Narkoba Tempo Doeloe dan Kini
Endang Suryadinata
Melihat makin masifnya narkoba, PBB sejak 1987 menetapkan 26 Juni sebagai hari Anti Madat Sedunia atau International Day Againts Drugs. Soal narkoba kian menjadi persoalan serius. Tak heran, Ibu Negara mencanangkan "Awasi Keluarga" untuk mengantisipasi peredarannya (Kompas, 24/6).
Kalau kita melihat sejarah, maraknya narkoba di negeri belakangan ini sebenarnya merupakan pengulangan saja, seperti bunyi pepatah l’histoire se repete. Bedanya, jika dulu narkoba dilegalkan bahkan diperdagangan secara bebas, zaman sekarang narkoba menjadi barang ilegal, tetapi justru peredarannya kian menggila.
Tempo doeloe
Saat Belanda mendarat pertama kali di Jawa pada akhir abad ke-17, opium, bahan pembuat narkoba, sudah menjadi komoditas penting dalam perdagangan regional. Para pedagang yang terlibat antara lain para saudagar Belanda, Inggris, Denmark, dan Arab. James R Rush dalam bukunya, Opium to Java, disebutkan pada tahun 1677 VOC berhasil membuat sebuah perjanjian dengan Raja Mataram Amangkurat II yang isinya pemberian monopoli kepada VOC untuk mengimpor opium ke wilayah Mataram serta monopoli untuk mengedarkannya. Pada waktu itu opium didatangkan dari Turki.
Perdagangan opium juga sudah sejak dulu mendatangkan keuntungan yang amat besar. Dalam catatan yang dibuat oleh Asisten Residen Wiselius pada tahun 1882, antara Januari dan Juni 1879 uang sebanyak 700.000 gulden telah berpindah tangan dalam transaksi-transaksi opium.
Walaupun opium atau candu menjadi komoditas perdagangan yang sah, tetap saja memunculkan perdagangan candu gelap, yaitu model perdagangan yang tidak melibatkan pemerintah. Tidak beda dengan sekarang, para bandar gede kala itu sering berkolusi dengan aparat hukum, seperti polisi yang bisa dibeli para bandar di zaman sekarang.
Perdagangan opium yang dilakukan bebas pada waktu itu telah menjadikan sebagian besar warga jatuh dalam cengkeraman barang haram tersebut. Kondisi ini telah mengundang keprihatinan sekelompok orang-orang Eropa yang tinggal di Indonesia pada waktu itu untuk menentang penjualan opium secara bebas. Orang-orang ini kemudian mendirikan Den Anti-Opiumbond, yaitu perkumpulan antiopium atau perkumpulan antinarkoba. Mirip dengan Granat (Gerakan Anti Narkoba) pada saat ini. Pada tahun 1891 mereka menerbitkan majalah yang diberi nama De Opium-Vloek (Kutukan Opium), bergambar sampul seorang pribumi yang hanya tinggal tulang berbalut kulit sedang duduk miring di lincak dengan membawa alat pengisap opium.
Masa kini
Pemandangan seperti itu sekarang sudah berganti dengan pesta pora sabu di hotel berbintang. Atau kalau di desa, seperti di Jatim, tampak dalam pesta miras murah yang dicampur pil koplo. Pesta bodoh macam itu terus saja berlangsung meski sudah jatuh ribuan korban. Di Jakarta saja, tiap satu dari sepuluh keluarga punya kerabat tersangkut masalah narkoba. Maklum, sejak dulu Jakarta memang jadi gudang narkoba, dulu kompleks FK UI Salemba sekarang menjadi pabrik opium terbesar di Asia.
Kini, Badan Narkotika Nasional (BNN) menyebutkan, narkoba tiap tahun membunuh 15.000 nyawa anak bangsa. Ironisnya, jumlah pengguna narkoba justru kian bertambah. Saat ini saja di negeri ini terdapat sekitar 3,2 juta penyalahgunaan narkoba. Jika tiap hari seorang menghabiskan Rp 300.000, total uang untuk belanja narkoba mencapai Rp 960 miliar per hari.
Jumlah itu jelas menguntungkan bagi para produsen atau bandar. Tidak heran di Surabaya para bandar atau pengedar berani memproduksi narkoba di dalam rutan Medaeng.
Sayang, persoalan narkoba di Tanah Air kian melingkar-lingkar dalam labirin karena sanksi hukumnya juga tidak membuat efek jera. Itu belum terhitung kasus polisi nakal atau hakim serta jaksa yang bisa disuap para bandar.
Maka, di tengah pesimisme dan apatisme penanganan masalah narkoba, ada suara-suara bagaimana jika RI meniru Australia. Menurut Nick Crofts, Direktur The Centre for Harm Reduction Burnet Institute, "Pemerintah Australia meyakini sampai kapan pun narkoba tidak akan bisa diberantas secara tuntas sehingga langkah dini yang perlu segera diambil adalah meminimalisasi dampak buruk narkoba."
Maka, saran Ibu Negara Ani Yudhoyono agar keluarga lebih berperan perlu direspons. Bukankah jika keluarga sehat, negara juga akan kuat?
Endang Suryadinata Peminat Sejarah Indonesia- Belanda, Alumnus Erasmus Universiteit Rotterdam
No comments:
Post a Comment