Sunday, June 3, 2007


Effendi Gazali di Antara Tiga C

Maria Hartiningsih & Ilham Khoiri

Republik BBM (Benar-benar Mabuk) mengangkatnya menjadi selebriti. Effendi Gazali (41) tidak tersinggung ketika pernyataan itu diajukan. Ia malah memberi catatan kritis atas keberhasilan Newsdotcom Kantor Berita Republik Mimpi menjaring iklan.

Republik BBM dan Newsdotcom, menurut pengakuannya, terinspirasi tulisan Jeoffrey Baym dari North Carolina University, September 2005.

Dalam tulisan itu dikatakan, orang tak lagi memahami politik AS pada millenium baru ini tanpa menonton satir politik The Daily Show with Jon Steward (nama aslinya Jonathan Stuart Leibowitz), sampai ada yang mengatakan, orang yang paling berpengaruh di AS saat ini adalah Jon Steward.

Ternyata sumber informasi dalam komunikasi politik bagi masyarakat AS dan Eropa Barat justru dari mencampurkan (hybrid) antara fakta dan komedi, hiburan. Ada kecenderungan mereka bosan menonton berita-berita normatif.

"Penonton CNN turun 28 persen, majalah berita dan berita-berita televisi malam pemirsanya turun sampai 40 persen," ujar ilmuwan yang rajin menuliskan gagasan-gagasannya di media massa tercetak, dari surat kabar sampai jurnal.

Effendi paham betul, komunikasi politik mencakup bidang lebih luas. Ia lalu mengusulkan acara parodi politik ke stasiun televisi Indosiar, dalam bentuk stand-up comedy tentang penyelesaian masalah-masalah bangsa.

Ia berjuang agar Republik BBM bisa ditayangkan, antara lain dengan membawa nama Asosiasi Pascasarjana Komunikasi Universitas Indonesia sebagai penanggung jawab. Namun, ia mengaku hanya salah satu perintis acara itu. Ada Dody Jufiprianto yang mengusulkan figur presiden.

Berikut perbincangan dengan Effendi Gazali di Jakarta, suatu petang, pekan lalu.

Bagaimana kemudian sampai ke acara yang sekarang?

Republik BBM ditayangkan dalam 26 episode, antara tanggal 12 Desember 2005 sampai 5 Juni 2006, tetapi saya cuma ikut 24 episode. Republik BBM berganti format menjadi drama komedi Istana BBM yang bertahan tujuh episode, lalu berubah lagi menjadi Pengadilan BBM yang saya tidak tahu genre-nya apa.

Newsdotcom Kantor Berita Republik Mimpi yang dimulai di Metro TV tanggal 14 Agustus 2006 adalah sebuah full-parody atau complete-parody karena mendasarkan diri pada tiga hal, yakni pemutakhiran berita, impersonator figur riil dalam kasus-kasus dan directions. Republik BBM belum sampai ke tahap ini. Jadi basis acara ini adalah ilmu komunikasi politik.

Kira-kira bagaimana kelanjutan Newsdotcom?

Kantor berita Newsdotcom tidak hanya memihak incumbent (pemegang jabatan), tetapi juga memberi ruang untuk oposisi. Bisa ditampilkan bagaimana oposisi membahas masalah-masalah yang terjadi di Republik Mimpi. Nanti malam (Minggu, 3/6) akan ada wajah baru di Newsdotcom. Kami menampilkan tokoh oposisi yang menyatakan terang-terangan ingin jadi presiden atau wapres tahun 2009. Silakan tunggu.

Tiga "C"

Effendi Gazali pernah dua kali menjuarai lomba lawak se-Sumatera Barat tahun 1982 dan 1983. Anak kedua dari tiga bersaudara yang ayahnya pendongeng itu sebenarnya lebih suka menjadi pemain sepak bola. Tetapi sekarang "Dik Pendi" lebih dikenal sebagai Penasihat Wapres Republik Mimpi, Jarwo Kuat.

Anda menjadi selebriti sekarang...

Era komunikasi politik sekarang memasuki era 3C. Pertama, consumerism (konsumerisme), kedua celebrity (selebriti), ketiga cynicism (sinisme). Itu hasil pemikiran John Corner dan Dick Pels. Kandidat yang ingin menang pemilu maupun pilkada harus dengan cara konsumerisme. "Menjual" kandidat hampir sama dengan menjual sampo. Iklannya bertaburan di mana-mana. Ini politik pencitraan.

Kedua, selebriti. Mereka yang ingin maju, bahkan ketika sudah memerintah pun, tetap harus memelihara citranya. Contoh terakhir, kasus kemarahan terhadap Amien Rais. Padahal, kalau tim SBY mengajak bertemu dengan tim Amien Rais, persoalannya mungkin lebih cepat selesai. Tetapi kok malah jadi budaya selebrisasi.

Kita akan cepat menuju era ketiga, sinisme. Baik media maupun masyarakat akan sinis terhadap tokoh politik dan partai politik. Sekarang, tingkat kepercayaan pada parpol hanya 14 persen. Sinisme cocok jalannya dengan parodi. Parodi itu seperti ayunan. Kalau pemerintahnya kacau, parodinya naik. Kalau pemerintah bagus, parodi tenggelam.

Celakanya, orang yang terlibat dengan parodi itu juga jadi selebritis. Acara itu akhirnya menjadi bagian dari selebritisasi juga. Dia lahir dalam konteks sinisme untuk memperbaiki pemerintahan, tetapi dia juga harus ikut dalam konsumerisme dan selebritisasi tadi.

Seminar di Australian National University menyimpulkan, Newsdotcom merupakan produk unggul yang layak ditiru di Australia dan Eropa. Tetapi, ada catatannya. Karena dikejar konsumerisme dalam bentuk iklan yang makin banyak, materi yang disampaikan menjadi sepotong-sepotong, kedalaman gagasan berkurang. Baru ngomong sedikit ada jeda iklan.

Situasi apa lagi yang menghambat?

Biasanya kalau ada acara bagus banyak stasiun televisi berlomba membuat acara serupa. Tetapi tidak dengan Newsdotcom. Ini membuktikan yang memiliki stasiun televisi di Indonesia ini umumnya pedagang, yang tak mau ambil risiko politik. Kalau di AS, soal dana DKP atau Gubernur Situyoso digerebek di Sydney, semua akan ngomong, mulai dari Jay Leno, David Letterman, Bill O’Reilly, Olbermann, dan lain-lain

Bukannya situasinya memang berbeda?

Memang. Teori-teori dari luar ketika sampai di Indonesia harus mengalami adjustment hebat. Kita terpaksa harus ’menyesuaikan diri’ dengan tuntutan konsumerisme. Itu terasa dengan banyaknya jumlah iklan. Mereka masa bodoh dengan rating. Di sisi lain, televisi lain tidak masuk ke situ karena memperhitungkan hubungannya dengan pemerintah.

Dalam komunikasi politik, bangsa ini cepat sekali belajar. Pemilu tahun 2004 yang diprediksi akan diwarnai konflik ternyata berlangsung baik. Tetapi ada beberapa yang tidak kita adopsi, yaitu pemeriksaan dana kampanye yang ketat, tak hanya yang dari AS atau negara Barat lain, tetapi juga dari yang lain dan negara lain. Kita juga tidak mengadopsi cara berkampanye dengan memperbandingkan antarkandidat.

Anda juga mengasuh acara lain di Jak TV. Bagaimana sikap Anda ketika Wimar Witoelar "dilengserkan"?

Saya sebenarnya juga di-black list di beberapa televisi setelah bersaksi di depan Mahkamah Konstitusi dalam kasus penghinaan presiden soal pemberian mobil jaguar oleh pengusaha pemilik stasiun televisi.

Saya suka dengan komentar Wimar yang kritis dan spontan. Tetapi, di acara seperti itu, sebaiknya ada bukti potongan beritanya dari surat kabar atau media online supaya tidak terkesan Wimar sendirian menyerang. Saya minta pada Jak TV agar Wimar tetap dimunculkan. Kalau tidak, saya akan mundur dari acara itu.

Di ujung acara Kamis malam (24/5), saya bilang, pilkada DKI sudah tidak lagi memiliki etika politik karena ada calon incumbent malu-malu memberikan keterangan publik, tetapi sudah muncul di iklan dan poster di mana-mana. Lalu ada penggunaan dana APBD yang tidak bebas kita diskusikan.

Pilkada DKI tidak lagi memiliki etika politik karena 77,8 persen warga Jakarta menginginkan adanya calon alternatif di luar calon yang ada. Riset ini dilakukan Asosiasi Pascasarjana Komunikasi UI. Sementara parpol membutakan hati terhadap kenyataan ini, sibuk berkoalisi dan bagi-bagi kekuasaan.

Kita di Jakarta tidak boleh mengajukan calon independen, sementara di Aceh bisa. Ini kan tidak logis. Kalau dibilang Aceh ada sejarah GAM, apakah kita harus buat Gerakan Jakarta Merdeka agar bisa ajukan calon independen?

Bagaimana kalau Anda ditawari masuk ke elite politik?

Tidak ada contoh intelektual yang masuk dalam sistem dan mampu mengubah sistem itu. Soal lain, sistemnya begitu hancur. Siapa pun yang masuk, termasuk saya, akan dilumat habis. Bagi saya, lebih menarik jadi dosen seperti sekarang.

>kwS<"Rating"

Bangsa yang Diobral

Masih terkait dengan persoalan yang menjadi keprihatinannya, Effendi yang suka menulis sejak kelas tiga sekolah dasar itu mengatakan, kalau gagal menjinakkan "economic hit men" dan "cultural hit men", bangsa ini cepat atau lambat akan menuju kepada "a nation for sale".

Bangsa ini diobral, ketika budaya asing, tak hanya Barat, dianggap sebagai superculture. Setelah sumber daya ekonomi dan sumber daya alam dirampas pihak asing, sistem nilai, tradisi dan gaya hidup juga berusaha diubah sesuai dengan sistem itu.

Televisi, menurut Dr Effendi Gazali, adalah media penghubung terbaik antara "economic hit men" dan "cultural hit men". "Televisi kita berkembang dahsyat, tetapi tidak dalam soal rating," ujarnya.

Masalah yang sama terjadi di AS tahun 1963. Protes masyarakat ke Parlemen kemudian melahirkan Electronic Media Rating Council (EMRC) atau komisi rating independen untuk media elektronik.

Rating merupakan persoalan besar karena mendikte tayangan televisi. "Kerja cultural hit men cuma meletakkan dasar, lalu kapitalisme bekerja sendiri," sambungnya.

Cultural hit men itu bisa siapa saja. Entah purposif atau memanfaatkan saja, lalu mengapitalisasikannya. Siapa mereka, perlu dicari bersama, kalau benar rating itu didedikasikan untuk pihak-pihak tertentu yang memberi jaminan.

A Nation for Sale bisa jadi merupakan judul buku yang menyusul dua buku menarik tentang bangsa ini, yakni A Nation in Waiting yang ditulis Adam Schwarz (1999) dan A Country in Depair: Indonesia between 1997 and 2000 yang ditulis Kees van Dijk (2002).

Istilah "A nation for sale" digunakan para pemikir Salemba ketika tiba pada hipotesa mengenai dampak jangka panjang dari sepak terjang media massa elektronik, khususnya televisi.

"Kami di Salemba School sangat berhati-hati terhadap bukan saja komunikasi politik, tetapi juga politik komunikasi. Politik komunikasi itu termasuk cultural hit men, politik rating, siapa yang boleh punya stasiun televisi, dan lain-lain. Televisi merupakan bagian penting dalam strategi pembentukan budaya," ujar Effendi.

Newsdotcom mengambil garis keras. "Kami mengingatkan agar semua orang hati-hati dengan rating karena bisa memperbodoh kita, baik di sengaja ataupun tidak. Ini harus kita lawan."

Lahir: Padang, 5 Desember 1966

Pekerjaan:

Koordinator Program Master Komunikasi Politik Universitas Indonesia (UI)

Tayangan parodi politik di televisi

* Salah satu perintis program acara "Republik BBM"

* Pembuat acara "Newsdotcom", Kantor Berita Republik Mimpi di Metro TV

Pendidikan:

* Sarjana (S-1), Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI, lulus 1990

* Master (S-2), Program Pascasarjana Komunikasi FISIP UI, lulus 1996

* Master (S-2), International Development, Cornell University, New York, lulus 2000

* PhD (S-3), Political Communication, Radboud University, Nijmegen, Belanda, lulus 2004 (disertasi "Communication of Politics and Politics of Communication in Indonesia: A Study on Media Performance, Responsibility and Accountability").

Karya buku, antara lain

* "Political Communication in Indonesia: Media Performance in Three Eras" dalam Wilnatt & Aw (Eds) "Political Communication in Asia: Challenges & Opportunities" (Washington DC: LEA, in print 2007)

* Konstruksi Sosial Industri Penyiaran (Jakarta: Dep Ilmu Komunikasi UI, 2003)

* "In Search of Quality Measures for Indonesian Television News" (bersama Leen d’Haenens, Chantal Verelst) in French & Richards (Eds, 2000), dalam Television in Contemporary Asia, New Delhi-Thousand Oaks-London: Sage Publications

* Communication of Politics and Politics of Communication in Indonesia: A Study on Media Performance, Responsibility and Accountability (Nijmegen: Radboud University Press, 2004)

Penghargaan

* Salah satu Peneliti Terbaik UI 2003, Bidang Sosial & Humaniora, berdasarkan publikasi di jurnal internasional

* Penerima ICA (International Communication Association) Award pada ICA Annual Conference, New Orleans, Mei 2004, untuk Research, Teaching & Publication (dari the ICA Instructional & Developmental Division)

No comments: