Thursday, June 14, 2007

Nilai Lokal Bisa Jadi Jebakan
Rocky Gerung: Etnofilsafat Hanya Akan Menjadi Alat Politik Kekuasaan

Jakarta, Kompas - Nilai-nilai lokal yang ditawarkan etnofilsafat sebagai jalan baru bagi Dunia Ketiga dalam menghadapi globalisasi hendaknya perlu disikapi secara hati-hati. Sebab, di sana terdapat banyak jebakan yang bisa membawa etnofilsafat meniru jejak globalisasi yang mendominasi kebenaran.

Hal itu mengemuka dalam diskusi tentang etnofilsafat yang digelar oleh Departemen Filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) dan Harian Kompas di Redaksi Kompas, Jakarta, Senin (11/6). Tampil sebagai pembawa materi adalah Franz-Magnis Suseno, Toeti Heraty, Martin Sinaga, Vincent Yohanes Jolasa, Rocky Gerung, dan Martin Lukito Sinaga. Diskusi dipandu Donny Gahral Ardian dari Departemen Filsafat FIB UI.

Vincent menyebutkan, upaya berbagai kebudayaan "non-Barat"—termasuk Indonesia—untuk mengembangkan sistem pemikiran filsafatnya sendiri merupakan upaya yang wajar untuk keluar dari hegemoni globalisasi. Vincent yakin Indonesia memiliki sistem filsafat sendiri yang harus digali untuk mencari pembaruan tradisi dan merekonstruksinya.

Sebaliknya, Magnis mengingatkan bahwa selain memiliki kekuatan sebagai aset nasional, seperti menolak eksklusivisme dan hormat pada hak asasi manusia, budaya Jawa memiliki sejumlah kelemahan. Di antaranya, kata Magnis, lemah dalam melawan korupsi. Hal ini bisa terjadi karena budaya Jawa menekankan kerukunan dan senioritas yang menyulitkan adanya kritik dari bawah. Selain itu, kekuasaan Jawa tradisional sendiri tidak memberi pegangan untuk tidak melakukan korupsi.

Kelemahan berikutnya terkait dengan kekerasan. Dalam penilaian Magnis, budaya Jawa tidak mengenal istilah pengampunan dan cenderung menghukum pihak yang salah sampai tumpas. "Dalam wayang, misalnya, tidak ada pemaafan. Segala yang jahat pasti ada balasannya. Dan, pembunuhan gampang terhadap buto-buto, sementara dalam kisah Bharatayudha, yang amat mengerikan itu, membuat orang teringat pada pembunuhan mengerikan terhadap ’orang-orang komunis’ di Jawa dan Bali," papar Magnis.

Dipertanyakan

Rocky Gerung menilai etnofilsafat hanyalah suaka baru untuk berlindung dari hegemoni globalisasi yang dituding menyebabkan "ketidakarifan lokal". Pendekatan etnofilsafat pada awalnya diajukan untuk menunjukkan perbedaan cara berpikir, modus pengalaman, dan kerangka metafisika kebudayaan Afrika, dalam rangka sinisme terhadap filsafat Barat. Dari segi pendekatan, etnofilsafat menerima filsafat identik dengan isi kebudayaan suatu kelompok. Ini berbeda dengan tradisi Barat yang memahami filsafat sebagai refleksi kritis filsuf terhadap manusia dan dunia.

Akan tetapi, pencirian filsafat sebagai suatu yang bersifat nilai budaya dan kesenian berhadapan dengan fakta bahwa kebudayaan Mesir dan dunia Islam justru melahirkan pemikiran yang rasional, matematis, dan sekuler. "Jadi, secara metode maupun material, konstruksi etnofilsafat masih sangat lemah," ujar Rocky.

Etnofilsafat juga dikhawatirkan oleh Rocky Gerung hanya akan menjadi alat politik kekuasaan. "Etnofilsafat seharusnya tidak diarahkan untuk proyek romantisme ’keaslian’ suatu kebudayaan. Mengapa? Karena cara itu pasti menuju pada jebakan etnosentrisme dan menjadi alat politik kekuasaan," tutur Rocky Gerung. (AIK/MH)

No comments: