Menyibak Kabut Sejarah | |||
Jum'at, 22/06/2007 | |||
SELAMA sebulan terakhir, Gus Dur menyampaikan secara terbuka suatu fakta sejarah yang tertutup kabut, yaitu pembentukan DI/TII oleh Pimpinan TNI dan Bung Karno. Pertama di koran SINDO (pertengahan Mei 2007).
Kedua pada kesempatan berbicara dalam peluncuran buku Sama Tapi Berbeda, di Surabaya (10/6/07) dan terakhir di koran SINDO (18/6/07). Inti pernyataan GD ialah bahwa DI/TII didirikan untuk menggantikan posisi TNI di Jawa Barat yang ditarik ke Jawa Tengah sebagai akibat dari Perjanjian Renville.
Keputusan diambil oleh Bung Karno dan Jenderal Sudirman yang melibatkan penasihatnya, KHA Wahid Hasyim dan SM Kartosuwiryo, yang bertujuan mempertahankan bergabungnya Jawa Barat dengan RI.Dalam pidato pada peluncuran buku (10/6/07) GD mengungkap bahwa terjadi sebuah peristiwa yaitu konvoi TII dihadang oleh sebuah pasukan dan ditembaki, yang memakan korban ratusan. Sejak itu,TII lalu memberontak.
Dalam tulisan terakhir di SINDO (18/6/2007) berjudul ”Pelestarian Kenyataan Sejarah”, GD menyampaikan pertimbangan mengapa fakta sejarah itu harus diungkap, yaitu agar kita bisa melakukan koreksi atas kesalahan-kesalahan kita sebagai bangsa. Juga untuk menghindari adanya warga negara yang diperlakukan tidak adil karena adanya DI/TII. ***
Sudah sebulan GD menulis tentang masalah itu, namun belum ada satu tanggapan pun. Para ahli sejarah tidak ada yang bersuara. Pusjarah TNI juga diam. Para purnawirawan senior TNI AD, seperti Pak Sayidiman, juga tidak memberi tanggapan, entah membantah atau membenarkan atau mengoreksi karena ada yang tidak tepat.Apakah karena SINDO itu koran yang tidak beredar secara luas? Tidak mungkin tidak ada perwira TNI yang membaca tulisan itu. Mestinya dia lalu menyampaikan masalah itu kepada pihak di TNI yang layak membacanya.
Kenyataan sejarah di atas, kalau benar, seperti tertutup oleh kabut sejarah. Mungkin kini adalah saat yang tepat untuk menyibak kabut sejarah itu. Ada sejumlah pertanyaan yang perlu diajukan. Apakah betul kenyataan sejarah yang dimaksudkan GD itu persis seperti yang dikemukakannya? Apakah kesepakatan pembentukan DI/TII itu yang semula hanya antara sejumlah tokoh itu saja,kemudian dilaporkan kepada kabinet? Betulkah ada penghadangan terhadap konvoi TII seperti yang diceriterakan GD yang lalu membuat TII memberontak?
Kapankah dan siapakah pihak yang menghadang konvoi TII itu? Kalau terjadi setelah RIS berubah menjadi NKRI lagi, maka pihak yang menghadang adalah TNI.Apakah mereka tahu duduk perkara pembentukan DI/TII atau tidak? Kalau tidak tahu, apakah berarti kesalahan ada pada pihak pemerintah atau pucuk pimpinan TNI yang tidak menginformasikan kesepakatan pembentukan DI/TII itu ke jenjang lebih bawah dari struktur TNI? Atau sudah diinformasikan tetapi ada kesalahan di lapangan ?
Sejumlah pertanyaan itu harus dijawab oleh pihak yang mengetahui seperti ahli sejarah sehingga kalau ada yang salah dari pernyataan GD dapat dibetulkan. Kalau setelah ada koreksi itu lalu GD mempertahankan pendapatnya, biarkan rakyat yang menilai mana yang benar. Ini sama dengan debat mengenai Peristiwa G30S yang tampaknya juga tidak akan mencapai kesepakatan.
Bisa dikemukakan sebagai pembanding apa yang ditulis oleh Jenderal (Pur) Dr A H Nasution di dalam masterpiecenya Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia jilid 6 yang saya peroleh dari sahabat saya, Amrul Bahri. Pak Nas tidak menggunakan kata DI/TII tetapi anggota Hizbullah dan Sabilillah. Tulis Pak Nas : ”Mereka ini tidak mau tunduk kepada perintah Panglima Besar Sudirman untuk melaksanakan Persetujuan Renville, di mana pasukan Republik yang ada di daerah- daerah kantong di belakang garis pertahanan Belanda, daerah gerilya, harus ditarik kembali ke daerah Republik dengan Garis Van Mook sebagai Garis Demarkasi”. ***
Lepas dari sejumlah pertanyaan di atas, saya menangkap adanya kewaspadaan yang tinggi dari pemerintah terutama dari pimpinan TNI terhadap ekstrem kiri dan kanan. Terhadap ekstrem kiri masih terasa kuat sampai saat ini.Terhadap ekstrem kanan mungkin sudah ada perubahan.Yang dimaksud dengan ekstrem kiri dan kanan ialah pihak yang memberontak yaitu PKI dan DI/TII. Kita membaca bahwa di TNI AD terdapat faksi yang dikenal dengan sebutan ABRI Hijau dan ABRI Merah Putih.
Menurut saya, ada tiga faksi, tidak hanya dua,yaitu merah putih,hijau (islamis), islamophobia. Bagaimana saya bisa membagi ABRI ke dalam tiga faksi? Itu didasarkan pada pernyataan atau pendapat dari para petinggi sendiri. Prabowo Subianto pernah membuat pernyataan yang dapat ditafsirkan bahwa ada Islamophobia di TNI AD. Katanya, dalam latihan di Akmil selalu dinyatakan bahwa pemberontak adalah kelompok Islam. Juga konon pernah ada kebijakan tidak resmi yang melarang adanya mesjid di kantor Dephan.
Mesjid itu baru bisa berdiri saat Wiranto menjadi Menhan. Buku Kivlan Zen mengungkapkan adanya kelompok yang dapat disebut Islamis, yang bisa ditafsirkan sebagai antitesis terhadap kelompok Islamophobia. Dalam buku KZ itu tersurat bahwa kelompok Islamophobia adalah kelompok Benny Murdani. Kelompok Islamis adalah Faisal Tanjung, Hartono, Prabowo dll. Kelompok di tengah adalah kelompok yang tidak Islamophobia dan tidak Islamis.Inilah kelompok yang menurut saya bisa disebut sebagai kelompok Merah Putih.
Mereka ialah antara lain,Wiranto, SBY, dan Ryamizard Ryacudu. Saya duga faksi itu hanya ada di tingkat atas dan di permukaan saja,tidak sampai ke bawah. Jumlah terbanyak adalah kelompok yang di tengah, baik di AD,AU, AL maupun di Polri. Keadaan ini harus kita pertahankan.Kalau tidak ada kelompok Islamophobia tentu tidak akan ada kelompok Islamis sebagai antitesisnya. ***
Kita telah melampaui tahap pertentangan ideologis yang cukup panjang dan melelahkan.Tampaknya sebagian besar dari elite parpol dan ormas di Indonesia sudah menerima Pancasila sebagai dasar negara.Yang menginginkan Piagam Jakarta, Piagam Madinah atau negara Islam relatif jumlahnya tidak banyak. Masalah kita sebagai bangsa selain ideologi,banyak sekali yang harus diselesaikan.
Penerapan dari Pancasila dan amanah yang terkandung dalam Pembukaan UUD ke dalam kehidupan bangsa secara nyata adalah masalah utama kita.Mewujudkan keadilan sosial, kesejahteraan masyarakat, upaya mencerdaskan kehidupan bangsa adalah tugas utama yang harus dilaksanakan oleh pemerintah mana pun.
Tugas mulia itu juga merupakan perintah semua agama termasuk Islam kepada siapa pun juga yang menjadi pemimpin, di negara mana pun. Peristiwa masa lalu yang sensitif, yang diungkapkan GD, tentu akan menimbulkan reaksi atau bantahan. Kita berharap upaya menyibak kabut sejarah itu tidak menimbulkan masalah baru berkat kedewasaan kita sebagai bangsa. Dan juga karena kondisi kehidupan berbangsa adalah seperti yang diuraikan di dalam dua alinea di atas. (*)
Salahuddin Wahid
Pengasuh Pesantren Tebuireng
Kedua pada kesempatan berbicara dalam peluncuran buku Sama Tapi Berbeda, di Surabaya (10/6/07) dan terakhir di koran SINDO (18/6/07). Inti pernyataan GD ialah bahwa DI/TII didirikan untuk menggantikan posisi TNI di Jawa Barat yang ditarik ke Jawa Tengah sebagai akibat dari Perjanjian Renville.
Keputusan diambil oleh Bung Karno dan Jenderal Sudirman yang melibatkan penasihatnya, KHA Wahid Hasyim dan SM Kartosuwiryo, yang bertujuan mempertahankan bergabungnya Jawa Barat dengan RI.Dalam pidato pada peluncuran buku (10/6/07) GD mengungkap bahwa terjadi sebuah peristiwa yaitu konvoi TII dihadang oleh sebuah pasukan dan ditembaki, yang memakan korban ratusan. Sejak itu,TII lalu memberontak.
Dalam tulisan terakhir di SINDO (18/6/2007) berjudul ”Pelestarian Kenyataan Sejarah”, GD menyampaikan pertimbangan mengapa fakta sejarah itu harus diungkap, yaitu agar kita bisa melakukan koreksi atas kesalahan-kesalahan kita sebagai bangsa. Juga untuk menghindari adanya warga negara yang diperlakukan tidak adil karena adanya DI/TII. ***
Sudah sebulan GD menulis tentang masalah itu, namun belum ada satu tanggapan pun. Para ahli sejarah tidak ada yang bersuara. Pusjarah TNI juga diam. Para purnawirawan senior TNI AD, seperti Pak Sayidiman, juga tidak memberi tanggapan, entah membantah atau membenarkan atau mengoreksi karena ada yang tidak tepat.Apakah karena SINDO itu koran yang tidak beredar secara luas? Tidak mungkin tidak ada perwira TNI yang membaca tulisan itu. Mestinya dia lalu menyampaikan masalah itu kepada pihak di TNI yang layak membacanya.
Kenyataan sejarah di atas, kalau benar, seperti tertutup oleh kabut sejarah. Mungkin kini adalah saat yang tepat untuk menyibak kabut sejarah itu. Ada sejumlah pertanyaan yang perlu diajukan. Apakah betul kenyataan sejarah yang dimaksudkan GD itu persis seperti yang dikemukakannya? Apakah kesepakatan pembentukan DI/TII itu yang semula hanya antara sejumlah tokoh itu saja,kemudian dilaporkan kepada kabinet? Betulkah ada penghadangan terhadap konvoi TII seperti yang diceriterakan GD yang lalu membuat TII memberontak?
Kapankah dan siapakah pihak yang menghadang konvoi TII itu? Kalau terjadi setelah RIS berubah menjadi NKRI lagi, maka pihak yang menghadang adalah TNI.Apakah mereka tahu duduk perkara pembentukan DI/TII atau tidak? Kalau tidak tahu, apakah berarti kesalahan ada pada pihak pemerintah atau pucuk pimpinan TNI yang tidak menginformasikan kesepakatan pembentukan DI/TII itu ke jenjang lebih bawah dari struktur TNI? Atau sudah diinformasikan tetapi ada kesalahan di lapangan ?
Sejumlah pertanyaan itu harus dijawab oleh pihak yang mengetahui seperti ahli sejarah sehingga kalau ada yang salah dari pernyataan GD dapat dibetulkan. Kalau setelah ada koreksi itu lalu GD mempertahankan pendapatnya, biarkan rakyat yang menilai mana yang benar. Ini sama dengan debat mengenai Peristiwa G30S yang tampaknya juga tidak akan mencapai kesepakatan.
Bisa dikemukakan sebagai pembanding apa yang ditulis oleh Jenderal (Pur) Dr A H Nasution di dalam masterpiecenya Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia jilid 6 yang saya peroleh dari sahabat saya, Amrul Bahri. Pak Nas tidak menggunakan kata DI/TII tetapi anggota Hizbullah dan Sabilillah. Tulis Pak Nas : ”Mereka ini tidak mau tunduk kepada perintah Panglima Besar Sudirman untuk melaksanakan Persetujuan Renville, di mana pasukan Republik yang ada di daerah- daerah kantong di belakang garis pertahanan Belanda, daerah gerilya, harus ditarik kembali ke daerah Republik dengan Garis Van Mook sebagai Garis Demarkasi”. ***
Lepas dari sejumlah pertanyaan di atas, saya menangkap adanya kewaspadaan yang tinggi dari pemerintah terutama dari pimpinan TNI terhadap ekstrem kiri dan kanan. Terhadap ekstrem kiri masih terasa kuat sampai saat ini.Terhadap ekstrem kanan mungkin sudah ada perubahan.Yang dimaksud dengan ekstrem kiri dan kanan ialah pihak yang memberontak yaitu PKI dan DI/TII. Kita membaca bahwa di TNI AD terdapat faksi yang dikenal dengan sebutan ABRI Hijau dan ABRI Merah Putih.
Menurut saya, ada tiga faksi, tidak hanya dua,yaitu merah putih,hijau (islamis), islamophobia. Bagaimana saya bisa membagi ABRI ke dalam tiga faksi? Itu didasarkan pada pernyataan atau pendapat dari para petinggi sendiri. Prabowo Subianto pernah membuat pernyataan yang dapat ditafsirkan bahwa ada Islamophobia di TNI AD. Katanya, dalam latihan di Akmil selalu dinyatakan bahwa pemberontak adalah kelompok Islam. Juga konon pernah ada kebijakan tidak resmi yang melarang adanya mesjid di kantor Dephan.
Mesjid itu baru bisa berdiri saat Wiranto menjadi Menhan. Buku Kivlan Zen mengungkapkan adanya kelompok yang dapat disebut Islamis, yang bisa ditafsirkan sebagai antitesis terhadap kelompok Islamophobia. Dalam buku KZ itu tersurat bahwa kelompok Islamophobia adalah kelompok Benny Murdani. Kelompok Islamis adalah Faisal Tanjung, Hartono, Prabowo dll. Kelompok di tengah adalah kelompok yang tidak Islamophobia dan tidak Islamis.Inilah kelompok yang menurut saya bisa disebut sebagai kelompok Merah Putih.
Mereka ialah antara lain,Wiranto, SBY, dan Ryamizard Ryacudu. Saya duga faksi itu hanya ada di tingkat atas dan di permukaan saja,tidak sampai ke bawah. Jumlah terbanyak adalah kelompok yang di tengah, baik di AD,AU, AL maupun di Polri. Keadaan ini harus kita pertahankan.Kalau tidak ada kelompok Islamophobia tentu tidak akan ada kelompok Islamis sebagai antitesisnya. ***
Kita telah melampaui tahap pertentangan ideologis yang cukup panjang dan melelahkan.Tampaknya sebagian besar dari elite parpol dan ormas di Indonesia sudah menerima Pancasila sebagai dasar negara.Yang menginginkan Piagam Jakarta, Piagam Madinah atau negara Islam relatif jumlahnya tidak banyak. Masalah kita sebagai bangsa selain ideologi,banyak sekali yang harus diselesaikan.
Penerapan dari Pancasila dan amanah yang terkandung dalam Pembukaan UUD ke dalam kehidupan bangsa secara nyata adalah masalah utama kita.Mewujudkan keadilan sosial, kesejahteraan masyarakat, upaya mencerdaskan kehidupan bangsa adalah tugas utama yang harus dilaksanakan oleh pemerintah mana pun.
Tugas mulia itu juga merupakan perintah semua agama termasuk Islam kepada siapa pun juga yang menjadi pemimpin, di negara mana pun. Peristiwa masa lalu yang sensitif, yang diungkapkan GD, tentu akan menimbulkan reaksi atau bantahan. Kita berharap upaya menyibak kabut sejarah itu tidak menimbulkan masalah baru berkat kedewasaan kita sebagai bangsa. Dan juga karena kondisi kehidupan berbangsa adalah seperti yang diuraikan di dalam dua alinea di atas. (*)
Salahuddin Wahid
Pengasuh Pesantren Tebuireng
No comments:
Post a Comment