Friday, June 8, 2007

Regulasi Bisnis Buku

Pernyataan Ketua Umum Ikapi Setia Dharma Madjid perlu kita garis bawahi. Pemerintah perlu mengatasi tingginya harga buku dengan mengurangi pajak.

Pernyataan itu selalu mengemuka setiap tahun. Para penerbit buku, terutama yang punya komitmen Buku untuk Semua, selalu mengemukakan hal yang sama. Selama ini pemerintah bergeming. Komponen pajak tetap bermacam-macam.

Kecuali pembebasan pajak buku agama dan pendidikan yang sesuai dengan kurikulum, tak ada pengurangan komponen pajak. Harapan, pernyataan, dan tuntutan mereka nyaris jadi jeritan.

Jeritan masyarakat perbukuan jeritan kita juga. Jumlah buku yang dicetak dan diterbitkan suatu negara adalah cermin kemajuan. Repotnya pemerintah terkesan masih menempatkannya dalam ranah bisnis. Berbagai bentuk pajak dikenakan.

Regulasi dilakukan sama seperti perlakuan pemerintah terhadap industri sepatu. Knowledge based industry yang jadi kredo industri koran dan majalah tidak menyentuh industri buku. Berbagai bentuk komponen proses produksi buku dikenai pajak, mulai dari kertas, tinta, hingga besarnya pajak untuk honor penulis buku.

Industri buku nyaris jadi sapi perah. Jati diri penerbit buku sebagai gabungan semangat bisnis dan idealisme hanya pengakuan politis. Industrialis buku berjuang sendiri dengan naluri dan kiat bisnis, dengan akibat sampingan buku yang diterbitkan melulu buku-buku yang laku di pasar, pembajakan buku untuk judul-judul yang laris dijual, tanpa menafikan terobosan berhadapan (sendirian) dengan pesaing baru media elektronik.

Di manakah peran pemerintah? Kecil sekali! Dalam konteks paradigma bisnis, pemerintah ingin sekali masuk. Besaran angka nominal yang gigantik dalam industri buku pelajaran sekolah dan buku teks membuat pemerintah tergiur. Dengan dalih demi mutu buku untuk beberapa jenis mata pelajaran wajib, pemerintah lewat departemen teknisnya ikut serta dalam proses pengadaan buku sekolah. Padahal, bagi penerbit, buku pelajaran adalah produk lukratif yang jelas-jelas mendatangkan uang dibandingkan dengan buku-buku nonteks atau nonpelajaran.

Pemerintah melakukan regulasi. Repotnya regulasi dilakukan dengan pamrih ikut menangguk kucuran uang. Penerbit nonpemerintah ditempatkan sebagai pesaing. Kekeliruan paradigma—industri buku ibarat pabrik sepatu—menjadi awal kekeliruan-kekeliruan berikutnya.

Mengingatkan bahwa paradigma industri buku sebagai pabrik sepatu perlu ditinggalkan. Perubahan itulah titik berangkat regulasi yang dilakukan, yakni demi ketersediaan buku yang bermutu dan murah dengan harga yang terjangkau masyarakat kebanyakan.

Kalau tidak diubah, regulasi yang diharapkan justru jadi simpul tambahan mencekik leher orangtua, yang pada bulan Juni-Juli ini dihadapkan pada "terkurasnya kantong" untuk akhir dan awal tahun ajaran.

No comments: