Biaya Pendidikan
Anggaran 20 Persen Sulit Diwujudkan
Solo, Kompas - Meski merupakan amanat Undang-Undang Dasar 1945, anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN, diakui Wakil Presiden Jusuf Kalla, sulit diwujudkan. Ada dua hal utama yang menyebabkan itu sulit direalisasikan, yakni beban subsidi dan utang negara beserta bunganya.
Berbicara pada peresmian Monumen Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) di Solo, Jawa Tengah, Sabtu (2/6) sore, Kalla menegaskan, "Kenapa anggaran pendidikan 20 persen sulit dicapai? Pertama, setelah krisis, kita punya beban luar biasa yang tidak bisa dihindari, yakni subsidi bahan bakar minyak (BBM), beras untuk keluarga miskin, listrik, makanan, bibit, dan sebagainya."
Beban subsidi ini besarnya lebih dari Rp 100 triliun. "Kalau kita naikkan harga BBM dan tarif listrik, bisa kacau-balau negeri ini," katanya.
Kedua, adanya bunga yang harus dibayar negara akibat krisis lalu. Beban bunga ini menyedot 30 persen APBN yang nilainya lebih dari Rp 200 triliun sehingga anggaran lain tidak mungkin langsung naik.
"Bisa saja anggaran pendidikan sampai 20 persen, tetapi kita harus mengurangi anggaran untuk pembangunan jalan, listrik, irigasi, dan kesehatan, serta untuk tentara dan polisi. Tetapi, ini tak mungkin," katanya lagi.
Untuk itu, Kalla meminta semua pihak bersabar hingga anggaran pendidikan 20 persen dari APBN tercapai. Menurut Kalla, anggaran pendidikan harus dilihat dari dua segi, yakni persentase dan nominal. Secara nominal, sejak tahun 2003 hingga kini anggaran pendidikan naik dua kali lipat. Namun, secara persentase diakuinya tidak tampak peningkatan berarti.
"Tahun 2003 anggaran pendidikan Rp 20 triliun. Sekarang lebih dari Rp 40 triliun. Naiknya luar biasa sehingga kadang Depdiknas (Departemen Pendidikan Nasional) kesulitan membagikan uang itu, sehingga hanya bagi-bagi voucher saja supaya cepat. Selain itu, kita harus hitung juga anggaran di departemen lain yang konteksnya untuk mencerdaskan bangsa sebagai bahan untuk menilai usaha pemerintah melaksanakan amanat UUD," ujarnya.
Ketua Umum Pengurus Besar PGRI Muhammad Surya menilai, sepanjang anggaran pendidikan masih bisa berdampak positif bagi dunia pendidikan, PGRI bisa memaklumi. Namun, ia juga meminta manajemen Depdiknas dibenahi.
Kedatangan Kalla ke Solo sempat disambut dengan unjuk rasa oleh sekelompok mahasiswa yang menamakan diri Forum Bersama Mahasiswa Surakarta.
Gaya hidup hedonistik
Di Jakarta, Sabtu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerima sekitar 500 guru yang baru selesai mengikuti pelatihan yang diadakan PT Telkom.
Presiden meminta guru-guru ikut mencegah dampak negatif globalisasi bagi generasi muda, yakni gaya hidup hedonistik, memuja kebebasan tanpa batas, dan jalan pintas untuk mencapai tujuan.
"Hedonisme, keinginan untuk hanya mengejar kesenangan duniawi, oleh agama mana pun ditentang. Mengejar kesenangan hidup di dunia itu dekat dengan narkotika dan kejahatan karena uang, materi, dan kesenangan hidup di atas segalanya. Selamatkan bangsa kita dari gaya hidup hedonistik," ujar Presiden di Istana Negara.
Menurut Presiden, gaya hidup hedonistik membuat kaum muda menjadi lemah, tidak kokoh, dan tidak ulet. Presiden juga meminta guru mencermati gaya hidup yang salah dalam menerapkan kebebasan, seperti pornoaksi, juga kecenderungan mengambil jalan pintas. (eki/osd/inu)
No comments:
Post a Comment