Tuesday, June 26, 2007

Reinkarnasi Pers Bredel?

Indriyanto Seno Adji

Di era demokratisasi sekarang ini, jaminan konstitusional terhadap kebebasan menyatakan pendapat dan berekspresi (freedom of opinion and expression) belumlah memberikan ruang gerak kebebasan tersebut.

Kadang kala kebebasan ini terbelenggu dengan pola pencegahan dengan reflektivitas baru, baik dalam bentuk tekanan politis maupun tekanan sosial dengan memberikan aksentuasi pada pengerahan massa politik (political mass) ataupun massa publik, dengan atau tanpa visi materiil belaka. Inilah yang terjadi pada konsep pers bredel versi pemerintah yang menimbulkan polemik.

Kehidupan pers tidaklah terlepas dari keterkaitan antara kekuasaan, masyarakat, dan individu yang memerlukan suatu keseimbangan kepentingan informasi di antara ketiga komponen. Artinya, implikasi terhadap pernyataan-pernyataan, baik tertulis maupun lisan, akan memberikan arah solusi pada pembenaran hukum, bukan dengan cara non-extra journalism seperti pengerahan massa, pendudukan kantor media massa dan formulasi kekerasan lainnya maupun dengan cara prevensi yang nondemokratis sebagai aktualisasi konsep pers bredel.

Harus dijauhi

Sikap yang tidak populis terhadap pers sudah harus dijauhi, seperti kasus harian Jawa Pos berkaitan dengan pemberitaan yang akibatnya berhadapan dengan ratusan anggota Banser GP Ansor Surabaya. Pengerahan massa inilah yang dinamakan political-mass, sedangkan public- mass kaitannya dengan majalah Tempo merupakan barrier terhadap prinsip kebebasan pers, apalagi public mass ini memiliki kekerasan sebagai sarana reaktif atas substansi pemberitaannya .

Kedua barrier atas kebebasan pers ini dianggap sebagai fenomena baru terhadap prevensi pers yang secara absolut tidak dikehendaki hukum. Di satu sisi, era reformasi merupakan ujian bagi kebebasan pers itu sendiri, di sisi lain merupakan introspeksi sosial dan hukum terhadap pemberitaannya. Konsep prevensi pers adalah aktualisasi pembredelan pers sebagai representasi otoriter.

Tidaklah dikehendaki sindrom prevensi pers berulang kembali. Cukup sudah sejarah mencatat bahwa a free and responsible press hanya simbol ilusif kekuasaan saja meskipun Pasal 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 juncto UU No 21/1982 (UU No 40/1999 tentang Pers) melarang tindakan prevensi berupa penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran, bahkan Pasal 4 Ayat (1) UU No 4/1999 yang menjamin kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga negara menyatakan bahwa pers harus bebas dari tindakan pencegahan (prevensi), pelarangan dan atau penekanan agar hak masyarakat untuk memperoleh informasi terjamin.

Ada limitasi hukumnya

Diakui memang, faham kemerdekaan pers di era demokratisasi ini mengarah pada faham libertarian sebagai bentuk kebebasan pers yang absolut, tetapi dalam konteks kebebasan ini tentu ada legal responsibility bagi pers. Kemerdekaan pers yang universal pada alam demokrasi harus memenuhi dua asas persyaratan. Pertama, asas limitatif, yaitu tidak diperkenankan adanya suatu penciptaan produk hukum yang normatif akan membatasi kebebasan pers itu sendiri, bahkan larangan absolut melakukan tindakan prevensi berupa bredel dan sensor. Kedua, adanya asas demokratis di mana tidak diperkenankannya melakukan pemidanaan terhadap segala pernyataan-pernyataan yang bersifat prive.

Sikap antisipatif hukum memang harus dimiliki institusi pers. Pers tidak sekadar berkilah di balik imunitas hak tolak yang dijamin UU. Kekuatan pers bukan didasari adanya pemberitaan yang memenuhi persyaratan cover both sides ataupun telah memperoleh sumber berita sebagai investigating news yang dapat dipertanggungjawabkan. Analisis dan memberikan opini yang bertentangan dengan fakta akan menjadi tanggung jawab pers, karenanya pers tidak lepas dari pertanggungjawaban hukum.

Rambu universal sebagai limitasi hukum dari kebebasan pers bersumber dari International Convention on the Freedom of Information tahun 1985 di Roma. Limitasi itu apabila pers melakukan pelanggaran pemberitaan mengenai keamanan nasional dan ketertiban masyarakat, liputan palsu, hujatan agama (blasphemy), pornografi, menghalangi proses peradilan yang fair (impede the fair administration of justice), penistaan (incitement), penghinaan (libel) yang berkaitan dengan rights (hak-hak), honour (kehormatan) dan reputation (nama baik). Melalui UU No 40/1999, terhadap keberatan suatu pemberitaan pers, dituangkan dalam bentuk Hak Jawab (Pasal 5 Ayat 2) dan Hak Koreksi (Pasal 5 Ayat 3), bahkan sebagai bangsa yang menjunjung tinggi prinsip The Rule of Law, masyarakat/individu dapat mengajukan permasalahan pers melalui proses peradilan sebagai solusi legal.

Bredel dan sensor merupakan karakter dari tindakan prevensi di masa lalu. Tentunya kehendak reinkarnasi konsep pers bredel merupakan bentuk fenomena pelanggaran konvensional yang tidak representatif di era demokratisasi ini.

Indriyanto Seno Adji Pengajar Hukum Media Massa Program Pascasarjana UI Bidang Studi Ilmu Hukum

No comments: