Intelektual Transformatif
Kompas 20/7/07
Refleksi akhir tahun pendidikan ditutup dengan beberapa potret buram. Kecurangan ujian nasional, kekerasan antarsis- wa didik, dan intimidasi terhadap etika profesi pendidik menjadi potret-potret besar refleksi akhir pendidikan tahun ini. Kita sekaligus menyaksikan beragam impian pendidikan untuk mengedepankan pendidikan humanis-liberatif.
Di tengah berbagai skandal pendidikan, kita melihat tunas-tunas harapan yang berani mengimajinasikan model-model pendidikan baru sebagai kritik atas praktik komersialisasi, kekerasan, dan pelacuran etika profesi pendidik. Para pelopor pendidikan ini menyodorkan pertanyaan-pertanyaan kritis terhadap filsafat pendidikan tradisional yang menggagahi hakikat pendidikan.
Kapitalisasi pendidikan
Henry A Giroux dalam Border Crossings: Cultural Workers and the Politics of Education (1993) mengungkapkan keprihatinannya terhadap praktik-praktik buruk pendidikan yang memuja efisiensi ekonomis. Terjadi degradasi identitas institusi pendidikan dari institusi yang menyelenggarakan pendidikan publik menjadi pabrik kuli. Banyak institusi pendidikan yang memeluk efisiensi ekonomis banting setir menjadi perusahaan penyedia birokrat elite masyarakat dan kuli kerja. Giroux mensinyalir bahwa reduksi dan penyempitan hakikat pendidikan ini terjadi karena tiadanya atau minimnya filsafat pendidikan. Akibatnya, institusi pendidikan gagal melihat kemungkinan bahwa proses pembelajaran menjadi salah satu pilar utama dalam humanisasi hidup publik.
Pendidikan tradisional berparadigma ekonomis. Seluruh proses pembelajaran melulu bertujuan demi kompetensi ekonomis. Standardisasi kurikulum, sertifikasi kelulusan, kenaikan angka akademik, dan kriteria evaluasi pendidikan diletakkan dalam kerangka kompetensi ekonomis. Pem- belajaran siswa didik yang semula menjadi aktivitas kolektif berubah menjadi aktivitas individual dalam paradigma ini. Sosok pendidik dalam guru menghilang dan digantikan dengan sosok guru sebagai tukang instruksi di kelas.
Reformasi pendidikan bahkan sering gagal menyentuh problem pendidikan pada taraf yang paling permukaan karena kita melakukannya dengan tetap mempertahankan bingkai masyarakat kapitalis. Kekerasan terhadap dan antarsiswa didik mencerminkan buramnya institusi pendidikan yang tidak memiliki atau minim filsafat pendidikan. Kekerasan berlawanan dengan hakikat pendidikan sebagai humanisasi subyek. Kekerasan mengidolakan relasi penguasa dan bawahan yang mendehumanisasikan keduanya.
Filsafat pedagogis
Pendidikan radikal atau kritis dibangun di atas pigura filsafat pedagogis yang jelas. Pendidikan mengusahakan pembentukan individu dan masyarakat sebagai subyek- subyek humanis-liberatif. Profesi pendidik itu bermartabat agung karena mereka senantiasa menjaga dan mengembangkan intelektualitas transformatifnya. Mereka tidak membiarkan kecurangan, kekerasan, dan praktik-praktik tak manusiawi lainnya karena tindakan-tindakan itu melecehkan etika profesi mereka.
Permohonan perlindungan terhadap profesi pendidik hendaknya dipahami sebagai usaha untuk menjaga etika profesi pendidik. Posisi mereka sebagai pendidik justru terancam ketika mereka hendak menyelamatkan pendidikan di Indonesia. Ancaman terhadap etika profesi pendidik itu mengambil bentuk sanksi permintaan pengunduran diri, pemecatan, penundaan kenaikan pangkat, dan sebagainya. Ironisnya, pihak sekolah justru menjadi pelaku yang mengancam profesi pendidik. Ancaman-ancaman itu bertujuan memaksa para pendidik untuk menggadaikan etika profesi mereka. Keseriusan untuk melindungi profesi pendidik hendaknya ditunjukkan dengan keberanian memberi sanksi kepada murid, guru, pengawas, dan kepala dinas pendidikan yang membiarkan kecurangan dalam ujian nasional (Kompas 5/6/2007).
Henry A Giroux menyadari bahwa pendidikan berada dalam pusaran logika pasar dan jargon kekuasaan. Insitusi pendidikan sering terseret dalam pusaran-pusaran ini dan berubah menjadi mesin yang mencetak tukang atau kuli ekonomi. Pendidik memiliki posisi sentral dalam situasi ini. Giroux mengingatkan para pendidik akan identitas mereka sebagai intelektual transformatif dalam pembelajaran siswa didik. Menyitir John Dewey berkaitan dengan distingsi antara "education as a function of society" dan "society as a function of education," Giroux mendambakan figur pendidik yang mengantar siswa didik untuk memiliki pengetahuan, karakter, dan visi etis yang membangun ruang publik. Mereka dipanggil untuk membentuk pelaku-pelaku pembelajaran yang memiliki intelektualitas transformatif. Pendidikan radikal atau kritis mensyaratkan intelektualitas transformatif.
Aborsi pendidikan
Mengembangkan gagasan Giroux untuk konteks Indonesia, Paul Suparno dalam Guru Demokratis di Era Reformasi (2005) juga prihatin terhadap reduksi profesi pendidik sebagai tukang transfer pengetahuan. Guru sebagai tukang pendidikan melecehkan intelektualitas karena mencekoki siswa didik dengan pengetahuan basi. Mereka mereduksi pembelajaran sebagai perburuan gelar akademik atau sertifikat kelulusan. Mereka pasif terhadap pembaruan kurikulum pendidikan berbasis konteks siswa didik dan masyarakat. Mereka tak segan-segan mengorupsi waktu belajar siswa didik dan asal ikut kebijakan departemen pendidikan. Praktik-praktik ini menghancurkan identitas siswa didik sekadar sebagai hewan yang menyusu tukang mengajar.
Seruan untuk reformasi pendidikan juga terarah kepada pendidik demi perlindungan siswa didik. Orangtua siswa didik berunjuk rasa untuk mengontrol etika profesi pendidik di SD Plaosan II. Pendidikan sebagai proses humanisasi-liberasi akan macet tanpa kehadiran pendidik sebagai intelektual transformatif. Keterlambatan, ketidakhadiran, dan kekosongan pendidik melecehkan etika profesi mereka. Orangtua siswa didik juga menyerukan akses pendidikan bagi anak-anak dari strata ekonomi bawah (Kompas, 31/5/2007 dan 2/6/2007).
Giroux menawarkan kepada pihak-pihak yang terlibat aktif dalam dunia pendidikan untuk mengurai karut-marut pendidikan di Indonesia dari titik filsafat pendidikan. Ia memiliki impian pendidik sebagai intelektualitas transformatif. Komersialiasi pendidikan merusak subyek pendidikan sekadar sebagai obyek ekonomis. Ia mengubah proses pembelajaran sebagai pembentukan intelektualitas transformatif menjadi pembodohan deformatif. Ia juga mengaborsi lahirnya institusi pendidikan sebagai ruang publik demokratis.
Pendidikan yang sejati membantu revitalisasi ruang publik demokratis.
No comments:
Post a Comment