatakan, tegaknya sebuah bangsa ditentukan oleh akhlaknya, jika ia sudah tak terdapat lagi di sana, hancurlah ia. Setiap muslim yang telah mencapai usia mukalaf atau balig, wajib untuk memahami agamanya terutama hal-hal yang dibutuhkan dalam kehidupannya karena ia diperintahkan untuk menyesuaikan semua perbuatannya sesuai dengan perintah dan larangan Allah SWT. Dan belajar mengenai hukum yang dibutuhkan seorang muslim dalam kehidupannya bersifat wajib ‘ain. Pada hakikatnya, asas pendidikan Islam adalah akidah, karena ia merupakan asas bagi kehidupan muslim. Dalam memperlajari ilmu pengetahuan tidak boleh kosong dari keimanan kepada Allah SWT. Kurikulum pendidikan diarahkan untuk membekali akal tentang akidah maupun hukum-hukum Islam dan berbagai ilmu pengetahuan yang ada. Jadi arahannnya adalah untuk membentuk manusia berkepribadian Islam dengan memberikan modal pengetahuan yang menunjang. Konsep Islam Inilah yang coba dipopulerkan Ismael al Farouqi dan Louis Lamya al Farouqi dengan islamisasi ilmu pengetahuan. Karena konsep pendidikan Islam adalah belajar untuk diamalkan. Praktisnya ada dua hal: Pertama, rekonstruksi, dilakukan dengan membongkar persepsi pemikiran yang salah secara menyeluruh sampai ke akarnya, kemudian membangun kembali konsepsi pemikiran yang benar. Kedua, konstruksi, yakni menyusun suatu persepsi pemikiran yang kokoh dengan mengoptimalkan unsur-unsur kekuatan berpikir yang akan medorong kecenderungannya untuk beramal. Kondisi ini akan mewujudkan generasi-generasi pewaris Islam yang telah terdidik dengan pembinaan yang kuat sejak dini (Atlas Budaya Islam, 1998) Islam telah menetapkan pendidikan dikategorikan sebagai kebutuhan pokok (primer) bagi setiap muslim dan manusia keseluruhan. Jadi, upaya menghalangi seseorang dalam mendapatkan pendidikan adalah tindakan kemungkaran. Dalam hal ini, Islam memberikan solusi, yakni mewajibkan negara berperan serta secara aktif dalam menyelenggarakan pendidikan gratis dengan tanpa mengabaikan kualitas. Bukan hanya dari sisi murah dan kualitas pendidikan saja yang ditekankan Islam, akan tetapi juga kesejahteraan para pendidik. Contoh, apa yang dilakukan Khalifah Umar bin Khattab yang menugaskan tiga orang guru untuk mengajar baca tulis penduduk Kota Madinah dengan gaji 15 dinar setiap bulannya dengan asumsi satu dinar= 4,25 gram emas. Katakanlah untuk satu gram emas murni seharga Rp 180.000, maka setiap bulan para pendidik itu mendapatkan gaji kurang lebih Rp 11.475.000. Gambaran di atas sangat kontras dengan sistem pendidikan di negeri ini, di mana pemerintah menjual pendidikan kepada warganya, sementara penghargaan yang diberikan kepada tenaga pengajar mulai dari SD sampai perguruan tinggi masih jauh dari layak. Gaji seorang guru besar yang telah mengabdi selama 20 tahun hanya Rp 2 juta per bulan termasuk tunjangan jabatan fungsional. Jika kita meninjau sejarah dunia Islam, kita menemukan kondisi dunia pendidikan yang ideal dan telah menghasilkan generasi Islam terdidik yang menguasai berbagai disiplin ilmu. Ibnu Sina, contohnya, seorang intelektual besar di Abad Pertengahan yang memberikan kontribusi abadi bagi dunia kedokteran, matematika, astronomi dan terkenal pula sebagai Bapak Geologi. Kondisi seperti di atas akan terwujud bila kita sebagai umat Islam menerapkan sistem pendidikan Islam di mana negara adalah pihak yang paling bertanggung jawab mengurus kebutuhan rakyatnya termasuk kebutuhan pendidikan. Satu hal yang perlu kita ketahui, hal-hal semacam itu masih terawat dan terjaga rapi di Iran, yang notabene penganut Syiah, yang kadang baik kita, penganut sunni, lebih melihat kawin mut’ah-nya ketimbang wawasan keilmuan dan keislamannya. Intinya, saatnya kita kembali ke jalur pendidikan sebenarnya yang tidak hanya mengedepankan kecerdasan otak tapi juga kebersihan hati, mencerdaskan dan menyejahterakan. Wallahu a’lam. - H Zuhaid El-Qudsy Lc, Staf pengajar SM Al Firdaus Kartasura, alumnus Universitas Al Azhar Kairo, Mesir |
Sunday, June 24, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment