Belantara Kemiskinan Berwajah Perempuan
MARIA HARTININGSIH / Kompas
Wajah kemiskinan menjadi jelas ketika kita memasuki wilayah terdalam dari pengalaman manusia. Meski dibutuhkan seperangkat alat untuk menganalisisnya, tetapi yang terungkap lewat pengalaman tak membutuhkan definisi lagi.
Lewat tuturan pengalaman yang dinarasikan para ibu yang tergabung dalam Perkumpulan Suara Ibu
Peduli (SIP) kita menangkap dimensi yang sangat luas dari penderitaan manusia-perempuan. Kemiskinan yang terlihat secara kasatmata hanyalah wujudnya di permukaan. Hanya individu yang mengalami bisa merasakannya dan tak seluruhnya bisa dituturkan lewat kata-kata.
Ungkapan "sakit", "kecewa", "sedih", dan "terhina" tak cukup untuk menguraikan perasaan perempuan yang suaminya datang-pergi dan tanpa tanggung jawab. Kata-kata tak punya kemampuan mendeskripsikan perasaan ibu yang anaknya tidak boleh naik kelas karena nunggak uang sekolah.
Kata-kata kehilangan daya untuk menjabarkan perasaan perempuan yang diperlakukan tidak layak oleh perawat ketika hendak melahirkan karena ia pasien tak mampu. Bagaimana kata-kata dapat mengungkapkan perasaan perempuan yang dipukuli suami pemabuk, tetapi tak bisa cerai "resmi" karena belenggu perkawinan siri?
Rasa adalah belantara yang tak mungkin terselami manusia lain di luar individu yang mengalaminya. Perasaan tak pernah dihitung ketika orang membicarakan masalah kemiskinan serta pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Perasaan perempuan orangtua tunggal dari tiga anak yang terseok-seok mengejar upah Rp 15.000 sehari, misalnya, tidak pernah masuk dalam perhitungan para perencana pembangunan.
Rasa yang terlahir akibat beban hidup yang tak tertanggungkan tak bisa direduksi ke dalam ekonomi uang. Statistik kehilangan daya ketika harus mengukurnya, tetapi karena itu pula para pengambil kebijakan mendapat legitimasi untuk memonetasi kemiskinan.
Saya membuka lembar demi lembar buku yang ditulis para ibu SIP ini dan menghadapkannya dengan buku Jeffry Sachs, The End of Poverty: How We Make It Happen in Our Life Time (2005). Rasanya seperti parodi. Yang satu menulis dari istana kaca, yang lain menulis dengan menjejak tanah.
Bisa dipahami kalau jalan keluar yang ditawarkan pun berpunggungan. Yang satu mengandalkan ekonomi bantuan (yang artinya menyerahkan nasib di tangan pemberi utang), sementara yang lain mendasarkannya pada mekanisme tanggung jawab dan kepercayaan sosial (social trust) komunitas yang harus dibangun dan dikuatkan lagi karena sudah dihancurkan ekonomi transaksi.
Dengan perbandingan itu, saya menangkap "alarm" tentang bahaya menggeneralisasi dan mendefinisikan kemiskinan secara sepihak yang dengan jeli ditangkap para ibu SIP. Padahal itu masih menjadi faktor dominan dalam program-program pemberdayaan ekonomi. Meski sangat samar, saya juga menangkap pesan untuk berhati-hati atas klaim "partisipasi" dalam program-program penghapusan kemiskinan.
Membuka ruang
Yang juga menarik dari buku ini menyangkut "rahasia dapur"; bagaimana Bu Ninoek, Bu Fesa, Bu Tya, Bu Yudi, Bu Mira, Bu Upik, Bu Sujiamaningsih, Bu Nunung, dan Bu Puji menuliskan hasil wawancara mereka dengan sembilan perempuan yang bermukim di perkampungan kumuh di sekitar Rempoa dan Cilandak, Jakarta Selatan.
Meski ada proses penyuntingan, tetapi upaya menulis adalah sesuatu yang harus diberi acungan jempol. Sampai beberapa tahun lalu, untuk menulis satu kalimat pun adalah perjuangan berat bagi mereka.
Menulis menjadi bagian dari proses penyadaran yang tak pernah berhenti setelah mereka mencapai apa yang disebut ilmuwan feminis AS, Catharina McKinnon (1989), sebagai "click of consciousness" dalam diri para perempuan setelah mereka bergabung dalam SIP. Secara perlahan mereka memasuki tahap berpikir revolusioner yang tak hanya mendobrak penjara peran istri seperti yang disebut dalam Serat Centhini, tetapi juga dalam cara pandang yang tak lagi hitam-putih.
Perjumpaan dengan para intelektual dan aktivis menjelang reformasi pada awal tahun 1998 membuat mereka memahami bahwa emansipasi berarti kesetaraan dan keadilan baik di ruang privat maupun di ruang publik; bahwa politik bukanlah sesuatu yang abstrak di luar sana, tetapi menyentuh persoalan dasar sehari-hari.
Mereka membawa proses mereka untuk membukakan kesadaran para perempuan lain agar memahami bahwa kemiskinan bukanlah soal nasib. Dengan demikian, proses menjadi miskin penting ditelisik untuk menengarai simpul-simpul penindasan.
Ketika orang kesulitan akses pada pelayanan kesehatan dan pendidikan dasar, maka di situ terlihat jelas wujud kemiskinan struktural. Ketika perempuan yang bekerja hampir 15 jam sehari dengan upah hanya Rp 20.000 dan anak-anak hanya makan dengan garam, maka kita melihat dengan sangat telanjang bagaimana kemiskinan struktural merenggut seluruh daya hidup manusia.
Proses wawancara merupakan bagian dari upaya membuka ruang bagi para perempuan miskin kota untuk bersuara dan mendefinisikan situasi mereka dengan pengetahuan mereka sendiri.
Dengan bahasa sederhana dan pendekatan personal, para ibu SIP mengungkapkan secara telanjang wujud pelanggaran hak-hak asasi manusia yang tercakup dalam hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya—kovenan internasionalnya diratifikasi Pemerintah Indonesia bulan Mei tahun 2006—dalam kehidupan sehari-hari.
Hak-hak itu mencakup hak atas pekerjaan, hak untuk bebas dari kelaparan, hak atas kesehatan, pendidikan, standar hidup yang layak, serta hak atas kebudayaan dan manfaat kemajuan ilmu pengetahuan.
Namun, dari pengalaman personal yang dituturkan para ibu itu, kita melihat dengan sangat jelas bagaimana negara tak hanya mengabaikan hak-hak warganya, tetapi bahkan menolaknya.
Pengalaman perempuan
Namun, penuturan senantiasa memiliki kelemahan. Akan selalu ada wilayah gelap dari kehidupan seseorang yang ingin disimpan sendiri oleh individu yang mengalaminya. Maka, kerutan kening, air mata, dan apa pun perubahan dalam ekspresi dapat dilihat sebagai penanda seberapa dalam penderitaan dirasakan.
Barangkali karena ini pula, in-depth interview saja tidak mencukupi kalau pewawancara tidak memiliki pengalaman yang menghubungkan dirinya dengan yang diwawancara. Inilah "kelebihan" (kalau boleh dibilang begitu) para ibu SIP. Meski demikian, keterhubungan ini juga ditunggu bahaya lain, yakni dominasi subyektivitas atas dasar pengalamannya sendiri.
Akan tetapi, Virginia E O’Leary dalam Towards Understanding Women (1977) secara khusus menulis bahwa "pengalaman perempuan" (yakni pengalaman dirinya) bukanlah sesuatu yang normatif.
Ia menegaskan pentingnya memiliki "pengalaman perempuan", tetapi reflektif terhadap kehakikian hubungan antara pengalaman dan penelitian. Juga ada peringatan dari sosiolog Jerman, Maria Mies (1995), agar berhati-hati mengintegrasikan subyektivitas perempuan yang tidak disadari, seperti pengalaman mereka terhadap penindasan dan diskriminasi, ke dalam proses wawancara dan penulisan.
Akan tetapi, tidaklah adil menuntut terlalu banyak dari para ibu SIP. Mereka bukan peneliti, bukan ilmuwan. Mereka adalah ibu rumah tangga yang membuka diri, mau terus belajar, dan karenanya, memiliki pengetahuan yang otentik tentang kehidupannya.
Dari mereka, kita juga belajar, terutama bagaimana menghormati pengalaman. Oleh sebab itu, temuan dalam buku ini tak bisa disepelekan.
No comments:
Post a Comment