lansia di Indonesia
Belum Benar-benar Sejahtera
Palupi Panca Astuti
Anda kenal penggalan lagu berikut? "Selamat sejahtera, sehat sentosa. Selamat panjang umur dan bahagia". Penggalan lirik lagu berjudul Selamat Ulang Tahun tersebut mungkin menjadi semacam utopia bagi kehidupan penduduk Indonesia saat ini, khususnya para lanjut usia alias lansia.
Memiliki usia panjang yang sejahtera, sehat sentosa, dan bahagia merupakan harapan setiap orang di masa tua. Namun, kehidupan para lansia di Indonesia masih jauh dari kondisi ideal seperti yang diharapkan.
Salah satu penyebab adalah masih minimnya layanan bagi mereka yang berusia lanjut. Padahal, negeri ini menuju pada keadaan penuaan penduduk, yaitu kondisi ketika jumlah orang lanjut usia meningkat seiring penurunan angka kelahiran.
Menurut Sensus Penduduk tahun 2000 ada 14,4 juta jiwa penduduk yang masuk kategori lansia atau mereka yang berusia 60 tahun ke atas. Selanjutnya, dari hasil Survei Penduduk Antarsensus (Supas) tahun 2005 diketahui jumlah lansia bertambah menjadi 15,8 juta jiwa atau meningkat 9,7 persen selama lima tahun. Pada tahun 2025 diproyeksikan ada sekitar 35,9 juta jiwa penduduk lanjut usia atau 13 persen dari perkiraan total penduduk Indonesia.
Peningkatan jumlah lansia juga diiringi dengan semakin tingginya usia harapan hidup manusia Indonesia. Jika pada tahun 2000 usia harapan hidup penduduk Indonesia sampai 67 tahun, kemudian pada tahun 2005 diperkirakan mencapai 69 tahun, maka pada 2025 ditaksir rata-rata lama hidup penduduk negeri ini menjadi lebih dari 73 tahun.
Dengan jumlah usia lanjut yang semakin meningkat, kesejahteraan mereka selayaknya juga semakin diperhatikan. Salah satu faktor yang memengaruhi kesejahteraan adalah kesehatan. Sayangnya, pelayanan kesehatan penduduk, khususnya lansia, yang menyangkut penyediaan jaminan kesehatan, belum dilakukan maksimal.
Mayoritas lansia Indonesia tidak memiliki jaminan kesehatan yang dapat membantu biaya pengobatan di kala mereka sakit. Padahal, negara telah mengatur melalui Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 34 Ayat 2 yang berbunyi: "Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat".
Dari amanat konstitusi itu lahir Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, mencakup di dalamnya jaminan kesehatan. Undang-undang ini mengatur agar setiap warga negara menjadi peserta. Di dalamnya juga ada ketentuan mengenai bantuan iuran kepesertaan dari pemerintah bagi fakir miskin dan orang tidak mampu.
Berobat sendiri
Data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2005 memperlihatkan bagaimana pelayanan kesehatan terhadap lansia belum terjamin baik. Penduduk yang memiliki jaminan pembiayaan kesehatan (JPK) bagi pensiunan pegawai negeri sipil (PNS) atau veteran hanya 7,9 persen.
Pada sampel penduduk yang sama, tak lebih dari 13 persen yang memiliki kartu sehat, kartu miskin, dan JPK keluarga miskin (JPK Gakin). Sedangkan mereka yang tergabung dalam asuransi kesehatan (swasta) hanya 0,6 persen penduduk lansia.
Ketiadaan jaminan pembiayaan ini membuat para lansia jarang berobat ke tempat layanan kesehatan seperti rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat (puskesmas). Hanya 2,3 persen dari mereka yang berobat jalan ke rumah sakit pemerintah sebanyak satu sampai empat kali dalam sebulan. Sisanya, 97,7 persen tidak pernah pergi ke sana. Mereka yang tidak pernah pergi ke puskesmas selama sebulan juga cukup signifikan jumlahnya, yaitu 91,8 persen.
Lansia yang tidak pernah pergi ke tempat layanan kesehatan ini bukan berarti memiliki kondisi tubuh yang sehat. Keluhan penyakit yang paling sering dialami dalam sebulan adalah batuk, pilek, sakit kepala, dan demam (panas). Tetapi, mereka lebih suka untuk mengobati sendiri keluhan-keluhan tersebut. Hampir 35 persen menyatakan bahwa mereka memilih untuk mengobati sendiri penyakit yang dirasakan, misalnya hanya meminum obat bebas atau pengobatan secara tradisional.
Jaminan sosial
Di Jepang, yang jumlah penduduk lanjut usianya juga banyak, terdapat sebuah sistem jaminan sosial yang dikenal dengan nama Long-term Care Insurance. Sistem ini dimaksudkan sebagai dukungan untuk para lansia negeri itu. Bentuknya berupa pelayanan rumah jompo (nursing home), layanan harian untuk lansia (day service), pusat rehabilitasi, dan rumah sakit khusus lansia.
Pembiayaan sistem ini dilakukan oleh badan asuransi yang ditunjuk pemerintah. Akan halnya iuran, dibayarkan oleh perusahaan tempat orang itu bekerja. Bagi mereka yang miskin dan tidak bekerja, iurannya disubsidi oleh pemerintah.
Bila Jepang memiliki sistem pelayanan sosial bagi lansia yang cukup paripurna semacam itu, maka Indonesia baru mencari-cari bentuk yang pas untuk mewujudkan UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Sayangnya, hingga tiga tahun dari waktu pengesahan, implementasi undang-undang ini di masyarakat belum begitu terasa.
Yang telah ada di Indonesia sejak tahun 1950-an barulah sebuah sistem layanan kesehatan yang sekarang bernama jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat (JPKM). Sayang, belum semua penduduk negeri ini menjadi peserta JPKM karena tidak semua masyarakat mampu membayar iuran kepesertaannya.
Jadi, jangankan meniru Jepang yang sangat memerhatikan kesejahteraan para lansianya, di Indonesia layanan kesehatan masyarakat yang dijamin undang-undang saja belum terlayani dengan maksimal. Bagi mereka yang mulai beranjak tua, jangan dulu bermimpi melihat pusat rehabilitasi, rumah sakit khusus lansia, ataupun fasilitas apa pun khusus lansia tersedia memadai di sini.
No comments:
Post a Comment