Thursday, June 14, 2007

Kontroversi PLTN

Otto Soemarwoto

Kontroversi tentang pembangunan PLTN di Gunung Muria merebak lagi. Ada yang pro, ada yang kontra. Para pedukungnya umumnya para ilmuwan nuklir dan pakar PLTN, khususnya di Batan. Pendukung yang sangat gigih ialah industri tenaga nuklir. Yang menentang umumnya dari LSM. Juga dari kalangan akademik. Gus Dur dulu menyatakan akan tidur di Gunung Muria untuk menghalangi pembangunan PLTN tersebut.

Pertimbangan menerima atau menolak sebuah risiko yang sangat umum ialah membandingkan risiko alternatif yang satu dengan alternatif lain. Pihak pendukung menyatakan, PLTN adalah sumber listrik alternatif yang harus dimanfaatkan karena sumber energi konvensional (minyak, batu bara, dan gas) makin menipis. Harga listrik dari PLTN adalah kompetitif dibanding dengan listrik dari sumber konvensional. PLTN adalah aman. Per TWy (terrawattyear) kematian yang disebabkan oleh PLTA adalah 885, PLTU batu bara (342), PLTU gas (85), dan PLTN (8). Di samping itu terjadi kematian karena pencemaran udara oleh pembakaran bahan bakar minyak (BBM) dan batu bara. Jadi dibandingkan dengan yang lain PLTN sangatlah aman.

Akan tetapi, para oponen berkilah, PLTN tidak pula dapat dijamin keamanannya. Lihat saja kecelakaan Three Miles Island di Amerika Serikat (1976) dan di Chernobyl, Rusia (1986). Limbah nuklir baru aman setelah disimpan 10.000 tahun. Harus pula diperhatikan angka kematian/kesakitan yang tidak segera terjadi karena terkena penyinaran radioaktif, misalnya dari kecelakaan Chernobyl. Ada laporan tentang kenaikan leukemia anak di sekitar PLTN Sellafield, Inggris. Harus pula dibandingkan dengan kematian karena pembangkitan listrik dengan angin, surya, mini-mikrohidro dan bahan bakar hayati (BBH) yang dikenal sangat aman. Demikian pula dengan kematian karena penghematan listrik. Misalnya, mematikan dan menyalakan TV dengan menekan tombol on-off dan bukannya dengan alat remote dengan menyetel TV pada stand by serta menggunakan lampu hemat energi adalah cara penghematan yang amat aman. Kematiannya dapat diperkirakan 0 per TWy dihemat. Tidak pula terjadi pencemaran udara, malahan menguranginya.

Alternatif terakhir

Berkaitan dengan isu pemanasan global, para proponen menyatakan, PLTN selama beroperasi tidak mengemisikan gas rumah kaca CO2. Berdasarkan analisis daur hidup (life cycle analysis) mulai dari penambangan uranium, pemurnian, pengoperasian PLTN, pengolahan limbah, penyimpanan limbah dan pembongkaran instalasi PLTN yang telah mencapai akhir daur gunanya (use cycle), emisi CO2 lebih rendah daripada emisi dari sumber konvensional. Karena itu, PLTN adalah sumber energi berkelanjutan.

Pihak penentang menyatakan PLTN menggunakan bahan bakar tak—terperbarukan (non-renewable). Karena itu, suatu ketika uranium juga habis. Jadi, PLTN bukanlah sumber energi berkelanjutan. Sama seperti minyak. Para oponen juga menyatakan, memang benar emisi CO2 adalah lebih rendah. Akan tetapi, ini hanya berlaku jika digunakan batuan tambang berkualitas tinggi berkadar uranium 1% atau lebih. Makin rendah kualitas batuan tambangnya, semakin tinggi emisi CO2-nya. Pada batuan tambang lunak (soft ore) ambang batas emisi CO2 sekitar 0,015%. Pada batuan tambang keras, seperti granit, ambang batasnya lebih tinggi. Dengan batuan tambang berkadar uranium lebih tinggi dari ambang batas, emisi CO2 PLTN lebih tinggi daripada PLTU gas.

Oxford Research Group dalam laporannya kepada British House of Commons pada tahun 2005 menyatakan, emisi CO2 PLTN bervariasi dari 20% sampai 120% PLTU gas, tergantung dari kualitas batuan tambang. Sebagian besar batuan tambang uranium yang diketahui mempunyai kualitas rendah. Dengan terus naiknya permintaan untuk listrik dan PLTN dijadikan andalan, permintaan untuk bahan bakar nuklir juga naik. Untuk memenuhi kenaikan permintaan ini, batuan tambang berkualitas rendah juga akan ditambang, sehingga emisi CO2 naik. Jadi, tidak ada jaminan, PLTN akan mengurangi emisi CO2.

Karena risikonya itu, para oponen menyatakan, seharusnya PLTN menjadi alternatif terakhir. Kita kembangkan dulu alternatif lain, termasuk penghematan energi dengan menaikkan efisiensi penggunaan serta energi angin, surya, air, laut dan bahan bakar hayati. Baru setelah itu, kita pertimbangkan PLTN.

Energi terperbarukan angin, surya, mikrohidro, dan BBH mempunyai keuntungan bersifat tersebar. Dapat dibangun di desa-desa dan pulau kecil sehingga pembangunan dapat merata. Pembangunan itu bersifat prorakyat miskin. Pulau-pulau kecil yang letaknya jauh terpencil dan menentukan batas wilayah kedaulatan dan zona ekonomi eksklusif kita dapat dibangun dan diselamatkan. Sementara itu, PLTN memerlukan jejaring transmisi grid yang mahal untuk dapat mencapai pedesaan, apalagi untuk mencapai pulau-pulau kecil. Dapat dikatakan tak mungkin. Karena itu, seharusnya PLTN tidak diberi prioritas dalam pembangunan.

Nisbah untung rugi

Tingkat kesediaan menerima risiko jelas dipengaruhi pertimbangan untung-rugi, baik tangible maupun intangible. Makin besar seseorang menerima keuntungan dari sesuatu alternatif, semakin besar kesediaannya untuk menerima risiko dan vice versa. Oleh karena itu, dapat dimengerti para proponen PLTN adalah di industri nuklir dan para pakar nuklir. Bagi mereka nisbah untung/rugi adalah besar. Kesediaannya untuk menerima risiko adalah besar. Sebaliknya, para oponen tidak atau sedikit merasa mendapat keuntungan dari PLTN. Nisbah untung/rugi adalah kecil. Kesediaan untuk menerima risiko adalah rendah.

Makin berhasil gerakan energi alternatif terperbarukan dan penghematan energi, makin kecil ancaman krisis listrik yang sedang kita hadapi. Nisbah keuntungan/kerugian dari PLTN pun turun. Dengan pergeseran nisbah ini, kesediaan menerima risiko PLTN turun pula. Kesediaan menerima risiko (acceptable risk) merupakan risiko subyektif yang riil, bukan abstrak. Harus ditanggapi. Kajiannya bukan terletak dalam bidang matematik-teknis, melainkan merupakan persepsi kemasyarakatan (societal perception) dalam ranah psikologi sosial.

Tampaklah masih banyak pekerjaan rumah (PR) yang harus kita lakukan untuk mempersiapkan pembangunan PLTN. Jika PR ini tidak kita lakukan dengan baik, dapat diperkirakan akan terjadi tentangan yang keras terhadap pembangunan PLTN. Banyak energi bangsa yang harus dikeluarkan untuk berdemo para oponen dan untuk melayaninya oleh pemerintah.

Otto Soemarwoto Guru Besar Emeritus Ekologi Universitas Padjadjaran Bandung

No comments: